Rabu, 20 April 2011

Kisah nyata muslimah dalam penjara abhu ghuraib



Tangis saudarimu...

Surat ini sudah cukup lama umurnya, 6 tahun lalu. Namun dengan surat ini cukup menyadarkan kita dari terlena oleh kehidupan yang nyaman. Meski 6 tahun sudah berlalu mungkin keadaan belum banyak berubah. Mereka masih berjuang melawan musuh-musuh kita.

Ini adalah surat dari saudari kita Fathimah dari penjara Abu Ghuraib.

Selamat membaca..

بسم الله الرحمن الرحيم

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)

Aku pilih surat ini karena ia adalah surat yang paling berkesan bagi diriku dan juga kalian. Dan surah ini adalah sumber kedamaian bagi orang beriman..

Wahai saudaraku para Mujahidin fi Sabilillah, entah.. apa yang dapat aku katakan pada kalian!?

Aku katakan pada kalian bahwa rahim-rahim kami telah dipenuhi janin-janin hasil perzinahan.. dari para keturunan kera dan babi yang telah memperkosa kami.

Atau aku katakan pada kalian bahwa mereka telah merusak fisik kami, mereka meludahi wajah kami dan merobek-robek mushaf Al-Quran yang ada dalam pelukan kami..

Allahu Akbar.. Allahu Akbar..

Apakah kalian tidak memahami kondisi kami?? Apa kalian benar-benar tidak mengetahui apa yang terjadi pada diri kami?? Kami adalah saudari-saudari kalian! Allah pasti akan meminta pertanggungjawaban kalian tentang diri kami!!!!

DEMI ALLAH, tiada ada malam yang kami lalui ketika kami di penjara kecuali kami pasti diperkosa oleh

keturunan babi dan kera itu dengan penuh nafsu. Mereka rusak fisik kami. Padahal kami adalah gadis-gadis yang keperawanan kami belum ternoda karena takut pada Allah.

Maka takutlah kalian kepada Allah sehubungan dengan kondisi kami!! Takutah kalian kepada Allah!!!

Bunuhlah kami bersama mereka! Hancurkan kami bersama mereka dan jangan biarkan kami seperti ini!! Jangan biarkan kami seperti ini sementara mereka bebas menikmati diri kami!! Hal itu demi menjaga Arsy Allah yang agung.

Takutlah kalian kepada Allah!! Tinggalkanlah tank-tank dan pesawat-pesawat mereka di luar sana dan datanglah kepada kami di penjara abu ghuraib! Datanglah kepada kami di penjara abu ghuraib!

Aku saudari kalian, Fathimah… Aku saudari kalian, Fathimah…

Dan mereka telah memperkosaku dalam sehari lebih dari 9 kali.. Ya, lebih dari 9 kali…

Apakah kalian berakal? Apakah kalian berakal??? (beliau mengungkapkan dengan “hal antum ta’qiluun”, bahasa mudahnya “kamu mikir gak sih?”)

Bayangkan jika yang diperkosa itu adalah salah satu dari saudari kalian. Dan mengapa kalian tidak merasa kalau aku ini saudari kalian??

Aku adalah saudari kalian!! Tapi mengapa kalian tidak menganggapku sebagai saudari kalian!?

Sekarang aku bersama 13 wanita yang semuanya masih gadis. Mereka semua diperkosa di depan mata kami. Mereka melarang kami shalat. Mereka menelanjangi kami dan melarang kami memakai pakaian.

Ketika aku menulis surat ini untuk kalian, salah seorang saudari kalian bunuh diri setelah diperkosa dengan beringas. Ia dipukuli oleh tentara setelah diperkosa dan ia diancam akan dibunuh lalu disiksa dengan siksaan yang diluar kemanusiaan. Lalu saudari kalian itu membenturkan kepalanya ke tembok sampai mati karena ia tak kuat lagi. Padahal bunuh diri itu haram hukumnya dalam Islam. Tapi aku maklumi gadis itu dan aku berharap Allah mengampuninya karena Ia adalah Yang Maha Penyayang.

Saudara-saudaraku, aku katakan sekali lagi. Takutlah kalian kepada Allah. Bunuhlah kami bersama mereka supaya kami dapat istirahat.

Dimanakah orang yang seperti Mu’tashim Billah…..

Fathimah, jum’at 14-12-2004.”

Nb :

“ Mu’tashim Billah adalah seorang khalifah di zaman Daulah Bani Abbasiah yang terkenal.

Suatu ketika ada seorang muslimah yang sedang belanja di pasar orang yahudi, ketika sedang membayar belanjaannya si yahudi itu usil dengan mengikatkan ujung kerudung sang muslimah tadi pada suatu pengait tanpa sepengatuhannya, akibatnya ketika muslimah itu mau meninggalkan tempat ia belanja tertariklah jilbabnya yang mengakibatkan terlihatlah aurat muslimah tadi. Sontak muslimah tadi berteriak.

Teriakan muslimah tadi sampai ke telinga khalifah Al-Mu’tashim Billah, segera setelah mendengar pelecehan yang dilakukan terhadap muslimah tadi langsung beliau mengirimkan pasukan dalam jumlah yang sangat besar, sampai-sampai ketika pasukan pertama telah sampai ketempat musuh, ekornya belum habis, hal menggambarkan tentang mahalnya harga diri seorang muslim, yang apabila dilecehkan, kaum muslimin bersegera untuk menolongnya (namun sayangnya, beliau berakidah mu’tazilah, wallahu a'lam)”.

Ikhwati... Mohon doanya untuk kaum muslimin disetiap shalatmu, disepertiga malammu dan di waktu-waktu yang mustajab lainnya. Jangan hanya berdoa untuk diri sendiri.

Sebagai jawaban dari kita yang tak bisa menikmati rihlah jihad...




Tangis saudarimu...

Surat ini sudah cukup lama umurnya, 6 tahun lalu. Namun dengan surat ini cukup menyadarkan kita dari terlena oleh kehidupan yang nyaman. Meski 6 tahun sudah berlalu mungkin keadaan belum banyak berubah. Mereka masih berjuang melawan musuh-musuh kita.

Ini adalah surat dari saudari kita Fathimah dari penjara Abu Ghuraib.

Selamat membaca..

بسم الله الرحمن الرحيم

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)

Aku pilih surat ini karena ia adalah surat yang paling berkesan bagi diriku dan juga kalian. Dan surah ini adalah sumber kedamaian bagi orang beriman..

Wahai saudaraku para Mujahidin fi Sabilillah, entah.. apa yang dapat aku katakan pada kalian!?

Aku katakan pada kalian bahwa rahim-rahim kami telah dipenuhi janin-janin hasil perzinahan.. dari para keturunan kera dan babi yang telah memperkosa kami.

Atau aku katakan pada kalian bahwa mereka telah merusak fisik kami, mereka meludahi wajah kami dan merobek-robek mushaf Al-Quran yang ada dalam pelukan kami..

Allahu Akbar.. Allahu Akbar..

Apakah kalian tidak memahami kondisi kami?? Apa kalian benar-benar tidak mengetahui apa yang terjadi pada diri kami?? Kami adalah saudari-saudari kalian! Allah pasti akan meminta pertanggungjawaban kalian tentang diri kami!!!!

DEMI ALLAH, tiada ada malam yang kami lalui ketika kami di penjara kecuali kami pasti diperkosa oleh

keturunan babi dan kera itu dengan penuh nafsu. Mereka rusak fisik kami. Padahal kami adalah gadis-gadis yang keperawanan kami belum ternoda karena takut pada Allah.

Maka takutlah kalian kepada Allah sehubungan dengan kondisi kami!! Takutah kalian kepada Allah!!!

Bunuhlah kami bersama mereka! Hancurkan kami bersama mereka dan jangan biarkan kami seperti ini!! Jangan biarkan kami seperti ini sementara mereka bebas menikmati diri kami!! Hal itu demi menjaga Arsy Allah yang agung.

Takutlah kalian kepada Allah!! Tinggalkanlah tank-tank dan pesawat-pesawat mereka di luar sana dan datanglah kepada kami di penjara abu ghuraib! Datanglah kepada kami di penjara abu ghuraib!

Aku saudari kalian, Fathimah… Aku saudari kalian, Fathimah…

Dan mereka telah memperkosaku dalam sehari lebih dari 9 kali.. Ya, lebih dari 9 kali…

Apakah kalian berakal? Apakah kalian berakal??? (beliau mengungkapkan dengan “hal antum ta’qiluun”, bahasa mudahnya “kamu mikir gak sih?”)

Bayangkan jika yang diperkosa itu adalah salah satu dari saudari kalian. Dan mengapa kalian tidak merasa kalau aku ini saudari kalian??

Aku adalah saudari kalian!! Tapi mengapa kalian tidak menganggapku sebagai saudari kalian!?

Sekarang aku bersama 13 wanita yang semuanya masih gadis. Mereka semua diperkosa di depan mata kami. Mereka melarang kami shalat. Mereka menelanjangi kami dan melarang kami memakai pakaian.

Ketika aku menulis surat ini untuk kalian, salah seorang saudari kalian bunuh diri setelah diperkosa dengan beringas. Ia dipukuli oleh tentara setelah diperkosa dan ia diancam akan dibunuh lalu disiksa dengan siksaan yang diluar kemanusiaan. Lalu saudari kalian itu membenturkan kepalanya ke tembok sampai mati karena ia tak kuat lagi. Padahal bunuh diri itu haram hukumnya dalam Islam. Tapi aku maklumi gadis itu dan aku berharap Allah mengampuninya karena Ia adalah Yang Maha Penyayang.

Saudara-saudaraku, aku katakan sekali lagi. Takutlah kalian kepada Allah. Bunuhlah kami bersama mereka supaya kami dapat istirahat.

Dimanakah orang yang seperti Mu’tashim Billah…..

Fathimah, jum’at 14-12-2004.”

Nb :

“ Mu’tashim Billah adalah seorang khalifah di zaman Daulah Bani Abbasiah yang terkenal.

Suatu ketika ada seorang muslimah yang sedang belanja di pasar orang yahudi, ketika sedang membayar belanjaannya si yahudi itu usil dengan mengikatkan ujung kerudung sang muslimah tadi pada suatu pengait tanpa sepengatuhannya, akibatnya ketika muslimah itu mau meninggalkan tempat ia belanja tertariklah jilbabnya yang mengakibatkan terlihatlah aurat muslimah tadi. Sontak muslimah tadi berteriak.

Teriakan muslimah tadi sampai ke telinga khalifah Al-Mu’tashim Billah, segera setelah mendengar pelecehan yang dilakukan terhadap muslimah tadi langsung beliau mengirimkan pasukan dalam jumlah yang sangat besar, sampai-sampai ketika pasukan pertama telah sampai ketempat musuh, ekornya belum habis, hal menggambarkan tentang mahalnya harga diri seorang muslim, yang apabila dilecehkan, kaum muslimin bersegera untuk menolongnya (namun sayangnya, beliau berakidah mu’tazilah, wallahu a'lam)”.

Ikhwati... Mohon doanya untuk kaum muslimin disetiap shalatmu, disepertiga malammu dan di waktu-waktu yang mustajab lainnya. Jangan hanya berdoa untuk diri sendiri.

Sebagai jawaban dari kita yang tak bisa menikmati rihlah jihad...


»»  READMORE...

Selasa, 19 April 2011

Cara Mudah Menghadapi Kritikan Pedas



Sang Pencipta dan Pemberi rezeki Yang Maha Mulia,
acapkali mendapat cacian dan cercaan dari orang-orang pandir yang tak berakal.
Maka, apalagi saya, Anda dan kita sebagai manusia yang selalu terpeleset dan salah. Dalam hidup ini, terutama jika Anda seseorang yang selalu memberi, memperbaiki, mempengaruhi dan berusaha membangun,
maka Anda akan selalu menjumpai kritikan-kritikan yang pedas dan pahit.Mungkin pula, sesekali Anda akan mendapat cemoohan dan hinaan dari orang lain.Dan mereka, tidak akan pernah diam mengkritik Anda sebelum Anda masuk ke dalam liang bumi, menaiki tangga ke langit, dan berpisah dengan mereka.
Adapun bila Anda masih berada di tengah-tengah mereka, maka akan selalu ada perbuatan mereka yang membuat Anda bersedih dan meneteskan air mata, atau membuat tempat tidur Anda selalu terasa gerah.

Perlu diingat, orang yang duduk di atas tanah tak akan pernah jatuh, dan manusia tidak akan pernah menendang anjing yang sudah mati.
Adapun mereka, marah dan kesal kepada Anda adalah karena mungkin Anda mengungguli mereka dalam hal kebaikan, keilmuan, tindak tanduk, atau harta. Jelasnya, Anda di mata mereka adalah orang berdosa yang tak terampuni sampai Anda melepaskan semua karunia dan nikmat Allah yang pada diri Anda, atau sampai Anda meninggalkan semua sifat terpuji dan nilai-nilai luhur yang selama ini Anda pegang teguh. Dan menjadi orang yang bodoh, pandir dan tolol adalah yang mereka inginkan dari diri Anda.
Oleh sebab itu, waspadalah terhadap apa yang mereka katakan.
Kuatkan jiwa untuk mendengar kritikan, cemoohan dan hinaan mereka.
Bersikaplah laksana batu cadas; tetap kokoh berdiri meski diterpa butiranbutiran
salju yang menderanya setiap saat, dan ia justru semakin kokoh karenanya.
Artinya, jika Anda merasa terusik dan terpengaruh oleh kritikan atau cemoohan mereka, berarti Anda telah meluluskan keinginan mereka untuk mengotori dan mencemarkan kehidupan Anda.
Padahal,

yang terbaik adalah menjawab atau merespon kritikan mereka dengan menunjukkan akhlak yang baik.
Acuhkan saja mereka, dan jangan pernah merasa tertekan oleh setiap upadaya mereka untuk menjatuhkan Anda.
Sebab, kritikan mereka yang menyakitkan itu pada hakekatnya merupakan ungkapan
penghormatan untuk Anda.
Yakni, semakin tinggi derajat dan posisi yang Anda duduki, maka akan semakin pedas pula kritikan itu.

La'Tahzan
Betapapun, Anda akan kesulitan membungkam mulut mereka dan menahan gerakan lidah mereka. Yang Anda mampu adalah hanya mengubur dalam-dalam setiap kritikan mereka, mengabaikan solah polah mereka pada Anda, dan cukup mengomentari setiap perkataan mereka sebagaimana yang diperintahkan Allah,
{Katakanlah (kepada mereka): "Matilah kamu karena kemarahanmu itu."}
(QS. Ali 'Imran: 119)

Bahkan, Anda juga dapat 'menyumpal' mulut mereka dengan'potongan-potongan daging' agar diam seribu bahasa dengan cara memperbanyak keutamaan, memperbaiki akhlak, dan meluruskan setiap kesalahan Anda. Dan bila Anda ingin diterima oleh semua pihak, dicintai
semua orang, dan terhindar dari cela, berarti Anda telah menginginkan
sesuatu yang mustahii terjadi dan mengangankan sesuatu yang terlalu jauh
untuk diwujudkan.
sumber : ebook LA tahzan


Sang Pencipta dan Pemberi rezeki Yang Maha Mulia,
acapkali mendapat cacian dan cercaan dari orang-orang pandir yang tak berakal.
Maka, apalagi saya, Anda dan kita sebagai manusia yang selalu terpeleset dan salah. Dalam hidup ini, terutama jika Anda seseorang yang selalu memberi, memperbaiki, mempengaruhi dan berusaha membangun,
maka Anda akan selalu menjumpai kritikan-kritikan yang pedas dan pahit.Mungkin pula, sesekali Anda akan mendapat cemoohan dan hinaan dari orang lain.Dan mereka, tidak akan pernah diam mengkritik Anda sebelum Anda masuk ke dalam liang bumi, menaiki tangga ke langit, dan berpisah dengan mereka.
Adapun bila Anda masih berada di tengah-tengah mereka, maka akan selalu ada perbuatan mereka yang membuat Anda bersedih dan meneteskan air mata, atau membuat tempat tidur Anda selalu terasa gerah.

Perlu diingat, orang yang duduk di atas tanah tak akan pernah jatuh, dan manusia tidak akan pernah menendang anjing yang sudah mati.
Adapun mereka, marah dan kesal kepada Anda adalah karena mungkin Anda mengungguli mereka dalam hal kebaikan, keilmuan, tindak tanduk, atau harta. Jelasnya, Anda di mata mereka adalah orang berdosa yang tak terampuni sampai Anda melepaskan semua karunia dan nikmat Allah yang pada diri Anda, atau sampai Anda meninggalkan semua sifat terpuji dan nilai-nilai luhur yang selama ini Anda pegang teguh. Dan menjadi orang yang bodoh, pandir dan tolol adalah yang mereka inginkan dari diri Anda.
Oleh sebab itu, waspadalah terhadap apa yang mereka katakan.
Kuatkan jiwa untuk mendengar kritikan, cemoohan dan hinaan mereka.
Bersikaplah laksana batu cadas; tetap kokoh berdiri meski diterpa butiranbutiran
salju yang menderanya setiap saat, dan ia justru semakin kokoh karenanya.
Artinya, jika Anda merasa terusik dan terpengaruh oleh kritikan atau cemoohan mereka, berarti Anda telah meluluskan keinginan mereka untuk mengotori dan mencemarkan kehidupan Anda.
Padahal,

yang terbaik adalah menjawab atau merespon kritikan mereka dengan menunjukkan akhlak yang baik.
Acuhkan saja mereka, dan jangan pernah merasa tertekan oleh setiap upadaya mereka untuk menjatuhkan Anda.
Sebab, kritikan mereka yang menyakitkan itu pada hakekatnya merupakan ungkapan
penghormatan untuk Anda.
Yakni, semakin tinggi derajat dan posisi yang Anda duduki, maka akan semakin pedas pula kritikan itu.

La'Tahzan
Betapapun, Anda akan kesulitan membungkam mulut mereka dan menahan gerakan lidah mereka. Yang Anda mampu adalah hanya mengubur dalam-dalam setiap kritikan mereka, mengabaikan solah polah mereka pada Anda, dan cukup mengomentari setiap perkataan mereka sebagaimana yang diperintahkan Allah,
{Katakanlah (kepada mereka): "Matilah kamu karena kemarahanmu itu."}
(QS. Ali 'Imran: 119)

Bahkan, Anda juga dapat 'menyumpal' mulut mereka dengan'potongan-potongan daging' agar diam seribu bahasa dengan cara memperbanyak keutamaan, memperbaiki akhlak, dan meluruskan setiap kesalahan Anda. Dan bila Anda ingin diterima oleh semua pihak, dicintai
semua orang, dan terhindar dari cela, berarti Anda telah menginginkan
sesuatu yang mustahii terjadi dan mengangankan sesuatu yang terlalu jauh
untuk diwujudkan.
sumber : ebook LA tahzan
»»  READMORE...

Senin, 18 April 2011

EMPAT PINTU MASUK MAKSIAT PADA MANUSIA


EMPAT PINTU MASUK MAKSIAT PADA MANUSIA
Sebagian besar maksiat itu terjadi pada seseorang, melalui empat pintu yakni"
Al Khatharat (pikiran yang terlintas di benak ),
Al Lafazhat (ungkapan yang diucapkan ),
Al Khuthuwat (langkah nyata untuk sebuah perbuatan ).
Sekarang, marilah kita ikuti pembahasan tentang salah satu dari empat pintu tersebut di bawah ini :

1- Al Lahazhat ( Pandangan pertama).
Yang satu ini bisa dikatakan sebagai ‘provokator’ syahwat, atau ‘utusan’ syahwat. Oleh karenanya, menjaga pandangan merupakan pokok dalam usaha menjaga kemaluan. Maka barang siapa yang melepaskan pandangannya tanpa kendali, niscaya dia akan menjerumuskan dirinya sendiri pada jurang kebinasaan.

Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda:
" لا تتبع النظرة النظرة، فإنما لك الأولى وليست لك الأخرى ".
“Janganlah kamu ikuti pendangan (pertama) itu dengan pandangan (berikutnya). Pandangan(pertama) itu boleh buat kamu, tapi tidak dengan pandangan selanjutnya.” ( HR. At Turmudzi,hadits hasan ghorib ).

Dan di dalam musnad Imam Ahmad, diriwayatkan
dari Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam ,
beliau bersabda :
" النظرة سهم مسموم من سهام إبليس، فمن غض بصره عن محاسن
امرأة لله أورث الله قلبه حلاوة إلى يوم يلقاه ".
“Pandangan itu adalah panah beracun dari panah panah iblis. Maka barang siapa yang memalingkanpandangannya dari kecantikan seorang wanita,ihlas karena Allah semata, maka Allah akanmemberikan di hatinya kelezatan sampai padahari kiamat.”
( HR. Ahmad )..

Beliau juga bersabda :
" غضوا أبصاركم واحفظوا فروجكم ".
“Palingkanlah pandangan kalian, dan jagalahkemaluan kalian.” (HR. At Thobrani dalam Almu’jam al kabir ).

Dalam hadits lain beliau bersabda :
" إياكم والجلوس على الطرقات، قالوا : يا رسول الله, مجالسنا، ما
لنا بد منها. قال : فإن كنتم لا بد فاعلين فأعطوا الطريق حقه، قالوا
: وما حقه ؟ قال : غض البصر وكف الأذى ورد السلام ".
“Janganlah kalian duduk duduk di ( tepi ) jalan”,
mereka berkata : “ya Rasulallah, tempat tempat duduk kami pasti di tepi jalan”, beliau bersabda :
“Jika kalian memang harus melakukannya, maka hendaklah memberikan hak jalan itu”, mereka bertanya : “Apa hak jalan itu ?”, beliau menjawab: “Memalingkan pandangan ( dari hal hal yangdilarang Allah, pent.), menyingkirkan gangguan,dan menjawab salam.” ( HR. Muslim ).

Pandangan adalah asal muasal seluruh musibah yang menimpa manusia. Sebab, pandangan itu akan melahirkan lintasan dalam benak, kemudian lintasan itu akan melahirkan pikiran, dan pikiran itulah yang melahirkan syahwat, dan dari syahwat itu timbullah keinginan, kemudian keinginan itu menjadi kuat, dan berubah menjadi niat yang bulat. Akhirnya apa yang tadinya melintas dalam pikiran menjadi kenyataan, dan itu pasti akan terjadi selama tidak ada yang menghalanginya.Oleh karena itu, dikatakan oleh sebagian ahli hikmah bahwa “bersabar dalam menahan pandangan mata ( bebannya ) adalah lebih ringan dibanding harus menanggung beban penderitaan yang ditimbulkannya.”

Seorang penyair mengatakan :
كل الحوادث مبداها من النظر *** ومعظم النار من مستصغر الشرر
كم نظرة بلغت من قلب صاحبها *** كمبلغ السهم بين القوس والوبر
والعبد ما دام ذا طرف يقلبه ***في أعين الغير موقوف على الخطر
يسر مقلته ما ضر مهجته *** لا مرحبا بسرور عاد بالضرر

- Setiap kejadian musibah itu bermula dari pandangan, seperti kobaran api berasal dari percikan api yang kecil.
- Betapa banyak pandangan yang berhasil menembus kedalam hati pemiliknya, seperti
tembusnya anak panah yang dilepaskan dari busur dan talinya.
- Seorang hamba, selama dia masih mempunyai kelopak mata yang digunakan untuk memandang orang lain, maka dia berada pada posisi yang membahayakan.
- ( Dia memandang hal hal yang ) menyenangkan matanya tapi membahayakan jiwanya, maka janganlah kamu sambut kesenangan yang akan membawa malapetaka.Diantara bahaya pandangan Pandangan yang dilepaskan begitu saja itu akan menimbulkan perasaan gundah, tidak tenang dan hati yang terasa dipanas panasi. Seseorang bisa saja melihat sesuatu, yang sebenarnya dia tidak mampu untuk melihatnya secara keseluruhan, karena dia tidak sabar untuk melihatnya. Tentumerupakan siksaan yang berat pada batin anda,bila ternyata anda melihat sesuatu yang anda sendiri tidak bisa sabar untuk tidak melihatnya, walaupun sebagian dari sesuatu tersebut, namun
anda juga tidak mampu untuk melihatnya.


Seorang penyair berkata :
وكنت متى أرسلت طرفك رائدا لقلبك يوما أتعبتك المناظر
رأيت الذي لا كله أنت قادر عليه ولا عن بعضه أنت صابر
- Bila – suatu hari – engkau lepaskan pandangan matamu mencari ( mangsa ) untuk hatimu,niscaya apa apa yang dipandangnya akan melelahkan ( menyiksa ) diri kamu sendiri.
- Engkau melihat sesuatu yang engkau tidakmampu untuk melihatnya secara keseluruhan dan engkau juga tidak bisa bersabar untuk tidak melihat ( walau hanya ) sebagian dari sesuatu itu.

Lebih jelasnya, bait syair di atas maksudnya :
engkau akan melihat sesuatu yang engkau tidak sabar untuk tidak melihatnya walaupun sedikit,
namun saat itu juga engkau tidak mampu untuk melihatnya sama sekali walaupun hanya sedikit.
Betapa banyak orang yang melepaskan pandangannya tanpa kendali, akhirnya dia binasa
dengan pandangan pandangan itu sendiri.

Seperti yang diungkapkan oleh seorang penyair :
يا ناظرا ما أقلعت لحظاته حتى تشحط بينهن قتيلا
Wahai orang yang memandang, tidaklah dia
sampai tuntas menyelesaikan pandangannya,
sehingga dia sendiri akan menjauh dan jatuh
binasa karena pandangan pandangannya sendiri.
Ada untaian bait lain yang mengatakan :
مل السلامة فاغتدت لحظاته وقفا على طلل يظن جميلا
ما زال يتبع إثرة لحظاته حتى تشحط بينهن قتيلا
- (Mungkin) dia sudah bosan selamat, sehingga
dia biarkan pandangannya menyaksikan apa yang
menurutnya indah.
- Begitulah ; dia terus melanjutkan satu pandangan dengan pandangan yang lain, sehingga ahirnya dia menjauh dan jatuh binasa karena pandangan pandangannya sendiri.
Suatu hal yang lebih mengherankan, yaitu bahwa pandangan yang dilakukan oleh seseorang itu merupakan anak panah yang tidak pernah mengena pada sasaran yang dipandang,sementara anak panah itu benar benar mengena di hati orang yang memandang.
Ada untaian bait syair yang mengatakan :
يا راميا سهام اللحظ مجتهدا أنت القتيل بما ترمي فلا تصب
وباعث الطرف يرتاد الشفاء له احبس رسولك لا يأتيك بالعطب

- wahai orang yang dengan sungguh sungguhme lempar anak panah pandangannya, engkaulah
sebenarnya yang menjadi korban dari apa yang kamu lempar itu dan engkau tidak berhasil membidik orang yang engkau pandang.
- Dan orang yang melepas pandangannya dia akan kehilangan kesehatannya. ( oleh karena itu )tahanlah pandanganmu, agar tidak mendatangkan musibah kepadamu.
Suatu hal yang lebih mengherankan lagi, yaitu bahwa satu pandangan (padahal yang dilarang )
itu dapat melukai hati dan (dengan pandangan
yang baru ) berarti dia menoreh luka baru di atas luka lama ; namun ternyata derita yang ditimbulkan oleh luka luka itu tak mencegahnya untuk kembali terus menerus melukainya.
ما زلت تتبع نظرة في نظرة في إثر كل مليحة ومليح
وتظن ذاك دواء جرحك وهو في ال تحقيق تجريح على تجريح
فذبحت طرفك باللحاظ وبالبكاء فالقلب منك ذبيح أي ذبيح
- Kau senantiasa mengikutkan satu pandangandengan pandanganlainnya untuk menyaksikan (wanita ) cantik dan ( pria ) tampan.
- Dan kau mengira bahwa itu dapat mengobatiluka ( syahwat )mu, padahal dengan itu berartikau menoreh luka di atas luka.
- Kau korbankan matamu dengan pandangan dan tangisan, sementara hatimu juga ( menjerit seperti ) disembelih habis habisan.Oleh karena itu dikatakan : “sesungguhnyamenahan pandangan hatimu itu lebih mudah dariada menahan langgengnya penyesalan.”

EMPAT PINTU MASUK MAKSIAT PADA MANUSIA
Sebagian besar maksiat itu terjadi pada seseorang, melalui empat pintu yakni"
Al Khatharat (pikiran yang terlintas di benak ),
Al Lafazhat (ungkapan yang diucapkan ),
Al Khuthuwat (langkah nyata untuk sebuah perbuatan ).
Sekarang, marilah kita ikuti pembahasan tentang salah satu dari empat pintu tersebut di bawah ini :

1- Al Lahazhat ( Pandangan pertama).
Yang satu ini bisa dikatakan sebagai ‘provokator’ syahwat, atau ‘utusan’ syahwat. Oleh karenanya, menjaga pandangan merupakan pokok dalam usaha menjaga kemaluan. Maka barang siapa yang melepaskan pandangannya tanpa kendali, niscaya dia akan menjerumuskan dirinya sendiri pada jurang kebinasaan.

Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda:
" لا تتبع النظرة النظرة، فإنما لك الأولى وليست لك الأخرى ".
“Janganlah kamu ikuti pendangan (pertama) itu dengan pandangan (berikutnya). Pandangan(pertama) itu boleh buat kamu, tapi tidak dengan pandangan selanjutnya.” ( HR. At Turmudzi,hadits hasan ghorib ).

Dan di dalam musnad Imam Ahmad, diriwayatkan
dari Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam ,
beliau bersabda :
" النظرة سهم مسموم من سهام إبليس، فمن غض بصره عن محاسن
امرأة لله أورث الله قلبه حلاوة إلى يوم يلقاه ".
“Pandangan itu adalah panah beracun dari panah panah iblis. Maka barang siapa yang memalingkanpandangannya dari kecantikan seorang wanita,ihlas karena Allah semata, maka Allah akanmemberikan di hatinya kelezatan sampai padahari kiamat.”
( HR. Ahmad )..

Beliau juga bersabda :
" غضوا أبصاركم واحفظوا فروجكم ".
“Palingkanlah pandangan kalian, dan jagalahkemaluan kalian.” (HR. At Thobrani dalam Almu’jam al kabir ).

Dalam hadits lain beliau bersabda :
" إياكم والجلوس على الطرقات، قالوا : يا رسول الله, مجالسنا، ما
لنا بد منها. قال : فإن كنتم لا بد فاعلين فأعطوا الطريق حقه، قالوا
: وما حقه ؟ قال : غض البصر وكف الأذى ورد السلام ".
“Janganlah kalian duduk duduk di ( tepi ) jalan”,
mereka berkata : “ya Rasulallah, tempat tempat duduk kami pasti di tepi jalan”, beliau bersabda :
“Jika kalian memang harus melakukannya, maka hendaklah memberikan hak jalan itu”, mereka bertanya : “Apa hak jalan itu ?”, beliau menjawab: “Memalingkan pandangan ( dari hal hal yangdilarang Allah, pent.), menyingkirkan gangguan,dan menjawab salam.” ( HR. Muslim ).

Pandangan adalah asal muasal seluruh musibah yang menimpa manusia. Sebab, pandangan itu akan melahirkan lintasan dalam benak, kemudian lintasan itu akan melahirkan pikiran, dan pikiran itulah yang melahirkan syahwat, dan dari syahwat itu timbullah keinginan, kemudian keinginan itu menjadi kuat, dan berubah menjadi niat yang bulat. Akhirnya apa yang tadinya melintas dalam pikiran menjadi kenyataan, dan itu pasti akan terjadi selama tidak ada yang menghalanginya.Oleh karena itu, dikatakan oleh sebagian ahli hikmah bahwa “bersabar dalam menahan pandangan mata ( bebannya ) adalah lebih ringan dibanding harus menanggung beban penderitaan yang ditimbulkannya.”

Seorang penyair mengatakan :
كل الحوادث مبداها من النظر *** ومعظم النار من مستصغر الشرر
كم نظرة بلغت من قلب صاحبها *** كمبلغ السهم بين القوس والوبر
والعبد ما دام ذا طرف يقلبه ***في أعين الغير موقوف على الخطر
يسر مقلته ما ضر مهجته *** لا مرحبا بسرور عاد بالضرر

- Setiap kejadian musibah itu bermula dari pandangan, seperti kobaran api berasal dari percikan api yang kecil.
- Betapa banyak pandangan yang berhasil menembus kedalam hati pemiliknya, seperti
tembusnya anak panah yang dilepaskan dari busur dan talinya.
- Seorang hamba, selama dia masih mempunyai kelopak mata yang digunakan untuk memandang orang lain, maka dia berada pada posisi yang membahayakan.
- ( Dia memandang hal hal yang ) menyenangkan matanya tapi membahayakan jiwanya, maka janganlah kamu sambut kesenangan yang akan membawa malapetaka.Diantara bahaya pandangan Pandangan yang dilepaskan begitu saja itu akan menimbulkan perasaan gundah, tidak tenang dan hati yang terasa dipanas panasi. Seseorang bisa saja melihat sesuatu, yang sebenarnya dia tidak mampu untuk melihatnya secara keseluruhan, karena dia tidak sabar untuk melihatnya. Tentumerupakan siksaan yang berat pada batin anda,bila ternyata anda melihat sesuatu yang anda sendiri tidak bisa sabar untuk tidak melihatnya, walaupun sebagian dari sesuatu tersebut, namun
anda juga tidak mampu untuk melihatnya.


Seorang penyair berkata :
وكنت متى أرسلت طرفك رائدا لقلبك يوما أتعبتك المناظر
رأيت الذي لا كله أنت قادر عليه ولا عن بعضه أنت صابر
- Bila – suatu hari – engkau lepaskan pandangan matamu mencari ( mangsa ) untuk hatimu,niscaya apa apa yang dipandangnya akan melelahkan ( menyiksa ) diri kamu sendiri.
- Engkau melihat sesuatu yang engkau tidakmampu untuk melihatnya secara keseluruhan dan engkau juga tidak bisa bersabar untuk tidak melihat ( walau hanya ) sebagian dari sesuatu itu.

Lebih jelasnya, bait syair di atas maksudnya :
engkau akan melihat sesuatu yang engkau tidak sabar untuk tidak melihatnya walaupun sedikit,
namun saat itu juga engkau tidak mampu untuk melihatnya sama sekali walaupun hanya sedikit.
Betapa banyak orang yang melepaskan pandangannya tanpa kendali, akhirnya dia binasa
dengan pandangan pandangan itu sendiri.

Seperti yang diungkapkan oleh seorang penyair :
يا ناظرا ما أقلعت لحظاته حتى تشحط بينهن قتيلا
Wahai orang yang memandang, tidaklah dia
sampai tuntas menyelesaikan pandangannya,
sehingga dia sendiri akan menjauh dan jatuh
binasa karena pandangan pandangannya sendiri.
Ada untaian bait lain yang mengatakan :
مل السلامة فاغتدت لحظاته وقفا على طلل يظن جميلا
ما زال يتبع إثرة لحظاته حتى تشحط بينهن قتيلا
- (Mungkin) dia sudah bosan selamat, sehingga
dia biarkan pandangannya menyaksikan apa yang
menurutnya indah.
- Begitulah ; dia terus melanjutkan satu pandangan dengan pandangan yang lain, sehingga ahirnya dia menjauh dan jatuh binasa karena pandangan pandangannya sendiri.
Suatu hal yang lebih mengherankan, yaitu bahwa pandangan yang dilakukan oleh seseorang itu merupakan anak panah yang tidak pernah mengena pada sasaran yang dipandang,sementara anak panah itu benar benar mengena di hati orang yang memandang.
Ada untaian bait syair yang mengatakan :
يا راميا سهام اللحظ مجتهدا أنت القتيل بما ترمي فلا تصب
وباعث الطرف يرتاد الشفاء له احبس رسولك لا يأتيك بالعطب

- wahai orang yang dengan sungguh sungguhme lempar anak panah pandangannya, engkaulah
sebenarnya yang menjadi korban dari apa yang kamu lempar itu dan engkau tidak berhasil membidik orang yang engkau pandang.
- Dan orang yang melepas pandangannya dia akan kehilangan kesehatannya. ( oleh karena itu )tahanlah pandanganmu, agar tidak mendatangkan musibah kepadamu.
Suatu hal yang lebih mengherankan lagi, yaitu bahwa satu pandangan (padahal yang dilarang )
itu dapat melukai hati dan (dengan pandangan
yang baru ) berarti dia menoreh luka baru di atas luka lama ; namun ternyata derita yang ditimbulkan oleh luka luka itu tak mencegahnya untuk kembali terus menerus melukainya.
ما زلت تتبع نظرة في نظرة في إثر كل مليحة ومليح
وتظن ذاك دواء جرحك وهو في ال تحقيق تجريح على تجريح
فذبحت طرفك باللحاظ وبالبكاء فالقلب منك ذبيح أي ذبيح
- Kau senantiasa mengikutkan satu pandangandengan pandanganlainnya untuk menyaksikan (wanita ) cantik dan ( pria ) tampan.
- Dan kau mengira bahwa itu dapat mengobatiluka ( syahwat )mu, padahal dengan itu berartikau menoreh luka di atas luka.
- Kau korbankan matamu dengan pandangan dan tangisan, sementara hatimu juga ( menjerit seperti ) disembelih habis habisan.Oleh karena itu dikatakan : “sesungguhnyamenahan pandangan hatimu itu lebih mudah dariada menahan langgengnya penyesalan.”
»»  READMORE...

Jumat, 08 April 2011

status hukum perkawinan wanita yang masih memiliki suami mafqud (hilang)

status hukum perkawinan seorang wanita yang masih memiliki suami mafqud (hilang) ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif.


Pembahasan terhadap soal-soal perkawinan selalu akan menarik karena lembaga perkawinan itulah yang melahirkan keluarga, tempat seluruh hidup dan kehidupan manusia berputar. Dan karena kedudukannya yang istimewa dalam hidup dan kehidupan manusia, maka masalah perkawinan perlu diatur dalam suatu undang-undang.

Adapun mengenai peraturan yang berlaku dan mengatur masalah perkawinan di Indonesia saat ini adalah:
Undang-Undang No.1 Tahun 1974
tentang perkawinan yang dipertegas dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan juga INPRES NO. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Undang-Undang No.1 Tahun 1974
tentang perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan disingkat (UUP) disahkan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 2 Januari 1974 dan diundangkan dalam Lembaran Negara No.1 Tahun 1974 dan penjelasannya dimuat dalam tambahan Lembaran Negara No. 3019.
Adapun dasar pertimbangan pemerintah Republik Indonesia dan DPR untuk mengeluarkan Undang-Undang Perkawinan ini adalah, bahwa sesuai dengan falsafah pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya undang-undang tentang perkawinan yang berlaku bagi semua warga Negara Indonesia.
Awalnya perkawinan adalah bertujuan untuk selama-lamanya, tetapi adakalanya karena sebab-sebab tertentu bisa mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan, jadi harus diputuskan di tengah jalan atau terpaksa putus dengan sendirinya atau dengan kata lain terjadi perceraian diantara suami isteri.
Kesulitan ekonomi terutama dalam hal pemenuhan nafkah dan kebutuhaan hidup sering membuat kehidupan rumah tangga menjadi kurang bahagia, hal ini menyebabkan banyak suami yang merantau jauh, misalnya para suami yang menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidup anak dan isterinya, kepergian suami untuk mencari nafkah terkadang bukan hanya berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun tanpa kabar berita.
Kenyataan ini tentunya akan menimbulkan problem baru dalam rumah tangganya dan berpengaruh pada anggota keluarga yang ditinggalkannya, tidak jarang isteri memutuskan untuk menggugat cerai dan berniat menikah lagi, hal ini karena seorang isteri adalah kaum yang ?lemah? yang butuh perlindungan dari seorang suami baik karena alasan ekonomi ataupun alasan biologis. Bahkan dari pernikahan isteri dengan suami yang baru telah dikaruniai beberapa orang anak, bila beberapa tahun berikutnya sang suami kembali dan menggugat perkawinan tersebut maka akan timbullah permasalahan baru baik itu menyangkut status hukum perkawinan tersebut maupun status hukum anaknya.
Dari latar belakang di atas maka penulis akan merumuskannya menjadi beberapa permasalahan utama sebagai fokus pembahasan dalam tugas akhir ini. Rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:

Bagaimana status hukum perkawinan seorang wanita yang masih memiliki suami mafqud (hilang) ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif ?

Sedangkan tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah :
1.Untuk mengetahui status hukum perkawinan seorang wanita yang masih memiliki suami mafqud (hilang) ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif.

Dalam penulisan ini, penulis menggunakan pendekatan yuridis normative yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas obyektifitas dari tulisan ini. Adapun metode penulisan yang digunakan penulis adalah pendekatan yuridis komparatif, yaitu penulis berusaha untuk menganalisa dan mengkaji suatu permasalahan hukum yaitu melakukan perbandingan dengan dua sudut pandang yang berbeda antara Hukum Islam dan Hukum Positif.
Dan untuk menunjang penulisan tugas akhir ini, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data untuk memperoleh data yang lebih akurat dan konkrit. Adapun teknik yang dilakukan penulis adalah library reseach atau kajian pustaka, dimana penulis berusaha untuk menemukan, mengembangkan, serta mengkaji dari literature yang ada dengan menitik beratkan bagaimana Hukum Islam dan Hukum Positif menyikapi permasalahan status hukum perkawinan wanita dari suami mafqud. Literatur yang digunakan dapat berbentuk buku, majalah, ataupun pendapat-pendapat hukum yang mempunyai kompetensi.

Sedangkan dalam penulisan tugas akhir ini, penulis menggunakan teknik Deskriptif Analisis,yaitu bertujuan untuk memperoleh gambaran secara rinci dan menyeluruh mengenai obyek masalah yang diteliti dan kemudian dianalisa. Metode ini merupakan teknik yang membuat kesimpulan dengan mengidentifikasi secara detail karakteristik isi yang tersirat secara obyektif dan sistematis. Kemudian diadakan perbandingan antara teori yang terdapat dalam Hukum Islam dan Hukum positif dengan fakta yang ada untuk mendapatkan suatu pemecahan masalah.

Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa ternyata baik itu Hukum Islam maupun Hukum Positif menganggap sah perkawinan yang dilakukan oleh wanita dari suami yang mafqud selama pernikahan tersebut sudah mentaati kaidah-kaidah yang telah ditentukan oleh ahli Hukum Islam ataupun ketentuan undang-undang yang ada.
Dan juga selama perkawinan yang dilakukan itu adalah perkawinan yang sudah memenuhi rukun dan syaratnya sah-nya perkawinan. Sedangkan tentang keadaan dimana suami yang mafqud tersebut kembali maka dalam Hukum Islam terdapat beberapa pendapat para ahli fiqih yang berbeda-beda, sementara dalam Hukum Positif suami yang mafqud tersebut tidak berhak lagi menjadi suami dari wanita tersebut karena pengadilan telah memutuskan perkawinannya..
Pada akhir penulisan Tugas akhir ini ada beberapa kesimpulan dan saran yang dapat untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan khususnya bagi kalangan yang berkompeten dalam masalah ini untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat, baik itu sebagai pribadi maupun sebagai kelembagaan keagamaan, sehingga mendapat penerangan dan kejelasan tentang persoalan ini.




Aspek hukum positif
Dalam hukum positif, seorang istri akan tetap menjadi istri dari suami pertamanya yang menikahinya secara sah, sampai suaminya menceraikannya atau dia sendiri yang mengajukan cerai dan pengajuannya itu diterima pihak berwenang (dalam hal ini adalah Kantor Urusan Agama).
Si Istri berhak mengajukan cerai yang disebut khulu’, tapi itu harus diputuskan oleh pengadilan agama. Bila tidak mengajukan khulu’ atau tuntutan apapun kepada pihak berwenang. Makanya, si istri yang di tinggal (mafqud) dianggap ridha terhadap perlakuan suami yang menghilang

Apabila sejak awal akad nikah sudah ada shighat talak ta’liq dimana salah satu pointnya adalah ”jika suami menghilang dalam jangka waktu tertentu (harus disebutkan berapa lama), atau tidak memberi nafkah, atau hal lain maka otomatis akan jatuh talak”, barulah si istri yang di tinggal (mafqud) bisa dikatakan tercerai secara otomatis.
Sebetulnya dalam buku perkawinan yang ada sekarang ini, ada shighat ta’liq,apabila terjadi pelanggaran dari pihak suami, tetap saja istri harus mengajukan tuntutan terlebih dahulu ke pengadilan Agama. Artinya, bila suami melanggar shighat ta’liq tapi si istri tidak mengajukan tuntutan, maka tidak akan terjadi perceraian.
Intinya adalah, apapun pelanggaran suami termasuk menghilang tanpa kabar berita dan tidak ada shighat ta’liq sejak awal akad, atau si istri tidak mengajukan penceraian kepada pihak berwenang, maka si istri yang di tinggal (mafqud) tetap menjadi istri sah dari suami pertama. Akibatnya, perkawinan si istri yang di tinggal(mafqud) dengan suami kedua batal sejak awal dan harus dihentikan.
Dalam kompilasi hukum Islam yang diterbitkan departemen agama, Bab XI pasal 71 point b, ”perkawinan dapat dibatalkan bila perempuan yang dikawini ternyata kemudian dketahui masih menjadi istri pria lain yangmafqud (hilang tak ketahuan rimbanya).”


Rujukan pembanding (hukum antar negara):
contoh penetapan dan pembaharuan hukum sudan 17 tahun 1916 tentang bubarnya perkawinan karena (mafqud)
Dalam manshurat itu di ungkapkan jika seorang suami pergi menghilang dalam waktu yang panjang
Meskipun ia meninggalkan harta maka seorang istri dapat mengajukan masalah tersebut kedepan pengadilan .selanjutnya pengadilan akan melakukan pencarian dan melacak informasi keadaan suami .Jika pengadilan tidak memperoleh informasi maka pengadilan dapat meminta kepada sang istri untuk menunggu mafqudnya suami terhitung empat tahun dan kemudian melaksanakan masa iddah kematian
Setelah itu istri dapat menikah kembali dengan laki laki lain.jika setelah nikah kedua tiba tiba suami pertama datang kembali ,maka pernikahan kedua tetap sah asal ia telah di gauli suami kedua tanpa tau sedikitpun mengenai kehidupan suami pertama.Jika suami kedua mempunya informasi mengenai kehidupan suami pertama ,maka perkawinan kedua di anggap batal dan istri menjadi milik suami pertama
Di sinilah letak pentingnya kepedulian semua pihak, terutama wali bagi wanita untuk memperhatikan nasib wanita yang berada di bawah perwaliannya. Juga para tokoh masyarakat dan pihak pemerintah harus peduli akan keadaan semua anggota masyarakat jangan sampai ada yang tidak tahu hak dan kewajibannya sehingga melakukan kesalahan prosedural.
Sedangkan dalam hukum positif menggunakan alasan suami meninggalkan istri selama 2 tahun berturut-turut, atau karena melanggar tak'lik talaq.

Bagi orang Islam, dalam kaitannya dengan penentuan suami mafqud (hilang) sebagai alasan perceraian, maka hakim Pengadilan Agama harus berpijak pada peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang No.3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum Islam (Kill) sebagai peraturan pelaksananya. Dalam hal ini istri mengajukan gugatannya ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal penggugat. Namun, apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui maka Panitera akan menempelkan surat gugatan penggugat di papan pengumuman yang ada di Pengadilan Agama atau melalui media massa.

Sedangkan bagi hakim Pengadilan Negeri, hakim Pengadilan Negeri harus berpijak pada peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah perkawinan yakni Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksananya. Hukum acara yang berlaku dan yang dapat dijadikan pedoman oleh hakim dalam memutus perkara perceraian dengan alasan salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain adalah HIR sebagai ketentuan umum (lex generalis) dan Undang-undang No.7 Tahun 1989 sebagai ketentuan khusus (lex specialis) serta kompilasi hukum Islam sebagai hukum materiilnya. Ketentuan ini termuat dalam pasal 54 Undang-undang No.7 Tahun 1989.


Aspek syar’i
Kata Mafqud dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar Faqada yang berarti hilang.Menurut para Faradhiyun Mafqud itu diartikan dengan orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak diketahui tentang hidup dan matinya.
Selain itu, ada yang mengartikan Mafqud sebagai orang yang tidak ada kabarnya, dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudan meninggal.
Dalam pembahasan ulama fikih, penentuan status bagi Mafqud, apakah ia masih hidup atau telah wafat amatlah penting, karena menyangkut beberapa hak dan kewajiban dari si Mafqud tersebut serta hak dan kewajiban keluarganya sendiri.
Bagaimana status hukum perkawinan seorang wanita yang masih memiliki suami mafqud (hilang) ditinjau dari Hukum Islam?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini :
Pendapat Pertama : bahwa seorang istri yang ditinggal lama oleh suaminya hendaknya sabar dan tidak boleh menuntut cerai. Ini adalah pendapat
madzab Hanafiyah dan Syafi’iyah serta adh -Dhahiriyah.
Mereka berdalil bahwa pada asalnya pernikahan antara kedua masih berlangsung hingga terdapat keterangan yang jelas, bahwa suaminya meninggal atau telah menceraikannya.
( az- Zaila’i, Nasbu ar Rozah fi takhrij ahadits al hidayah: kitab al mafqud , Ibnu Hamam, Syareh Fathu al Qadir ; Kitab al Mafqud, Ibnu Hazm, al Muhalla bi al Atsar ; Faskh nikah al mafqud )

Pendapat Kedua :
bahwa seorang istri yang ditinggal lama oleh suaminya, dan merasa dirugikan secara batin, maka dia berhak menuntut cerai. Ini adalah pendapat Hanabilah dan Malikiyah.
Adapun dalil-dalil yang bisa dikemukakan untuk mendukung pendapat ini adalah :
1/ Firman Allah swt :
“ Dan pergaulilah mereka dengan baik “ ( Qs An Nisa : 19 )
2/ Firman Allah swt :
“ Janganlah engkau tahan mereka untuk memberi kemudharatan bagi mereka, karena demikian itu berarti kamu menganiaya mereka. “ ( Qs Al Baqarah : 231 )
3/ Sabda Rasulullah saw :
“ Tidak ada yang mudharat ( dalam ajaran Islam ) dan tidak boleh seorang muslim membuat kemudharatan bagi orang lain “ ( Hadist Hasan Riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni )
Ayat dan hadist di atas melarang seorang muslim, khususnya suami untuk membuat kemudharatan bagi istrinya dengan pergi meninggalkan rumah dalam jangka waktu yang lama tanpa ada keperluan yang jelas. Maka, istri yang merasa dirugikan dengan kepergian suaminya tersebut berhak untuk menolak mudharat tersebut dengan gugatan cerai yang diajukan ke pengadilan.
4/ Disamping itu, seorang istri dalam keadaan sendirian, biasanya sangat sulit untuk menjaga dirinya , apalagi di tengah-tengah zaman yang penuh dengan fitnah seperti ini. Untuk menghindari firnah dan bisikan syetan tersebut, maka dibolehkan baginya untuk meminta cerai dan menikah dengan lelaki lain.
5/ Mereka juga mengqiyaskan dengan masalah “al- iila’ “( suami yang bersumpah untuk tidak mendekati istrinya ) dan “ al Unnah “ ( suami yang impoten ) , dalam dua masalah tersebut sang istri boleh memilih untuk cerai, maka begitu juga dalam masalah ini. ( Ibnu Rusydi, Bidayat al Mujtahid wa Nihayah al Maqasid, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 2/ 52 ).
Hanya saja para ulama yang memegang pendapat kedua ini berbeda pendapat dalam beberapa masalah :
Para ulama dari kalangan Hanabilah
menyatakan bahwa suami yang meninggalkan istrinya selama enam bulan tanpa berita, maka istri berhak meminta cerai dan menikah dengan laki-laki lain.
Mereka berdalil dengan kisah Umar bin Khattab yang mendengar keluhan seorang wanita lewat bait-bait syai’irnya ketika ditinggal suaminya berperang, kemudian beliau menanyakan kepada anaknya Hafshah tentang batas kesabaran seorang perempuan berpisah dengan suaminya,
maka Hafsah menjawab enam bulan. Dan keputusan ini hanya berlaku bagi suami yang pergi begitu saja tanpa ada udzur syar’i, dan disebut dengan faskh nikah ( pembubaran pernikahan ) dan tidak disebut talak.
( Muhammad Abu Zahrah, al Ahwal as Syakhsiyah, Kairo, 1957, Dar al Fikr al Arabi, hlm : 367 ).
Adapun para ulama Malikiyah menentukan batas waktu waktu satu tahun, bahkan dalam riwayat lain batasan waktunya adalah empat tahun, dimana seorang istri boleh meminta cerai dan menikah dengan suami lain. Dan ketentuan ini berlaku bagi suami yang pergi, baik karena ada udzur syar’i maupun tidak ada udzur syar’i. Jika hakim yang memisahkan antara keduanya, maka disebut talak bain.
(Ibnu Rusydi : 2/ 54 ).
Mereka juga membedakan antara yang hilang di Negara Islam, atau di Negara kafir, atau hilang dalam kondisi fitnah atau hilang dalam peperangan. Masing-masing mempunyai waktu tersendiri.
Jika suami berada di tempat yang bisa dijangkau oleh surat atau peringatan, maka seorang hakim diharuskan untuk memberikan peringatan terlebih dahulu, baik lewat surat, telpon, sms, maupun kurir ataupun cara-cara yang lain, dan menyuruhnya untuk segera kembali dan tinggal bersama istrinya, atau memindahkan istrinya ditempatnya yang baru atau kalau perlu diceraikannya. Kemudian sang hakim memberikan batasan waktu tertentu untuk merealisasikan peringatan tersebut, jika pada batas tertentu sang suami tidak ada respon, maka sang hakim berhak untuk memisahkan antara keduanya.
(Ibnu Juzai, al Qawanin al Fiqhiyah, Kairo, Daar al hadits, 2005 ,hlm : 177, Muhammad Abu Zahrah: 366 )
Pendapat yang lebih mendekati kebenaran- wallahu a’lam- adalah pendapat yang menyatakan bahwa batasan waktu dimana seorang istri boleh meminta cerai dan menikah dengan lelaki lain, jika suami pergi tanpa udzur syar’i adalah satu tahun atau lebih. Itupun, jika istri merasa dirugikan secara lahir maupun batin, dan suaminya telah terputus informasinya serta tidak diketahui nasibnya. Itu semua berlaku jika kepergian suami tersebut tanpa ada keperluan yang berarti.
Adapun jika kepergian tersebut untuk suatu maslahat, seperti berdagang, atau tugas, atau belajar, maka seorang istri hendaknya bersabar dan tidak diperkenankan untuk mengajukan gugatan cerai kepada hakim.
Gugatan cerai ini, juga bisa diajukan oleh seorang istri yang suaminya dipenjara karena kejahatan atau perbuatan kriminal lainnya yang merugikan masyarakat banyak, sekaligus sebagai pelajaran agar para suami untuk tidak melakukan tindakan kejahatan. ( Muhammad Abu Zahrah : 368)
Adapun mayoritas ulama tidak membolehkan hal tersebut, karena tidak ada dalil syar’i yang dijadikan sandaran. ( Ibnu Qudamah, al Mughni, Riyadh, Daar Alami al Kutub, Juz 11, hal : 247, DR. Wahbah Az-Zuhaili, al Fiqh al-Islami, Damaskus, Dar al Fikr, 1989, Cet ke 3, Juz :7, hlm :535)
Jika hakim telah memisahkan antara keduanya dan telah selesai masa iddahnya, kemudian sang istri menikah dengan lelaki yang lain, tiba-tiba mantan suaminya muncul, maka pernikahan istri dengan laki-laki yang kedua tidak bisa dibatalkan, karena penikahan dengan lelaki yang pertama ( mantan suaminya ) sudah batal.( Ibnu Juzai : 177 )
Adapun jika dasar pemisahan antara suami istri tersebut, karena diprediksikan bahwa suaminya telah meninggal dunia, tetapi pada kenyataannya masih hidup, maka pernikahan yang kedua batal. Dan pernikahan pertama masih berlangsung.


kasus ini Imam Syafi’i mengemukakan dua qaul :
• Menurut Qaul Jadi_d ; batas masa tunggu bagi istri seorang mafqud agar ia boleh menikah dengan lelaki lain, yaitu hingga ada kepastian suami telah meninggal atau mentalak istrinya atau sesamanya.
• Menurut Qaul Qadi_m ; batas masa tunggunya adalah 4 tahun ditambah masa iddah 4 bulan sepuluh hari (iddah wafat).

Adapun dalam mewaris hartanya tidak diperbolehkan hingga ada kejelasan / kepastian si mafqud telah meninggal atau orang-orang yang seusia dengannya telah meninggal.
Catatan : Jika dengan sebab kepergian suami mengakibatkan istrinya kesulitan mendapatkan nafkah maka ia boleh mengajukan fasakh.

b. Apabila si mafqud datang / kembali, maka ahli waris harus mengembalikan harta yang telah diwarisnya atau menggantinya jika telah habis. Dan demikian pula istrinya yang telah menikah, juga harus kembali menjadi istri si-mafqud.
Menurut Al Karabisi menukil dari Imam Syafi’i, bahwa suami pertama boleh memilih antara mencabut istrinya dari suami kedua atau membiarkannya ditangan suami kedua dengan memungut mahar mitsil darinya.

Dasar Penetapan:
a. Al-Qur'an

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ (النساء : 24)

dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (maksudnya; budak wanita yang ditawan dan suaminya tidak ikut tertawan) (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.
(an-Nisa_' : 24)


وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا (البقرة :234)
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS: Al-Baqarah 234)

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا (النساء : 7)
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (an-Nisa_' : 7)







b. As-Sunnah

عن ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا كَانَ يَقُولُ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَلَايَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ (رواه البخاري)
هِيَ امْرَأَتُهُ حَتَّى يَأْتِيَهَا الْبَيَانُ (رواه الدارقطني عن سوار بن مصعب)

Dia (isteri orang yang hilang) adalah isterinya (orang yang hilang) hingga ada kejelasan (HR. Daruquthni dari Sawwar bin Mush’ab)

A. Pandangan ulama fikih dan dasar hukum yang mengatur Mafqud
Dalam menetapkan status bagi mafqud (apakah ia masih hidup atau tidak), para ulama fikih cenderung memandangnya dari segi positif, yaitu dengan menganggap orang yang hilang itu masih hidup, sampai dapat dibuktikan dengan bukti-bukti bahwa ia telah wafat. Sikap yang diambil ulama fikih ini berdasarkan kaidah istishab yaitu menetapkan hukum yang berlaku sejak semula, sampai ada dalil yang menunjukan hukum lain.
Akan tetapi, anggapan masih hidup tersebut tidak bisa dipertahankan terus menerus, karena ini akan menimbulkan kerugian bagi orang lain. Oleh karena itu, harus digunakan suatu pertimbangan hukum untuk mencari kejelasan status hukum bagi si mafqud (para ulama fikih telah sepakat bahwa yang berhak untuk menetapkan status bagi orang hilang tersebut adalah hakim, baik untuk menetapkan bahwa orang hilang telah wafat atau belum.
Ada dua macam pertimbangan hukum yang dapat digunakan dalam mencari kejelasan status hukum bagi si mafqud, yaitu:
1. Berdasarkan bukti-bukti yang otentik, yang dibenarkan oleh syariat, yang dapat menetapkan suatu ketetapan hukum, sebagaimana dalam kaidah:
“Tsa bitu bil bayyinati katssabinati bil mu’aa yanah” artinya, “yang tetap berdasarkan bukti bagaikan yang tetap berdasarkan kenyataan”.
Misalnya, ada dua orang yang adil dan dapat dipercaya untuk memberikan kesaksian bahwa si fulan yang hilang telah meninggal dunia, maka hakim dapat menjadikan dasar persaksian tersebut untuk memutuskan status kematian bagi si mafqud. Jika demikian halnya, maka si mafqud sudah hilang status mafqudnya. Ia ditetapkan seperti orang yang mati haqiqy.
2. Berdasarkan tenggang waktu lamanya si mafqud pergi atau berdasarkan kadaluwarsa.

Para ulama berbeda pendapat perihal tenggang waktu untuk menghukumi/menetapkan kematian bagi si mafqud. Mereka terbagi kedalam beberapa mazhab:
1. Imam Malik dalam salah satu pendapatnya menetapkan waktu yang diperbolehkan bagi hakim memberi vonis kematian si mafqud ialah 4 (empat) tahun. Pendapat ini beliau istimbatkan dari perkataan Umar bin Khattab yang menyatakan:
“Setiap isteri yang ditinggalkan oleh suaminya, sedang dia tidak mengetahui dimana suaminya, maka ia menunggu empat tahun, kemudian dia ber’iddah selama empat bulan sepuluh hari, kemudian lepaslah dia….” (HR Bukhari)[10]
2. Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Abu Yusuf dan Muhamad bin al-Hasan berpendapat bahwa si mafqud boleh diputuskan kematiannya oleh hakim bila sudah tidak ada kawan sebayanya yang masih hidup. Secara pasti hal tersebut tidak dapat ditentukan. Oleh sebab itu, beliau menyerahkan kepada Ijtihad hakim. Hakim dapat memberi vonis kematian si mafqud menurut ijtihad-nya demi suatu kemashalatan.

3. Abdul Malik Ibnul-Majisyun mefatwakan agar si mafqud tersebut mencapai umur 90 tahun beserta umur sewaktu kepergiannya. Sebab menurut kebiasaan, seseorang itu tidak akan mencapai umur 90 tahun. Beliau menyatakan alasan tersebut berdasarkan Hadits Rasul SAW yang berbunyi “Umur-umur umatku itu antara 70 dan 60 tahun.”

4. Imam Ahmad berpendapat bahwa di dalam menetapkan status hukum bagi si mafqud, hakim harus melihat “situasi” hilangnya si mafqud tersebut. manurut beliau situasi hilangnya si mafqud itu dapat dibedakan atas:
i. Situasi kepergiannya atau hilangnya itu memungkinkan membawa malapetaka. misalnya dalam situasi naik kapal tenggelam yang kapalnya pecah dan sebagian penumpannya telah tenggelam atau dalam situasi peperangan, maka setelah diadakan penyelidikkan oleh hakim secermat-cermatnya, hakim dapat menetapkan kematiannya setelah lewat empat tahun lamanya.
ii. Situasi kepergiannya itu menurut kebiasaan tidak sampai membawa malapetaka. misalnya pergi untuk menurut ilmu, ibadah haji, dan sebaginya, tetapi kemudian ia tidak kembali dan tidak diketahui kabar beritanya lagi dan dimana domisilinya, maka dalam hal seperti itu diserahkan kepada hakim untuk menetapkan status bagi si mafqud menurut ijtihad-nya.
Walaupun demikian, praktek pelaksanaannya di pengadilan agama, bahwa mengenai ada atau tidaknya kewenangan untuk menetapkan/menghukumi status bagi mafqud tersebut (dengan menyatakan ia telah meninggal atau belum) masih bersifat masih dapat diperdebatkan (debatable).
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat penulis mengambil benang merah, antara lain:
1. Status hukum bagi si mafqud (meninggal atau tidak) sangat berpengaruh pada kehidupan bahtera keluarga, terlebih apabila menyangkut dengan keluarga besar yang terdiri dari orangtua, saudara-saudara.
2. Status hukum si mafqud dapat ditetapkan dan dimintakan kepada hakim pengadilan negeri, atas suatu persitiwa yang menimpa pihak-pihak yang berkepentingan, sehingga akan semakin jelas dari pihak-pihak yang ditinggalkan.
3. Dalam menetapkan status si mafqud, seorang hakim harus berasaskan bebas tapi terikat, yang artinya bebas memakai penafsiran dan berijtihad dengan dalil-dalil dengan sungguh-sungguh, tetapi terikat dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan peraturan perundang-undangan di Indonesia, sehingga dalam pembagian warisan kepada masing-masing pihak yang berkepentingan tidak menimbulkan konflik dan adanya pembagian yang seadil-adilnya.

B. Saran
Dari kesimpulan yang dijabarkan diatas penulis dapat memberi rekomendasi antara lain:
1. Dalam memutuskan perkara, maka hakim peradilan agama benar-benar harus menggali dan berijtihad dengan sungguh-sungguh agar dalam memutuskan perkara tidak ada kesalahan dan tidak ada rasa ragu-ragu.
2. Selain itu, ada kekurangan dalam produk legislasi Indonesia, dimana tidak mengatur dengan jelas dan tegas dalam undang-undang bagaimana penyelesaian serta akibat-akibat yang harus ditanggung ketika ada seseorang yang hilang, seperti halnya dalam bidang pernikahan (mafqud).



status hukum perkawinan seorang wanita yang masih memiliki suami mafqud (hilang) ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif.


Pembahasan terhadap soal-soal perkawinan selalu akan menarik karena lembaga perkawinan itulah yang melahirkan keluarga, tempat seluruh hidup dan kehidupan manusia berputar. Dan karena kedudukannya yang istimewa dalam hidup dan kehidupan manusia, maka masalah perkawinan perlu diatur dalam suatu undang-undang.

Adapun mengenai peraturan yang berlaku dan mengatur masalah perkawinan di Indonesia saat ini adalah:
Undang-Undang No.1 Tahun 1974
tentang perkawinan yang dipertegas dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan juga INPRES NO. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Undang-Undang No.1 Tahun 1974
tentang perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan disingkat (UUP) disahkan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 2 Januari 1974 dan diundangkan dalam Lembaran Negara No.1 Tahun 1974 dan penjelasannya dimuat dalam tambahan Lembaran Negara No. 3019.
Adapun dasar pertimbangan pemerintah Republik Indonesia dan DPR untuk mengeluarkan Undang-Undang Perkawinan ini adalah, bahwa sesuai dengan falsafah pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya undang-undang tentang perkawinan yang berlaku bagi semua warga Negara Indonesia.
Awalnya perkawinan adalah bertujuan untuk selama-lamanya, tetapi adakalanya karena sebab-sebab tertentu bisa mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan, jadi harus diputuskan di tengah jalan atau terpaksa putus dengan sendirinya atau dengan kata lain terjadi perceraian diantara suami isteri.
Kesulitan ekonomi terutama dalam hal pemenuhan nafkah dan kebutuhaan hidup sering membuat kehidupan rumah tangga menjadi kurang bahagia, hal ini menyebabkan banyak suami yang merantau jauh, misalnya para suami yang menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidup anak dan isterinya, kepergian suami untuk mencari nafkah terkadang bukan hanya berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun tanpa kabar berita.
Kenyataan ini tentunya akan menimbulkan problem baru dalam rumah tangganya dan berpengaruh pada anggota keluarga yang ditinggalkannya, tidak jarang isteri memutuskan untuk menggugat cerai dan berniat menikah lagi, hal ini karena seorang isteri adalah kaum yang ?lemah? yang butuh perlindungan dari seorang suami baik karena alasan ekonomi ataupun alasan biologis. Bahkan dari pernikahan isteri dengan suami yang baru telah dikaruniai beberapa orang anak, bila beberapa tahun berikutnya sang suami kembali dan menggugat perkawinan tersebut maka akan timbullah permasalahan baru baik itu menyangkut status hukum perkawinan tersebut maupun status hukum anaknya.
Dari latar belakang di atas maka penulis akan merumuskannya menjadi beberapa permasalahan utama sebagai fokus pembahasan dalam tugas akhir ini. Rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:

Bagaimana status hukum perkawinan seorang wanita yang masih memiliki suami mafqud (hilang) ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif ?

Sedangkan tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah :
1.Untuk mengetahui status hukum perkawinan seorang wanita yang masih memiliki suami mafqud (hilang) ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif.

Dalam penulisan ini, penulis menggunakan pendekatan yuridis normative yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas obyektifitas dari tulisan ini. Adapun metode penulisan yang digunakan penulis adalah pendekatan yuridis komparatif, yaitu penulis berusaha untuk menganalisa dan mengkaji suatu permasalahan hukum yaitu melakukan perbandingan dengan dua sudut pandang yang berbeda antara Hukum Islam dan Hukum Positif.
Dan untuk menunjang penulisan tugas akhir ini, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data untuk memperoleh data yang lebih akurat dan konkrit. Adapun teknik yang dilakukan penulis adalah library reseach atau kajian pustaka, dimana penulis berusaha untuk menemukan, mengembangkan, serta mengkaji dari literature yang ada dengan menitik beratkan bagaimana Hukum Islam dan Hukum Positif menyikapi permasalahan status hukum perkawinan wanita dari suami mafqud. Literatur yang digunakan dapat berbentuk buku, majalah, ataupun pendapat-pendapat hukum yang mempunyai kompetensi.

Sedangkan dalam penulisan tugas akhir ini, penulis menggunakan teknik Deskriptif Analisis,yaitu bertujuan untuk memperoleh gambaran secara rinci dan menyeluruh mengenai obyek masalah yang diteliti dan kemudian dianalisa. Metode ini merupakan teknik yang membuat kesimpulan dengan mengidentifikasi secara detail karakteristik isi yang tersirat secara obyektif dan sistematis. Kemudian diadakan perbandingan antara teori yang terdapat dalam Hukum Islam dan Hukum positif dengan fakta yang ada untuk mendapatkan suatu pemecahan masalah.

Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa ternyata baik itu Hukum Islam maupun Hukum Positif menganggap sah perkawinan yang dilakukan oleh wanita dari suami yang mafqud selama pernikahan tersebut sudah mentaati kaidah-kaidah yang telah ditentukan oleh ahli Hukum Islam ataupun ketentuan undang-undang yang ada.
Dan juga selama perkawinan yang dilakukan itu adalah perkawinan yang sudah memenuhi rukun dan syaratnya sah-nya perkawinan. Sedangkan tentang keadaan dimana suami yang mafqud tersebut kembali maka dalam Hukum Islam terdapat beberapa pendapat para ahli fiqih yang berbeda-beda, sementara dalam Hukum Positif suami yang mafqud tersebut tidak berhak lagi menjadi suami dari wanita tersebut karena pengadilan telah memutuskan perkawinannya..
Pada akhir penulisan Tugas akhir ini ada beberapa kesimpulan dan saran yang dapat untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan khususnya bagi kalangan yang berkompeten dalam masalah ini untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat, baik itu sebagai pribadi maupun sebagai kelembagaan keagamaan, sehingga mendapat penerangan dan kejelasan tentang persoalan ini.




Aspek hukum positif
Dalam hukum positif, seorang istri akan tetap menjadi istri dari suami pertamanya yang menikahinya secara sah, sampai suaminya menceraikannya atau dia sendiri yang mengajukan cerai dan pengajuannya itu diterima pihak berwenang (dalam hal ini adalah Kantor Urusan Agama).
Si Istri berhak mengajukan cerai yang disebut khulu’, tapi itu harus diputuskan oleh pengadilan agama. Bila tidak mengajukan khulu’ atau tuntutan apapun kepada pihak berwenang. Makanya, si istri yang di tinggal (mafqud) dianggap ridha terhadap perlakuan suami yang menghilang

Apabila sejak awal akad nikah sudah ada shighat talak ta’liq dimana salah satu pointnya adalah ”jika suami menghilang dalam jangka waktu tertentu (harus disebutkan berapa lama), atau tidak memberi nafkah, atau hal lain maka otomatis akan jatuh talak”, barulah si istri yang di tinggal (mafqud) bisa dikatakan tercerai secara otomatis.
Sebetulnya dalam buku perkawinan yang ada sekarang ini, ada shighat ta’liq,apabila terjadi pelanggaran dari pihak suami, tetap saja istri harus mengajukan tuntutan terlebih dahulu ke pengadilan Agama. Artinya, bila suami melanggar shighat ta’liq tapi si istri tidak mengajukan tuntutan, maka tidak akan terjadi perceraian.
Intinya adalah, apapun pelanggaran suami termasuk menghilang tanpa kabar berita dan tidak ada shighat ta’liq sejak awal akad, atau si istri tidak mengajukan penceraian kepada pihak berwenang, maka si istri yang di tinggal (mafqud) tetap menjadi istri sah dari suami pertama. Akibatnya, perkawinan si istri yang di tinggal(mafqud) dengan suami kedua batal sejak awal dan harus dihentikan.
Dalam kompilasi hukum Islam yang diterbitkan departemen agama, Bab XI pasal 71 point b, ”perkawinan dapat dibatalkan bila perempuan yang dikawini ternyata kemudian dketahui masih menjadi istri pria lain yangmafqud (hilang tak ketahuan rimbanya).”


Rujukan pembanding (hukum antar negara):
contoh penetapan dan pembaharuan hukum sudan 17 tahun 1916 tentang bubarnya perkawinan karena (mafqud)
Dalam manshurat itu di ungkapkan jika seorang suami pergi menghilang dalam waktu yang panjang
Meskipun ia meninggalkan harta maka seorang istri dapat mengajukan masalah tersebut kedepan pengadilan .selanjutnya pengadilan akan melakukan pencarian dan melacak informasi keadaan suami .Jika pengadilan tidak memperoleh informasi maka pengadilan dapat meminta kepada sang istri untuk menunggu mafqudnya suami terhitung empat tahun dan kemudian melaksanakan masa iddah kematian
Setelah itu istri dapat menikah kembali dengan laki laki lain.jika setelah nikah kedua tiba tiba suami pertama datang kembali ,maka pernikahan kedua tetap sah asal ia telah di gauli suami kedua tanpa tau sedikitpun mengenai kehidupan suami pertama.Jika suami kedua mempunya informasi mengenai kehidupan suami pertama ,maka perkawinan kedua di anggap batal dan istri menjadi milik suami pertama
Di sinilah letak pentingnya kepedulian semua pihak, terutama wali bagi wanita untuk memperhatikan nasib wanita yang berada di bawah perwaliannya. Juga para tokoh masyarakat dan pihak pemerintah harus peduli akan keadaan semua anggota masyarakat jangan sampai ada yang tidak tahu hak dan kewajibannya sehingga melakukan kesalahan prosedural.
Sedangkan dalam hukum positif menggunakan alasan suami meninggalkan istri selama 2 tahun berturut-turut, atau karena melanggar tak'lik talaq.

Bagi orang Islam, dalam kaitannya dengan penentuan suami mafqud (hilang) sebagai alasan perceraian, maka hakim Pengadilan Agama harus berpijak pada peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang No.3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum Islam (Kill) sebagai peraturan pelaksananya. Dalam hal ini istri mengajukan gugatannya ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal penggugat. Namun, apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui maka Panitera akan menempelkan surat gugatan penggugat di papan pengumuman yang ada di Pengadilan Agama atau melalui media massa.

Sedangkan bagi hakim Pengadilan Negeri, hakim Pengadilan Negeri harus berpijak pada peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah perkawinan yakni Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksananya. Hukum acara yang berlaku dan yang dapat dijadikan pedoman oleh hakim dalam memutus perkara perceraian dengan alasan salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain adalah HIR sebagai ketentuan umum (lex generalis) dan Undang-undang No.7 Tahun 1989 sebagai ketentuan khusus (lex specialis) serta kompilasi hukum Islam sebagai hukum materiilnya. Ketentuan ini termuat dalam pasal 54 Undang-undang No.7 Tahun 1989.


Aspek syar’i
Kata Mafqud dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar Faqada yang berarti hilang.Menurut para Faradhiyun Mafqud itu diartikan dengan orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak diketahui tentang hidup dan matinya.
Selain itu, ada yang mengartikan Mafqud sebagai orang yang tidak ada kabarnya, dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudan meninggal.
Dalam pembahasan ulama fikih, penentuan status bagi Mafqud, apakah ia masih hidup atau telah wafat amatlah penting, karena menyangkut beberapa hak dan kewajiban dari si Mafqud tersebut serta hak dan kewajiban keluarganya sendiri.
Bagaimana status hukum perkawinan seorang wanita yang masih memiliki suami mafqud (hilang) ditinjau dari Hukum Islam?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini :
Pendapat Pertama : bahwa seorang istri yang ditinggal lama oleh suaminya hendaknya sabar dan tidak boleh menuntut cerai. Ini adalah pendapat
madzab Hanafiyah dan Syafi’iyah serta adh -Dhahiriyah.
Mereka berdalil bahwa pada asalnya pernikahan antara kedua masih berlangsung hingga terdapat keterangan yang jelas, bahwa suaminya meninggal atau telah menceraikannya.
( az- Zaila’i, Nasbu ar Rozah fi takhrij ahadits al hidayah: kitab al mafqud , Ibnu Hamam, Syareh Fathu al Qadir ; Kitab al Mafqud, Ibnu Hazm, al Muhalla bi al Atsar ; Faskh nikah al mafqud )

Pendapat Kedua :
bahwa seorang istri yang ditinggal lama oleh suaminya, dan merasa dirugikan secara batin, maka dia berhak menuntut cerai. Ini adalah pendapat Hanabilah dan Malikiyah.
Adapun dalil-dalil yang bisa dikemukakan untuk mendukung pendapat ini adalah :
1/ Firman Allah swt :
“ Dan pergaulilah mereka dengan baik “ ( Qs An Nisa : 19 )
2/ Firman Allah swt :
“ Janganlah engkau tahan mereka untuk memberi kemudharatan bagi mereka, karena demikian itu berarti kamu menganiaya mereka. “ ( Qs Al Baqarah : 231 )
3/ Sabda Rasulullah saw :
“ Tidak ada yang mudharat ( dalam ajaran Islam ) dan tidak boleh seorang muslim membuat kemudharatan bagi orang lain “ ( Hadist Hasan Riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni )
Ayat dan hadist di atas melarang seorang muslim, khususnya suami untuk membuat kemudharatan bagi istrinya dengan pergi meninggalkan rumah dalam jangka waktu yang lama tanpa ada keperluan yang jelas. Maka, istri yang merasa dirugikan dengan kepergian suaminya tersebut berhak untuk menolak mudharat tersebut dengan gugatan cerai yang diajukan ke pengadilan.
4/ Disamping itu, seorang istri dalam keadaan sendirian, biasanya sangat sulit untuk menjaga dirinya , apalagi di tengah-tengah zaman yang penuh dengan fitnah seperti ini. Untuk menghindari firnah dan bisikan syetan tersebut, maka dibolehkan baginya untuk meminta cerai dan menikah dengan lelaki lain.
5/ Mereka juga mengqiyaskan dengan masalah “al- iila’ “( suami yang bersumpah untuk tidak mendekati istrinya ) dan “ al Unnah “ ( suami yang impoten ) , dalam dua masalah tersebut sang istri boleh memilih untuk cerai, maka begitu juga dalam masalah ini. ( Ibnu Rusydi, Bidayat al Mujtahid wa Nihayah al Maqasid, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 2/ 52 ).
Hanya saja para ulama yang memegang pendapat kedua ini berbeda pendapat dalam beberapa masalah :
Para ulama dari kalangan Hanabilah
menyatakan bahwa suami yang meninggalkan istrinya selama enam bulan tanpa berita, maka istri berhak meminta cerai dan menikah dengan laki-laki lain.
Mereka berdalil dengan kisah Umar bin Khattab yang mendengar keluhan seorang wanita lewat bait-bait syai’irnya ketika ditinggal suaminya berperang, kemudian beliau menanyakan kepada anaknya Hafshah tentang batas kesabaran seorang perempuan berpisah dengan suaminya,
maka Hafsah menjawab enam bulan. Dan keputusan ini hanya berlaku bagi suami yang pergi begitu saja tanpa ada udzur syar’i, dan disebut dengan faskh nikah ( pembubaran pernikahan ) dan tidak disebut talak.
( Muhammad Abu Zahrah, al Ahwal as Syakhsiyah, Kairo, 1957, Dar al Fikr al Arabi, hlm : 367 ).
Adapun para ulama Malikiyah menentukan batas waktu waktu satu tahun, bahkan dalam riwayat lain batasan waktunya adalah empat tahun, dimana seorang istri boleh meminta cerai dan menikah dengan suami lain. Dan ketentuan ini berlaku bagi suami yang pergi, baik karena ada udzur syar’i maupun tidak ada udzur syar’i. Jika hakim yang memisahkan antara keduanya, maka disebut talak bain.
(Ibnu Rusydi : 2/ 54 ).
Mereka juga membedakan antara yang hilang di Negara Islam, atau di Negara kafir, atau hilang dalam kondisi fitnah atau hilang dalam peperangan. Masing-masing mempunyai waktu tersendiri.
Jika suami berada di tempat yang bisa dijangkau oleh surat atau peringatan, maka seorang hakim diharuskan untuk memberikan peringatan terlebih dahulu, baik lewat surat, telpon, sms, maupun kurir ataupun cara-cara yang lain, dan menyuruhnya untuk segera kembali dan tinggal bersama istrinya, atau memindahkan istrinya ditempatnya yang baru atau kalau perlu diceraikannya. Kemudian sang hakim memberikan batasan waktu tertentu untuk merealisasikan peringatan tersebut, jika pada batas tertentu sang suami tidak ada respon, maka sang hakim berhak untuk memisahkan antara keduanya.
(Ibnu Juzai, al Qawanin al Fiqhiyah, Kairo, Daar al hadits, 2005 ,hlm : 177, Muhammad Abu Zahrah: 366 )
Pendapat yang lebih mendekati kebenaran- wallahu a’lam- adalah pendapat yang menyatakan bahwa batasan waktu dimana seorang istri boleh meminta cerai dan menikah dengan lelaki lain, jika suami pergi tanpa udzur syar’i adalah satu tahun atau lebih. Itupun, jika istri merasa dirugikan secara lahir maupun batin, dan suaminya telah terputus informasinya serta tidak diketahui nasibnya. Itu semua berlaku jika kepergian suami tersebut tanpa ada keperluan yang berarti.
Adapun jika kepergian tersebut untuk suatu maslahat, seperti berdagang, atau tugas, atau belajar, maka seorang istri hendaknya bersabar dan tidak diperkenankan untuk mengajukan gugatan cerai kepada hakim.
Gugatan cerai ini, juga bisa diajukan oleh seorang istri yang suaminya dipenjara karena kejahatan atau perbuatan kriminal lainnya yang merugikan masyarakat banyak, sekaligus sebagai pelajaran agar para suami untuk tidak melakukan tindakan kejahatan. ( Muhammad Abu Zahrah : 368)
Adapun mayoritas ulama tidak membolehkan hal tersebut, karena tidak ada dalil syar’i yang dijadikan sandaran. ( Ibnu Qudamah, al Mughni, Riyadh, Daar Alami al Kutub, Juz 11, hal : 247, DR. Wahbah Az-Zuhaili, al Fiqh al-Islami, Damaskus, Dar al Fikr, 1989, Cet ke 3, Juz :7, hlm :535)
Jika hakim telah memisahkan antara keduanya dan telah selesai masa iddahnya, kemudian sang istri menikah dengan lelaki yang lain, tiba-tiba mantan suaminya muncul, maka pernikahan istri dengan laki-laki yang kedua tidak bisa dibatalkan, karena penikahan dengan lelaki yang pertama ( mantan suaminya ) sudah batal.( Ibnu Juzai : 177 )
Adapun jika dasar pemisahan antara suami istri tersebut, karena diprediksikan bahwa suaminya telah meninggal dunia, tetapi pada kenyataannya masih hidup, maka pernikahan yang kedua batal. Dan pernikahan pertama masih berlangsung.


kasus ini Imam Syafi’i mengemukakan dua qaul :
• Menurut Qaul Jadi_d ; batas masa tunggu bagi istri seorang mafqud agar ia boleh menikah dengan lelaki lain, yaitu hingga ada kepastian suami telah meninggal atau mentalak istrinya atau sesamanya.
• Menurut Qaul Qadi_m ; batas masa tunggunya adalah 4 tahun ditambah masa iddah 4 bulan sepuluh hari (iddah wafat).

Adapun dalam mewaris hartanya tidak diperbolehkan hingga ada kejelasan / kepastian si mafqud telah meninggal atau orang-orang yang seusia dengannya telah meninggal.
Catatan : Jika dengan sebab kepergian suami mengakibatkan istrinya kesulitan mendapatkan nafkah maka ia boleh mengajukan fasakh.

b. Apabila si mafqud datang / kembali, maka ahli waris harus mengembalikan harta yang telah diwarisnya atau menggantinya jika telah habis. Dan demikian pula istrinya yang telah menikah, juga harus kembali menjadi istri si-mafqud.
Menurut Al Karabisi menukil dari Imam Syafi’i, bahwa suami pertama boleh memilih antara mencabut istrinya dari suami kedua atau membiarkannya ditangan suami kedua dengan memungut mahar mitsil darinya.

Dasar Penetapan:
a. Al-Qur'an

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ (النساء : 24)

dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (maksudnya; budak wanita yang ditawan dan suaminya tidak ikut tertawan) (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.
(an-Nisa_' : 24)


وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا (البقرة :234)
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS: Al-Baqarah 234)

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا (النساء : 7)
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (an-Nisa_' : 7)







b. As-Sunnah

عن ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا كَانَ يَقُولُ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَلَايَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ (رواه البخاري)
هِيَ امْرَأَتُهُ حَتَّى يَأْتِيَهَا الْبَيَانُ (رواه الدارقطني عن سوار بن مصعب)

Dia (isteri orang yang hilang) adalah isterinya (orang yang hilang) hingga ada kejelasan (HR. Daruquthni dari Sawwar bin Mush’ab)

A. Pandangan ulama fikih dan dasar hukum yang mengatur Mafqud
Dalam menetapkan status bagi mafqud (apakah ia masih hidup atau tidak), para ulama fikih cenderung memandangnya dari segi positif, yaitu dengan menganggap orang yang hilang itu masih hidup, sampai dapat dibuktikan dengan bukti-bukti bahwa ia telah wafat. Sikap yang diambil ulama fikih ini berdasarkan kaidah istishab yaitu menetapkan hukum yang berlaku sejak semula, sampai ada dalil yang menunjukan hukum lain.
Akan tetapi, anggapan masih hidup tersebut tidak bisa dipertahankan terus menerus, karena ini akan menimbulkan kerugian bagi orang lain. Oleh karena itu, harus digunakan suatu pertimbangan hukum untuk mencari kejelasan status hukum bagi si mafqud (para ulama fikih telah sepakat bahwa yang berhak untuk menetapkan status bagi orang hilang tersebut adalah hakim, baik untuk menetapkan bahwa orang hilang telah wafat atau belum.
Ada dua macam pertimbangan hukum yang dapat digunakan dalam mencari kejelasan status hukum bagi si mafqud, yaitu:
1. Berdasarkan bukti-bukti yang otentik, yang dibenarkan oleh syariat, yang dapat menetapkan suatu ketetapan hukum, sebagaimana dalam kaidah:
“Tsa bitu bil bayyinati katssabinati bil mu’aa yanah” artinya, “yang tetap berdasarkan bukti bagaikan yang tetap berdasarkan kenyataan”.
Misalnya, ada dua orang yang adil dan dapat dipercaya untuk memberikan kesaksian bahwa si fulan yang hilang telah meninggal dunia, maka hakim dapat menjadikan dasar persaksian tersebut untuk memutuskan status kematian bagi si mafqud. Jika demikian halnya, maka si mafqud sudah hilang status mafqudnya. Ia ditetapkan seperti orang yang mati haqiqy.
2. Berdasarkan tenggang waktu lamanya si mafqud pergi atau berdasarkan kadaluwarsa.

Para ulama berbeda pendapat perihal tenggang waktu untuk menghukumi/menetapkan kematian bagi si mafqud. Mereka terbagi kedalam beberapa mazhab:
1. Imam Malik dalam salah satu pendapatnya menetapkan waktu yang diperbolehkan bagi hakim memberi vonis kematian si mafqud ialah 4 (empat) tahun. Pendapat ini beliau istimbatkan dari perkataan Umar bin Khattab yang menyatakan:
“Setiap isteri yang ditinggalkan oleh suaminya, sedang dia tidak mengetahui dimana suaminya, maka ia menunggu empat tahun, kemudian dia ber’iddah selama empat bulan sepuluh hari, kemudian lepaslah dia….” (HR Bukhari)[10]
2. Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Abu Yusuf dan Muhamad bin al-Hasan berpendapat bahwa si mafqud boleh diputuskan kematiannya oleh hakim bila sudah tidak ada kawan sebayanya yang masih hidup. Secara pasti hal tersebut tidak dapat ditentukan. Oleh sebab itu, beliau menyerahkan kepada Ijtihad hakim. Hakim dapat memberi vonis kematian si mafqud menurut ijtihad-nya demi suatu kemashalatan.

3. Abdul Malik Ibnul-Majisyun mefatwakan agar si mafqud tersebut mencapai umur 90 tahun beserta umur sewaktu kepergiannya. Sebab menurut kebiasaan, seseorang itu tidak akan mencapai umur 90 tahun. Beliau menyatakan alasan tersebut berdasarkan Hadits Rasul SAW yang berbunyi “Umur-umur umatku itu antara 70 dan 60 tahun.”

4. Imam Ahmad berpendapat bahwa di dalam menetapkan status hukum bagi si mafqud, hakim harus melihat “situasi” hilangnya si mafqud tersebut. manurut beliau situasi hilangnya si mafqud itu dapat dibedakan atas:
i. Situasi kepergiannya atau hilangnya itu memungkinkan membawa malapetaka. misalnya dalam situasi naik kapal tenggelam yang kapalnya pecah dan sebagian penumpannya telah tenggelam atau dalam situasi peperangan, maka setelah diadakan penyelidikkan oleh hakim secermat-cermatnya, hakim dapat menetapkan kematiannya setelah lewat empat tahun lamanya.
ii. Situasi kepergiannya itu menurut kebiasaan tidak sampai membawa malapetaka. misalnya pergi untuk menurut ilmu, ibadah haji, dan sebaginya, tetapi kemudian ia tidak kembali dan tidak diketahui kabar beritanya lagi dan dimana domisilinya, maka dalam hal seperti itu diserahkan kepada hakim untuk menetapkan status bagi si mafqud menurut ijtihad-nya.
Walaupun demikian, praktek pelaksanaannya di pengadilan agama, bahwa mengenai ada atau tidaknya kewenangan untuk menetapkan/menghukumi status bagi mafqud tersebut (dengan menyatakan ia telah meninggal atau belum) masih bersifat masih dapat diperdebatkan (debatable).
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat penulis mengambil benang merah, antara lain:
1. Status hukum bagi si mafqud (meninggal atau tidak) sangat berpengaruh pada kehidupan bahtera keluarga, terlebih apabila menyangkut dengan keluarga besar yang terdiri dari orangtua, saudara-saudara.
2. Status hukum si mafqud dapat ditetapkan dan dimintakan kepada hakim pengadilan negeri, atas suatu persitiwa yang menimpa pihak-pihak yang berkepentingan, sehingga akan semakin jelas dari pihak-pihak yang ditinggalkan.
3. Dalam menetapkan status si mafqud, seorang hakim harus berasaskan bebas tapi terikat, yang artinya bebas memakai penafsiran dan berijtihad dengan dalil-dalil dengan sungguh-sungguh, tetapi terikat dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan peraturan perundang-undangan di Indonesia, sehingga dalam pembagian warisan kepada masing-masing pihak yang berkepentingan tidak menimbulkan konflik dan adanya pembagian yang seadil-adilnya.

B. Saran
Dari kesimpulan yang dijabarkan diatas penulis dapat memberi rekomendasi antara lain:
1. Dalam memutuskan perkara, maka hakim peradilan agama benar-benar harus menggali dan berijtihad dengan sungguh-sungguh agar dalam memutuskan perkara tidak ada kesalahan dan tidak ada rasa ragu-ragu.
2. Selain itu, ada kekurangan dalam produk legislasi Indonesia, dimana tidak mengatur dengan jelas dan tegas dalam undang-undang bagaimana penyelesaian serta akibat-akibat yang harus ditanggung ketika ada seseorang yang hilang, seperti halnya dalam bidang pernikahan (mafqud).



»»  READMORE...

Rabu, 06 April 2011

syair cinta islami



cinta adalah kekuatan
yang mampu mengubah duri menjadi mawar
mengubah cuka menjadi anggur
mengubah sedih menjadi riang
mengubah marah menjadi ramah
mengubah musibah menjadi muhibbah
itulah cinta



y allah jika aku ditakdirkan jatuh cinta
cintakanlah aku pada seseorang
yang melabuhkan cintanya padamu



sebaik baik wanita adalah
yang apabila diberi sesuatu
dia bersyukur
dan bila tidak di beri apa apa
dia bersabar
yang menyenangkan hatimu
....bila kamu melihatnya
dan mentaatimu
bila kamu menyuruhnya





sekalipun cinta telah aku uraikan
dan ku jelaskan panjang lebar
namun jika cinta kudatangi
aku jadi malu pada keteranganku sendiri



meski lidahku telah mampu menguraikan
namun tanpa lidah
cinta ternyata lebih terang
sementara pena begitu tergesa gesa menuliskannya



dalam menguraikan cinta
akal terbaring tak berdaya
bagaikan keledai terbaring
dalam lumpur
cinta sendirilah yang menerangkan
cinta dan percinta


kata kata berkeping begitu
sampai pada kata cinta


sesungguhnya aku mencintaimu
karena agama yang ada padamu
dan jika agama yang ada padamu hilang
maka hilanglah cintaku padamu




cinta adalah kekuatan
yang mampu mengubah duri menjadi mawar
mengubah cuka menjadi anggur
mengubah sedih menjadi riang
mengubah marah menjadi ramah
mengubah musibah menjadi muhibbah
itulah cinta



y allah jika aku ditakdirkan jatuh cinta
cintakanlah aku pada seseorang
yang melabuhkan cintanya padamu



sebaik baik wanita adalah
yang apabila diberi sesuatu
dia bersyukur
dan bila tidak di beri apa apa
dia bersabar
yang menyenangkan hatimu
....bila kamu melihatnya
dan mentaatimu
bila kamu menyuruhnya





sekalipun cinta telah aku uraikan
dan ku jelaskan panjang lebar
namun jika cinta kudatangi
aku jadi malu pada keteranganku sendiri



meski lidahku telah mampu menguraikan
namun tanpa lidah
cinta ternyata lebih terang
sementara pena begitu tergesa gesa menuliskannya



dalam menguraikan cinta
akal terbaring tak berdaya
bagaikan keledai terbaring
dalam lumpur
cinta sendirilah yang menerangkan
cinta dan percinta


kata kata berkeping begitu
sampai pada kata cinta


sesungguhnya aku mencintaimu
karena agama yang ada padamu
dan jika agama yang ada padamu hilang
maka hilanglah cintaku padamu


»»  READMORE...

istikharah cinta



Bersaksi cinta diatas cinta
Dalam alunan tasbih ku ini
Menerka hati yang tersembunyi
Berteman dimalam sunyi penuh do'a
Sebut nama Mu terukir merdu
Tertulis dalam sajadah cinta
Tetapkan pilihan sebagai teman
Kekal abadi hingga akhir zaman

 Istikharah cinta 
memanggilku 
Memohon petunjukmu 
satu nama teman setia 
Naluriku berkata 
Dipenantian luahan rasa 
Teguh satu pilihan 
Pemenuh separuh nafasku 
Dalam mahabbah rindu 
diistikharah cinta..


Bersaksi cinta diatas cinta
Dalam alunan tasbih ku ini
Menerka hati yang tersembunyi
Berteman dimalam sunyi penuh do'a
Sebut nama Mu terukir merdu
Tertulis dalam sajadah cinta
Tetapkan pilihan sebagai teman
Kekal abadi hingga akhir zaman

 Istikharah cinta 
memanggilku 
Memohon petunjukmu 
satu nama teman setia 
Naluriku berkata 
Dipenantian luahan rasa 
Teguh satu pilihan 
Pemenuh separuh nafasku 
Dalam mahabbah rindu 
diistikharah cinta..
»»  READMORE...

ayat dan hadist tentang pernikahan



“Sesungguhnya, apabila seorang suami memandang
isterinya (dengan kasih & sayang) dan isterinya juga
memandang suaminya (dengan kasih & sayang), maka
Allah akan memandang keduanya dengan pandangan kasih &
sayang. Dan apabila seorang suami memegangi jemari
isterinya (dengan kasih & sayang) maka berjatuhanlah
dosa-dosa dari segala jemari keduanya” (HR. Abu Sa’id)

“Shalat 2 rakaat yang diamalkan orang yang sudah
berkeluarga lebih baik, daripada 70 rakaat yang
diamalkan oleh jejaka (atau perawan)” (HR. Ibnu Ady
dalam kitab Al Kamil dari Abu Hurairah)

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (Ar-Ruum
21)

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara
kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. JIKA MEREKA MISKIN ALLAH AKAN MENGKAYAKAN
MEREKA DENGAN KARUNIANYA. Dan Allah Maha Luas
(pemberianNya) dan Maha Mengetahui.”
(An Nuur 32)

“Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan,
supaya kamu mengingat kebesaran Allah” (Adz Dzariyaat
49)

“Janganlah kalian mendekati zina, karena zina itu
perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk” (Al-Isra
32)

“Dialah yang menciptakan kalian dari satu orang,
kemudian darinya Dia menciptakan istrinya, agar
menjadi cocok dan tenteram kepadanya” (Al-A’raf 189)

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang
keji, dan laki-laki yang keji adalah buat
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang
baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki
yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)”
(An-Nur 26)

“Berikanlah mahar (mas kawin) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” ( An
Nisaa : 4)

“Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka,
bukan golonganku” (HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.)

“Empat macam diantara sunnah-sunnah para Rasul yaitu :
berkasih sayang, memakai wewangian, bersiwak dan
menikah” (HR. Tirmidzi)

“Janganlah seorang laki-laki berdua-duan (khalwat)
dengan seorang perempuan, karena pihak ketiga adalah
syaithan” (HR. Abu Dawud)

“Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang
telah mampu untuk kawin, maka hendaklah dia menikah.
Karena dengan menikah itu lebih dapat menundukkan
pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa
yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena
sesungguhnya puasa itu bisa menjadi perisai baginya”
(HR. Bukhori-Muslim)

“Janganlah seorang laki-laki dan wanita berkhalwat,
sebab syaithan menemaninya. Janganlah salah seorang di
antara kita berkhalwat, kecuali wanita itu disertai
mahramnya” (HR. Imam Bukhari dan Iman Muslim dari
Abdullah Ibnu Abbas ra).

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir,
hendaklah tidak melakukan khalwat dengan seorang
wanita yang tidak disertai mahramnya, karena
sesungguhnya yang ketiga adalah syetan” (Al Hadits)

“Dunia ini dijadikan Allah penuh perhiasan, dan
sebaik-baik perhiasan hidup adalah istri yang
sholihah” (HR. Muslim)

“Jika datang (melamar) kepadamu orang yang engkau
senangi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia
(dengan putrimu). Jika kamu tidak menerima
(lamaran)-nya niscaya terjadi malapetaka di bumi dan
kerusakan yang luas” ( H.R. At-Turmidzi)

“Barang siapa yang diberi istri yang sholihah oleh
Allah, berarti telah ditolong oleh-Nya pada separuh
agamanya. Oleh karena itu, hendaknya ia bertaqwa pada
separuh yang lain” (HR. Al-Hakim dan At-Thohawi)

“Jadilah istri yang terbaik. Sebaik-baiknya istri,
apabila dipandang suaminya menyenangkan, bila
diperintah ia taat, bila suami tidak ada, ia jaga
harta suaminya dan ia jaga kehormatan dirinya” (Al
Hadits)

“Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah : 1.
Orang yang berjihad / berperang di jalan Allah. 2.
Budak yang menebus dirinya dari tuannya. 3. Pemuda / i
yang menikah karena mau menjauhkan dirinya dari yang
haram” (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim)

“Wahai generasi muda! Bila diantaramu sudah mampu
menikah hendaklah ia nikah, karena mata akan lebih
terjaga, kemaluan akan lebih terpelihara”
(HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud)

“Kawinlah dengan wanita yang mencintaimu dan yang
mampu beranak. Sesungguhnya aku akan membanggakan kamu
sebagai umat yang terbanyak” (HR. Abu Dawud)

“Saling menikahlah kamu, saling membuat keturunanlah
kamu, dan perbanyaklah (keturunan). Sesungguhnya aku
bangga dengan banyaknya jumlahmu di tengah
umat yang lain” (HR. Abdurrazak dan Baihaqi)

“Seburuk-buruk kalian, adalah yang tidak menikah, dan
sehina-hina mayat kalian, adalah yang tidak menikah”
(HR. Bukhari)

“Diantara kamu semua yang paling buruk adalah yang
hidup membujang, dan kematian kamu semua yang paling
hina adalah kematian orang yang memilih hidup
membujang” (HR. Abu Ya¡Â?la dan Thabrani)

“Dari Anas, Rasulullah SAW. pernah bersabda : Barang
siapa mau bertemu dengan Allah dalam keadaan bersih
lagi suci, maka kawinkanlah dengan perempuan
terhormat” (HR. Ibnu Majah,dhaif)

“Rasulullah SAW bersabda : Kawinkanlah orang-orang
yang masih sendirian diantaramu. Sesungguhnya, Allah
akan memperbaiki akhlak, meluaskan rezeki, dan
menambah keluhuran mereka” (Al Hadits)

“Barangsiapa yang menikahkan (putrinya) karena silau
akan kekayaan lelaki meskipun buruk agama dan
akhlaknya, maka tidak akan pernah pernikahan itu
dibarakahi-Nya, Siapa yang menikahi seorang wanita
karena kedudukannya, Allah akan menambahkan kehinaan kepadanya,
Siapa yang menikahinya karena kekayaan, Allah hanya akan
memberinya kemiskinan, Siapa yang menikahi wanita
karena bagus nasabnya, Allah akan menambahkan
kerendahan padanya, Namun siapa yang menikah hanya
karena ingin menjaga pandangan dan nafsunya
atau karena ingin mempererat kasih sayang, Allah
senantiasa memberi barakah dan menambah kebarakahan
itu padanya” (HR. Thabrani)

“Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya,
mungkin saja kecantikan itu membuatmu hina. Jangan
kamu menikahi wanita karena harta / tahtanya mungkin
saja harta / tahtanya membuatmu melampaui batas. Akan
tetapi nikahilah wanita karena agamanya. Sebab,
seorang budak wanita yang shaleh, meskipun buruk
wajahnya adalah lebih utama” (HR. Ibnu Majah)

“Dari Jabir r.a., Sesungguhnya Nabi SAW. telah
bersabda : Sesungguhnya perempuan itu dinikahi orang
karena agamanya, kedudukan, hartanya, dan
kecantikannya ; maka pilihlah yang beragama” (HR.
Muslim dan Tirmidzi)

“Wanita yang paling agung barakahnya, adalah yang
paling ringan maharnya” (HR. Ahmad, Al Hakim, Al
Baihaqi dengan sanad yang shahih)

“Jangan mempermahal nilai mahar. Sesungguhnya kalau
lelaki itu mulia di dunia dan takwa di sisi Allah,
maka Rasulullah sendiri yang akan menjadi
wali pernikahannya.” (HR. Ashhabus Sunan)

“Sesungguhnya berkah nikah yang besar ialah yang
sederhana belanjanya (maharnya)” (HR. Ahmad)

“Dari Anas, dia berkata : ” Abu Thalhah menikahi Ummu
Sulaim dengan mahar berupa keIslamannya” (Ditakhrij
dari An Nasa’i)

“Adakanlah perayaan sekalipun hanya memotong seekor
kambing.” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Rasulullah Saw melarang laki-laki yang menolak kawin (sebagai alasan)
untuk beralih kepada ibadah melulu.” (HR. Bukhari)

“Sesungguhnya dunia seluruhnya adalah benda (perhiasan)
dan sebaik-baik benda (perhiasan) adalah wanita (isteri) yang sholehah”. (HR. Muslim)

“Rasulullah Saw bersabda kepada Ali Ra: “Hai Ali, ada tiga perkara yang janganlah
kamu tunda-tunda pelaksanaannya, yaitu shalat apabila tiba waktunya,
jenazah bila sudah siap penguburannya, dan wanita (gadis atau janda)
bila menemukan laki-laki sepadan yang meminangnya.” (HR. Ahmad)

“Seorang janda yang akan dinikahi harus diajak bermusyawarah
dan bila seorang gadis maka harus seijinnya (persetujuannya),
dan tanda persetujuan seorang gadis ialah
diam (ketika ditanya). “(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

“Kawinilah gadis-gadis, sesungguhnya mereka lebih sedap mulutnya
dan lebih banyak melahirkan serta lebih rela
menerima (pemberian) yang sedikit.”(HR. Ath-Thabrani)

“Janganlah seorang isteri memuji-muji wanita lain di hadapan
suaminya sehingga terbayang bagi suaminya seolah-olah dia
melihat wanita itu.” (HR. Bukhari)

“Seorang isteri yang ketika suaminya wafat meridhoinya maka
dia (isteri itu) akan masuk surga. “(HR. Al Hakim dan Tirmidzi)

“Hak suami atas isteri ialah tidak menjauhi tempat tidur suami
dan memperlakukannya dengan benar dan jujur, mentaati perintahnya
dan tidak ke luar (meninggalkan) rumah kecuali dengan ijin suaminya,
tidak memasukkan ke rumahnya orang-orang
yang tidak disukai suaminya. “(HR. Ath-Thabrani)

“Tidak sah puasa (puasa sunah) seorang wanita yang suaminya
ada di rumah, kecuali dengan seijin suaminya. “(Mutafaq’alaih)

“Tidak dibenarkan manusia sujud kepada manusia, dan
kalau dibenarkan manusia sujud kepada manusia, aku akan
memerintahkan wanita sujud kepada suaminya karena
besarnya jasa (hak) suami terhadap isterinya.”(HR. Ahmad)

“Apabila di antara kamu ada yang bersenggama dengan isterinya
hendaknya lakukanlah dengan kesungguhan hati. Apabila selesai
hajatnya sebelum selesai isterinya, hendaklah dia sabar menunggu
sampai isterinya selesai hajatnya. “(HR. Abu Ya’la)

“Apabila seorang di antara kamu menggauli isterinya,
janganlah menghinggapinya seperti burung
yang bertengger sebentar lalu pergi. “(HR. Aththusi)

“Seburuk-buruk kedudukan seseorang di sisi Allah pada
hari kiamat ialah orang yang menggauli isterinya dan isterinya
menggaulinya dengan cara terbuka lalu suaminya mengungkapkan
rahasia isterinya kepada orang lain. “(HR. Muslim)

“Sesungguhnya wanita seumpama tulang rusuk yang bengkok.
Bila kamu membiarkannya (bengkok) kamu memperoleh
manfaatnya dan bila kamu berusaha meluruskannya
maka kamu mematahkannya. “(HR. Ath-Thahawi)

“Talak (perceraian) adalah suatu yang halal yang
paling dibenci Allah. “(HR. Abu Dawud dan Ahmad)

“Ada tiga perkara yang kesungguhannya adalah kesungguhan (serius)
dan guraunya (main-main) adalah kesungguhan (serius), yaitu perceraian,
nikah dan rujuk. “(HR. Abu Hanifah)

“Apabila suami mengajak isterinya (bersenggama) lalu isterinya
menolak melayaninya dan suami sepanjang malam jengkel
maka (isteri) dilaknat malaikat sampai pagi. “(Mutafaq’alaih)

“Allah tidak akan melihat (memperhatikan) seorang lelaki yang
menyetubuhi laki-laki lain (homoseks) atau yang
menyetubuhi isteri pada duburnya. “(HR. Tirmidzi)

Ditulis dalam Pernikahan, Taujih | Kaitkata: ayat alqur'an tentang nikah, hadits nikah, nikah, Pernikahan


“Sesungguhnya, apabila seorang suami memandang
isterinya (dengan kasih & sayang) dan isterinya juga
memandang suaminya (dengan kasih & sayang), maka
Allah akan memandang keduanya dengan pandangan kasih &
sayang. Dan apabila seorang suami memegangi jemari
isterinya (dengan kasih & sayang) maka berjatuhanlah
dosa-dosa dari segala jemari keduanya” (HR. Abu Sa’id)

“Shalat 2 rakaat yang diamalkan orang yang sudah
berkeluarga lebih baik, daripada 70 rakaat yang
diamalkan oleh jejaka (atau perawan)” (HR. Ibnu Ady
dalam kitab Al Kamil dari Abu Hurairah)

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (Ar-Ruum
21)

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara
kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. JIKA MEREKA MISKIN ALLAH AKAN MENGKAYAKAN
MEREKA DENGAN KARUNIANYA. Dan Allah Maha Luas
(pemberianNya) dan Maha Mengetahui.”
(An Nuur 32)

“Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan,
supaya kamu mengingat kebesaran Allah” (Adz Dzariyaat
49)

“Janganlah kalian mendekati zina, karena zina itu
perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk” (Al-Isra
32)

“Dialah yang menciptakan kalian dari satu orang,
kemudian darinya Dia menciptakan istrinya, agar
menjadi cocok dan tenteram kepadanya” (Al-A’raf 189)

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang
keji, dan laki-laki yang keji adalah buat
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang
baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki
yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)”
(An-Nur 26)

“Berikanlah mahar (mas kawin) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” ( An
Nisaa : 4)

“Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka,
bukan golonganku” (HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.)

“Empat macam diantara sunnah-sunnah para Rasul yaitu :
berkasih sayang, memakai wewangian, bersiwak dan
menikah” (HR. Tirmidzi)

“Janganlah seorang laki-laki berdua-duan (khalwat)
dengan seorang perempuan, karena pihak ketiga adalah
syaithan” (HR. Abu Dawud)

“Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang
telah mampu untuk kawin, maka hendaklah dia menikah.
Karena dengan menikah itu lebih dapat menundukkan
pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa
yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena
sesungguhnya puasa itu bisa menjadi perisai baginya”
(HR. Bukhori-Muslim)

“Janganlah seorang laki-laki dan wanita berkhalwat,
sebab syaithan menemaninya. Janganlah salah seorang di
antara kita berkhalwat, kecuali wanita itu disertai
mahramnya” (HR. Imam Bukhari dan Iman Muslim dari
Abdullah Ibnu Abbas ra).

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir,
hendaklah tidak melakukan khalwat dengan seorang
wanita yang tidak disertai mahramnya, karena
sesungguhnya yang ketiga adalah syetan” (Al Hadits)

“Dunia ini dijadikan Allah penuh perhiasan, dan
sebaik-baik perhiasan hidup adalah istri yang
sholihah” (HR. Muslim)

“Jika datang (melamar) kepadamu orang yang engkau
senangi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia
(dengan putrimu). Jika kamu tidak menerima
(lamaran)-nya niscaya terjadi malapetaka di bumi dan
kerusakan yang luas” ( H.R. At-Turmidzi)

“Barang siapa yang diberi istri yang sholihah oleh
Allah, berarti telah ditolong oleh-Nya pada separuh
agamanya. Oleh karena itu, hendaknya ia bertaqwa pada
separuh yang lain” (HR. Al-Hakim dan At-Thohawi)

“Jadilah istri yang terbaik. Sebaik-baiknya istri,
apabila dipandang suaminya menyenangkan, bila
diperintah ia taat, bila suami tidak ada, ia jaga
harta suaminya dan ia jaga kehormatan dirinya” (Al
Hadits)

“Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah : 1.
Orang yang berjihad / berperang di jalan Allah. 2.
Budak yang menebus dirinya dari tuannya. 3. Pemuda / i
yang menikah karena mau menjauhkan dirinya dari yang
haram” (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim)

“Wahai generasi muda! Bila diantaramu sudah mampu
menikah hendaklah ia nikah, karena mata akan lebih
terjaga, kemaluan akan lebih terpelihara”
(HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud)

“Kawinlah dengan wanita yang mencintaimu dan yang
mampu beranak. Sesungguhnya aku akan membanggakan kamu
sebagai umat yang terbanyak” (HR. Abu Dawud)

“Saling menikahlah kamu, saling membuat keturunanlah
kamu, dan perbanyaklah (keturunan). Sesungguhnya aku
bangga dengan banyaknya jumlahmu di tengah
umat yang lain” (HR. Abdurrazak dan Baihaqi)

“Seburuk-buruk kalian, adalah yang tidak menikah, dan
sehina-hina mayat kalian, adalah yang tidak menikah”
(HR. Bukhari)

“Diantara kamu semua yang paling buruk adalah yang
hidup membujang, dan kematian kamu semua yang paling
hina adalah kematian orang yang memilih hidup
membujang” (HR. Abu Ya¡Â?la dan Thabrani)

“Dari Anas, Rasulullah SAW. pernah bersabda : Barang
siapa mau bertemu dengan Allah dalam keadaan bersih
lagi suci, maka kawinkanlah dengan perempuan
terhormat” (HR. Ibnu Majah,dhaif)

“Rasulullah SAW bersabda : Kawinkanlah orang-orang
yang masih sendirian diantaramu. Sesungguhnya, Allah
akan memperbaiki akhlak, meluaskan rezeki, dan
menambah keluhuran mereka” (Al Hadits)

“Barangsiapa yang menikahkan (putrinya) karena silau
akan kekayaan lelaki meskipun buruk agama dan
akhlaknya, maka tidak akan pernah pernikahan itu
dibarakahi-Nya, Siapa yang menikahi seorang wanita
karena kedudukannya, Allah akan menambahkan kehinaan kepadanya,
Siapa yang menikahinya karena kekayaan, Allah hanya akan
memberinya kemiskinan, Siapa yang menikahi wanita
karena bagus nasabnya, Allah akan menambahkan
kerendahan padanya, Namun siapa yang menikah hanya
karena ingin menjaga pandangan dan nafsunya
atau karena ingin mempererat kasih sayang, Allah
senantiasa memberi barakah dan menambah kebarakahan
itu padanya” (HR. Thabrani)

“Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya,
mungkin saja kecantikan itu membuatmu hina. Jangan
kamu menikahi wanita karena harta / tahtanya mungkin
saja harta / tahtanya membuatmu melampaui batas. Akan
tetapi nikahilah wanita karena agamanya. Sebab,
seorang budak wanita yang shaleh, meskipun buruk
wajahnya adalah lebih utama” (HR. Ibnu Majah)

“Dari Jabir r.a., Sesungguhnya Nabi SAW. telah
bersabda : Sesungguhnya perempuan itu dinikahi orang
karena agamanya, kedudukan, hartanya, dan
kecantikannya ; maka pilihlah yang beragama” (HR.
Muslim dan Tirmidzi)

“Wanita yang paling agung barakahnya, adalah yang
paling ringan maharnya” (HR. Ahmad, Al Hakim, Al
Baihaqi dengan sanad yang shahih)

“Jangan mempermahal nilai mahar. Sesungguhnya kalau
lelaki itu mulia di dunia dan takwa di sisi Allah,
maka Rasulullah sendiri yang akan menjadi
wali pernikahannya.” (HR. Ashhabus Sunan)

“Sesungguhnya berkah nikah yang besar ialah yang
sederhana belanjanya (maharnya)” (HR. Ahmad)

“Dari Anas, dia berkata : ” Abu Thalhah menikahi Ummu
Sulaim dengan mahar berupa keIslamannya” (Ditakhrij
dari An Nasa’i)

“Adakanlah perayaan sekalipun hanya memotong seekor
kambing.” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Rasulullah Saw melarang laki-laki yang menolak kawin (sebagai alasan)
untuk beralih kepada ibadah melulu.” (HR. Bukhari)

“Sesungguhnya dunia seluruhnya adalah benda (perhiasan)
dan sebaik-baik benda (perhiasan) adalah wanita (isteri) yang sholehah”. (HR. Muslim)

“Rasulullah Saw bersabda kepada Ali Ra: “Hai Ali, ada tiga perkara yang janganlah
kamu tunda-tunda pelaksanaannya, yaitu shalat apabila tiba waktunya,
jenazah bila sudah siap penguburannya, dan wanita (gadis atau janda)
bila menemukan laki-laki sepadan yang meminangnya.” (HR. Ahmad)

“Seorang janda yang akan dinikahi harus diajak bermusyawarah
dan bila seorang gadis maka harus seijinnya (persetujuannya),
dan tanda persetujuan seorang gadis ialah
diam (ketika ditanya). “(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

“Kawinilah gadis-gadis, sesungguhnya mereka lebih sedap mulutnya
dan lebih banyak melahirkan serta lebih rela
menerima (pemberian) yang sedikit.”(HR. Ath-Thabrani)

“Janganlah seorang isteri memuji-muji wanita lain di hadapan
suaminya sehingga terbayang bagi suaminya seolah-olah dia
melihat wanita itu.” (HR. Bukhari)

“Seorang isteri yang ketika suaminya wafat meridhoinya maka
dia (isteri itu) akan masuk surga. “(HR. Al Hakim dan Tirmidzi)

“Hak suami atas isteri ialah tidak menjauhi tempat tidur suami
dan memperlakukannya dengan benar dan jujur, mentaati perintahnya
dan tidak ke luar (meninggalkan) rumah kecuali dengan ijin suaminya,
tidak memasukkan ke rumahnya orang-orang
yang tidak disukai suaminya. “(HR. Ath-Thabrani)

“Tidak sah puasa (puasa sunah) seorang wanita yang suaminya
ada di rumah, kecuali dengan seijin suaminya. “(Mutafaq’alaih)

“Tidak dibenarkan manusia sujud kepada manusia, dan
kalau dibenarkan manusia sujud kepada manusia, aku akan
memerintahkan wanita sujud kepada suaminya karena
besarnya jasa (hak) suami terhadap isterinya.”(HR. Ahmad)

“Apabila di antara kamu ada yang bersenggama dengan isterinya
hendaknya lakukanlah dengan kesungguhan hati. Apabila selesai
hajatnya sebelum selesai isterinya, hendaklah dia sabar menunggu
sampai isterinya selesai hajatnya. “(HR. Abu Ya’la)

“Apabila seorang di antara kamu menggauli isterinya,
janganlah menghinggapinya seperti burung
yang bertengger sebentar lalu pergi. “(HR. Aththusi)

“Seburuk-buruk kedudukan seseorang di sisi Allah pada
hari kiamat ialah orang yang menggauli isterinya dan isterinya
menggaulinya dengan cara terbuka lalu suaminya mengungkapkan
rahasia isterinya kepada orang lain. “(HR. Muslim)

“Sesungguhnya wanita seumpama tulang rusuk yang bengkok.
Bila kamu membiarkannya (bengkok) kamu memperoleh
manfaatnya dan bila kamu berusaha meluruskannya
maka kamu mematahkannya. “(HR. Ath-Thahawi)

“Talak (perceraian) adalah suatu yang halal yang
paling dibenci Allah. “(HR. Abu Dawud dan Ahmad)

“Ada tiga perkara yang kesungguhannya adalah kesungguhan (serius)
dan guraunya (main-main) adalah kesungguhan (serius), yaitu perceraian,
nikah dan rujuk. “(HR. Abu Hanifah)

“Apabila suami mengajak isterinya (bersenggama) lalu isterinya
menolak melayaninya dan suami sepanjang malam jengkel
maka (isteri) dilaknat malaikat sampai pagi. “(Mutafaq’alaih)

“Allah tidak akan melihat (memperhatikan) seorang lelaki yang
menyetubuhi laki-laki lain (homoseks) atau yang
menyetubuhi isteri pada duburnya. “(HR. Tirmidzi)

Ditulis dalam Pernikahan, Taujih | Kaitkata: ayat alqur'an tentang nikah, hadits nikah, nikah, Pernikahan
»»  READMORE...

Selasa, 05 April 2011

nasihat ali bin abi thalib





Aku khawatir terhadap suatu masa yg rodanya dpt menggilas keimanan.
Keyakinan hanya tinggal pemikiran yg tak berbekas dlm perbuatan.
Banyak orang baik tp tak berakal, ada orang berakal tp tak beriman.
#Ada lidah fasih tp berhati lalai, ada yg khusyu’ namun sibuk dlm kesendirian.
#Ada ahli ibadah tp mewarisi kesombongan iblis.
#Ada ahli maksiat rendah hati bagaikan sufi.
#Ada yg banyak tertawa hingga hatinya berkarat & ada yg menangis krn kufur nikmat.
#Ada yg murah senyum tp hatinya mengumpat & ada yg berhati tulus tp wajahnya cemberut.
#Ada yg berlisan bijak tp tak memberi teladan & ada yg pezina tampil menjadi figur.
#Ada orang punya ilmu tp tak faham, ada yg faham tp tak menjalankan.
#Ada yg pintar tp membodohi, ada yg bodoh tak tau diri.
#Ada orang beragama tp tak berakhlak, ada yg berakhlak tp tak bertuhan.

“Lalu diantara semua itu dimana aku berada?”
(Ali bin Abi Thalib r.a.)




Aku khawatir terhadap suatu masa yg rodanya dpt menggilas keimanan.
Keyakinan hanya tinggal pemikiran yg tak berbekas dlm perbuatan.
Banyak orang baik tp tak berakal, ada orang berakal tp tak beriman.
#Ada lidah fasih tp berhati lalai, ada yg khusyu’ namun sibuk dlm kesendirian.
#Ada ahli ibadah tp mewarisi kesombongan iblis.
#Ada ahli maksiat rendah hati bagaikan sufi.
#Ada yg banyak tertawa hingga hatinya berkarat & ada yg menangis krn kufur nikmat.
#Ada yg murah senyum tp hatinya mengumpat & ada yg berhati tulus tp wajahnya cemberut.
#Ada yg berlisan bijak tp tak memberi teladan & ada yg pezina tampil menjadi figur.
#Ada orang punya ilmu tp tak faham, ada yg faham tp tak menjalankan.
#Ada yg pintar tp membodohi, ada yg bodoh tak tau diri.
#Ada orang beragama tp tak berakhlak, ada yg berakhlak tp tak bertuhan.

“Lalu diantara semua itu dimana aku berada?”
(Ali bin Abi Thalib r.a.)
»»  READMORE...