Minggu, 03 Juli 2011

senjata makan tuan

Di Sajastan, wilayah Asia tengah, antara Iran dan Afganistan, hidup seorang ulama ahli bahasa yang amat terkenal. Suatu hari ia menasehati putranya: "Kalau kamu hendak membicarakan sesuatu, pakai dahulu otakmu. Pikirkan dengan matang; setelah itu, baru katakan dengan kalimat yang baik dan benar."


Pada suatu hari di musim hujan, keduanya sedang duduk-duduk santai di dekat api unggun di rumahnya. Tiba-tiba sepercik api mengenai jubah tenunan dari sutera yang dikenakan sang ayah. Peristiwa itu dilihat putranya, namun ia diam saja. Setelah berpikir beberapa saat barulah ia membuka mulut, "Ayah, aku ingin mengatakan sesuatu, bolehkah?," tanyanya. "Kalau menyangkut kebenaran katakan saja," jawab sang ayah.

"Ini memang menyangkut kebenaran," jawabnya. "Silakan," kata sang ayah. Ia berkata, "Aku melihat benda panas berwarna merah." "Benda apa itu?," tanya sang ayah. "Sepercik api mengenai jubah ayah," jawabnya.

Seketika itu sang ayah melihat jubah yang sebagian sudah hangus terbakar. "Kenapa tidak segera kamu beritahukan kepadaku?," kata sang ayah. "Aku harus berikir dahulu sebelum mengatakannya, seperti apa yang anda nasihatkan kepadaku tempo hari," jawab putranya dengan lugu.

Sejak itu ia berjanji akan lebih berhati-hati dalam memberikan nasihat pada putranya. Ia tidak ingin peristiwa pahit seperti itu terulang lagi.


Sumber: Nafhu Al-Thayib, Al-Muqri Al-Til

Di Sajastan, wilayah Asia tengah, antara Iran dan Afganistan, hidup seorang ulama ahli bahasa yang amat terkenal. Suatu hari ia menasehati putranya: "Kalau kamu hendak membicarakan sesuatu, pakai dahulu otakmu. Pikirkan dengan matang; setelah itu, baru katakan dengan kalimat yang baik dan benar."


Pada suatu hari di musim hujan, keduanya sedang duduk-duduk santai di dekat api unggun di rumahnya. Tiba-tiba sepercik api mengenai jubah tenunan dari sutera yang dikenakan sang ayah. Peristiwa itu dilihat putranya, namun ia diam saja. Setelah berpikir beberapa saat barulah ia membuka mulut, "Ayah, aku ingin mengatakan sesuatu, bolehkah?," tanyanya. "Kalau menyangkut kebenaran katakan saja," jawab sang ayah.

"Ini memang menyangkut kebenaran," jawabnya. "Silakan," kata sang ayah. Ia berkata, "Aku melihat benda panas berwarna merah." "Benda apa itu?," tanya sang ayah. "Sepercik api mengenai jubah ayah," jawabnya.

Seketika itu sang ayah melihat jubah yang sebagian sudah hangus terbakar. "Kenapa tidak segera kamu beritahukan kepadaku?," kata sang ayah. "Aku harus berikir dahulu sebelum mengatakannya, seperti apa yang anda nasihatkan kepadaku tempo hari," jawab putranya dengan lugu.

Sejak itu ia berjanji akan lebih berhati-hati dalam memberikan nasihat pada putranya. Ia tidak ingin peristiwa pahit seperti itu terulang lagi.


Sumber: Nafhu Al-Thayib, Al-Muqri Al-Til

»»  READMORE...

senjata makan tuan

Di Sajastan, wilayah Asia tengah, antara Iran dan Afganistan, hidup seorang ulama ahli bahasa yang amat terkenal. Suatu hari ia menasehati putranya: "Kalau kamu hendak membicarakan sesuatu, pakai dahulu otakmu. Pikirkan dengan matang; setelah itu, baru katakan dengan kalimat yang baik dan benar."


Pada suatu hari di musim hujan, keduanya sedang duduk-duduk santai di dekat api unggun di rumahnya. Tiba-tiba sepercik api mengenai jubah tenunan dari sutera yang dikenakan sang ayah. Peristiwa itu dilihat putranya, namun ia diam saja. Setelah berpikir beberapa saat barulah ia membuka mulut, "Ayah, aku ingin mengatakan sesuatu, bolehkah?," tanyanya. "Kalau menyangkut kebenaran katakan saja," jawab sang ayah.

"Ini memang menyangkut kebenaran," jawabnya. "Silakan," kata sang ayah. Ia berkata, "Aku melihat benda panas berwarna merah." "Benda apa itu?," tanya sang ayah. "Sepercik api mengenai jubah ayah," jawabnya.

Seketika itu sang ayah melihat jubah yang sebagian sudah hangus terbakar. "Kenapa tidak segera kamu beritahukan kepadaku?," kata sang ayah. "Aku harus berikir dahulu sebelum mengatakannya, seperti apa yang anda nasihatkan kepadaku tempo hari," jawab putranya dengan lugu.

Sejak itu ia berjanji akan lebih berhati-hati dalam memberikan nasihat pada putranya. Ia tidak ingin peristiwa pahit seperti itu terulang lagi.


Sumber: Nafhu Al-Thayib, Al-Muqri Al-Til

Di Sajastan, wilayah Asia tengah, antara Iran dan Afganistan, hidup seorang ulama ahli bahasa yang amat terkenal. Suatu hari ia menasehati putranya: "Kalau kamu hendak membicarakan sesuatu, pakai dahulu otakmu. Pikirkan dengan matang; setelah itu, baru katakan dengan kalimat yang baik dan benar."


Pada suatu hari di musim hujan, keduanya sedang duduk-duduk santai di dekat api unggun di rumahnya. Tiba-tiba sepercik api mengenai jubah tenunan dari sutera yang dikenakan sang ayah. Peristiwa itu dilihat putranya, namun ia diam saja. Setelah berpikir beberapa saat barulah ia membuka mulut, "Ayah, aku ingin mengatakan sesuatu, bolehkah?," tanyanya. "Kalau menyangkut kebenaran katakan saja," jawab sang ayah.

"Ini memang menyangkut kebenaran," jawabnya. "Silakan," kata sang ayah. Ia berkata, "Aku melihat benda panas berwarna merah." "Benda apa itu?," tanya sang ayah. "Sepercik api mengenai jubah ayah," jawabnya.

Seketika itu sang ayah melihat jubah yang sebagian sudah hangus terbakar. "Kenapa tidak segera kamu beritahukan kepadaku?," kata sang ayah. "Aku harus berikir dahulu sebelum mengatakannya, seperti apa yang anda nasihatkan kepadaku tempo hari," jawab putranya dengan lugu.

Sejak itu ia berjanji akan lebih berhati-hati dalam memberikan nasihat pada putranya. Ia tidak ingin peristiwa pahit seperti itu terulang lagi.


Sumber: Nafhu Al-Thayib, Al-Muqri Al-Til

»»  READMORE...

istri ke dua

Abdullah bin Syekh Hasan al Jibrati menikah dengan Fatimah binti Ramadhan Jalabi. Fatimah ini figur isteri yang baik dan berbakti. Di antara kebaikannya, ia biasa membelikan suaminya pakaian yang bagus-bagus dengan uangnya sendiri, demikian pula untuk membelikan pakaian serta perhiasannya sendiri.

Ia tidak pernah meminta uang kepada suami, atau menggunakan uang belanja keluarga. Begitu baiknya, sampai-sampai ia diam saja dan tidak merasa cemburu melihat suaminya suka membeli budak perempuan. Kesetiaannya tidak menjadi luntur; sama sekali tidak terpengaruh. Atas semua itu ia berharap beroleh balasan pahala yang berlipat ganda dari Allah.

Pada tahun 1156 Hijriyah, Abdullah pergi haji. Di Mekah ia berkenalan dengan orang bemama Umar al Halbi. Ia dipesan untuk membeli seorang budak perempuan berkulit putih, masih perawan, dan bertubuh langsing. Pulang dari ibadah haji, ia mencari budak perempuan dengan ciri-ciri tersebut, dan cukup lama ia baru mendapatkannya.
Abdullah memperkenalkan budak perempuan yang baru dibelinya itu kepada isterinya. Tetapi sang istri sama sekali tidak tersinggung. Ia bahkan menganggapnya sebagai puterinya sendiri. Lama-kelamaan keduanya saling mencintai, dan tidak mau berpisah selamanya.

"Jadi bagaimana ini?" tanya Abdullah kepada isterinya.
"Begini saja,"jawab sang isteri, "Aku ganti uangnya, lalu kamu belikan budak yang lain."
"Baiklah," kata Abdullah setuju.

Oleh Fatimah, budak perempuan yang baru dibelinya itu dimerdekakan, dan dinikahkan dengan suaminya. Bahkan, ia menyediakan kamar tersendiri untuk madunya tersebut.

Pada tahun 1165 Abdullah memboyong isteri keduanya ini ke rumah sendiri. Tetapi, istri pertama tetap merasa berat untuk berpisah barang sesaat pun, meski ia telah memiliki beberapa orang anak.

Pada tahun 1182 isteri kedua jatuh sakit, lalu disusul oleh isteri pertama. Kian lama sakit keduanya kian parah. Tengah hari, isteri kedua memaksakan diri bangun dari pembaringan. Ia menangis melihat isteri pertama dalam keadaan pingsan. Ia berdoa, "Tuhan, jika Engkau takdirkan ia meninggal, jangan ia mendahuluiku."

Benar... Malamnya, isteri kedua itu meninggal dunia. Ia disemayamkan di samping isteri pertama. Saat menjelang subuh, ia siuman. Sambil meraba-raba ia membangunkan madunya. Namun, ia menjadi lunglai ketika diberitahu bahwa madunya sudah meninggal. Ia menangis melolong-lolong hingga tengah hari. Setelah ikut menyaksikan madunya dimandikan, ia pun kembali ke pembaringannya. Petang hari ia meninggal dunia, dan jenazahnya dimakamkan pada hari berikutnya.

Sumber: 'Aja'ib al Atsar, al Jibrati
Abdullah bin Syekh Hasan al Jibrati menikah dengan Fatimah binti Ramadhan Jalabi. Fatimah ini figur isteri yang baik dan berbakti. Di antara kebaikannya, ia biasa membelikan suaminya pakaian yang bagus-bagus dengan uangnya sendiri, demikian pula untuk membelikan pakaian serta perhiasannya sendiri.

Ia tidak pernah meminta uang kepada suami, atau menggunakan uang belanja keluarga. Begitu baiknya, sampai-sampai ia diam saja dan tidak merasa cemburu melihat suaminya suka membeli budak perempuan. Kesetiaannya tidak menjadi luntur; sama sekali tidak terpengaruh. Atas semua itu ia berharap beroleh balasan pahala yang berlipat ganda dari Allah.

Pada tahun 1156 Hijriyah, Abdullah pergi haji. Di Mekah ia berkenalan dengan orang bemama Umar al Halbi. Ia dipesan untuk membeli seorang budak perempuan berkulit putih, masih perawan, dan bertubuh langsing. Pulang dari ibadah haji, ia mencari budak perempuan dengan ciri-ciri tersebut, dan cukup lama ia baru mendapatkannya.
Abdullah memperkenalkan budak perempuan yang baru dibelinya itu kepada isterinya. Tetapi sang istri sama sekali tidak tersinggung. Ia bahkan menganggapnya sebagai puterinya sendiri. Lama-kelamaan keduanya saling mencintai, dan tidak mau berpisah selamanya.

"Jadi bagaimana ini?" tanya Abdullah kepada isterinya.
"Begini saja,"jawab sang isteri, "Aku ganti uangnya, lalu kamu belikan budak yang lain."
"Baiklah," kata Abdullah setuju.

Oleh Fatimah, budak perempuan yang baru dibelinya itu dimerdekakan, dan dinikahkan dengan suaminya. Bahkan, ia menyediakan kamar tersendiri untuk madunya tersebut.

Pada tahun 1165 Abdullah memboyong isteri keduanya ini ke rumah sendiri. Tetapi, istri pertama tetap merasa berat untuk berpisah barang sesaat pun, meski ia telah memiliki beberapa orang anak.

Pada tahun 1182 isteri kedua jatuh sakit, lalu disusul oleh isteri pertama. Kian lama sakit keduanya kian parah. Tengah hari, isteri kedua memaksakan diri bangun dari pembaringan. Ia menangis melihat isteri pertama dalam keadaan pingsan. Ia berdoa, "Tuhan, jika Engkau takdirkan ia meninggal, jangan ia mendahuluiku."

Benar... Malamnya, isteri kedua itu meninggal dunia. Ia disemayamkan di samping isteri pertama. Saat menjelang subuh, ia siuman. Sambil meraba-raba ia membangunkan madunya. Namun, ia menjadi lunglai ketika diberitahu bahwa madunya sudah meninggal. Ia menangis melolong-lolong hingga tengah hari. Setelah ikut menyaksikan madunya dimandikan, ia pun kembali ke pembaringannya. Petang hari ia meninggal dunia, dan jenazahnya dimakamkan pada hari berikutnya.

Sumber: 'Aja'ib al Atsar, al Jibrati
»»  READMORE...

abu hanifah dan tetangganya

Di Kufah, Abu Hanifah mempunyai tetangga tukang sepatu. Sepanjang hari bekerja, menjelang malam ia baru pulang ke rumah. Biasanya ia membawa oleh-oleh berupa daging untuk dimasak atau seekor ikan besar untuk dibakar. Selesai makan, ia terus minum tiada henti-hentinya sambil bemyanyi, dan baru berhenti jauh malam setelah ia merasa mengantuk sekali, kemudian tidur pulas.


Abu Hanifah yang sudah terbiasa melaksanakan salat sepanjang malam, tentu saja merasa terganggu oleh suara nyanyian si tukang sepatu tersebut. Tetapi, ia diamkan saja. Pada suatu malam, Abu Hanifah tidak mendengar tetangganya itu bernyanyi-nyanyi seperti biasanya. Sesaat ia keluar untuk mencari kabarnya. Ternyata menurut keterangan tetangga lain, ia baru saja ditangkap polisi dan ditahan.

Selesai salat subuh, ketika hari masih pagi, Abu Hanifah naik bighalnya ke istana. Ia ingin menemui Amir Kufah. Ia disambut dengan penuh khidmat dan hormat. Sang Amir sendiri yang berkenan menemuinya.

"Ada yang bisa aku bantu?" tanya sang Amir.
"Tetanggaku tukang sepatu kemarin ditangkap polisi. Tolong lepaskan ia dari tahanan, Amir, " jawab Abu Hanifah.
"Baikiah," kata sang Amir yang segera menyuruh seorang polisi penjara untuk melepaskan tetangga Abu Hanifah yang baru ditangkap kemarin petang.

Abu Hanifah pulang dengan naik bighalnya pelan-pelan. Sementara, si tukang sepatu berjalan kaki di belakangnya. Ketika tiba di rumah, Abu Hanifah turun dan menoleh kepada tetangganya itu seraya berkata,
"Bagaimana? Aku tidak mengecewakanmu kan?"
"Tidak, bahkan sebaliknya." Ia menambahkan, "Terima kasih. Semoga Allah memberimu balasan kebajikan."

Sejak itu ia tidak lagi mengulangi kebiasaannya, sehingga Abu Hanifah dapat merasa lebih khusyu' dalam ibadahnya setiap malam.

Sumber: Al-Thabaqat al-Saniyyat fi Tajarun al-Hanafiyat, Taqiyyuddin bin Abdul Qadir al-Tammii
Di Kufah, Abu Hanifah mempunyai tetangga tukang sepatu. Sepanjang hari bekerja, menjelang malam ia baru pulang ke rumah. Biasanya ia membawa oleh-oleh berupa daging untuk dimasak atau seekor ikan besar untuk dibakar. Selesai makan, ia terus minum tiada henti-hentinya sambil bemyanyi, dan baru berhenti jauh malam setelah ia merasa mengantuk sekali, kemudian tidur pulas.


Abu Hanifah yang sudah terbiasa melaksanakan salat sepanjang malam, tentu saja merasa terganggu oleh suara nyanyian si tukang sepatu tersebut. Tetapi, ia diamkan saja. Pada suatu malam, Abu Hanifah tidak mendengar tetangganya itu bernyanyi-nyanyi seperti biasanya. Sesaat ia keluar untuk mencari kabarnya. Ternyata menurut keterangan tetangga lain, ia baru saja ditangkap polisi dan ditahan.

Selesai salat subuh, ketika hari masih pagi, Abu Hanifah naik bighalnya ke istana. Ia ingin menemui Amir Kufah. Ia disambut dengan penuh khidmat dan hormat. Sang Amir sendiri yang berkenan menemuinya.

"Ada yang bisa aku bantu?" tanya sang Amir.
"Tetanggaku tukang sepatu kemarin ditangkap polisi. Tolong lepaskan ia dari tahanan, Amir, " jawab Abu Hanifah.
"Baikiah," kata sang Amir yang segera menyuruh seorang polisi penjara untuk melepaskan tetangga Abu Hanifah yang baru ditangkap kemarin petang.

Abu Hanifah pulang dengan naik bighalnya pelan-pelan. Sementara, si tukang sepatu berjalan kaki di belakangnya. Ketika tiba di rumah, Abu Hanifah turun dan menoleh kepada tetangganya itu seraya berkata,
"Bagaimana? Aku tidak mengecewakanmu kan?"
"Tidak, bahkan sebaliknya." Ia menambahkan, "Terima kasih. Semoga Allah memberimu balasan kebajikan."

Sejak itu ia tidak lagi mengulangi kebiasaannya, sehingga Abu Hanifah dapat merasa lebih khusyu' dalam ibadahnya setiap malam.

Sumber: Al-Thabaqat al-Saniyyat fi Tajarun al-Hanafiyat, Taqiyyuddin bin Abdul Qadir al-Tammii
»»  READMORE...

nasihat untuk penguasa

Mengatakan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng memang perlu keberanian yang tinggi, sebab resikonya besar. Bisa-bisa akan kehilangan kebebasan, mendekam dalam penjara, bahkan lebih jauh lagi dari itu, nyawa bisa melayang. Karena itu, tidaklah mengherankan ketika pada suatu saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya oleh seorang sahabat perihal perjuangan apa yang paling utama, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun menjawab, "Mengatakan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng."

Demikian sabda Tasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang dikisahkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa'i, Abu Daud, dan Tirmidzi, berdasarkan penuturan Abu Sa'id al-Khudry Radhiyallahu 'anhu, dan Abu Abdillah Thariq bin Syihab al-Bajily al-Ahnasyi. Oleh sebab itu, sedikit sekali orang yang berani melakukannya, yakni mengatakan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng.

Di antara yang sedikit itu (orang yang pemberani) terdapatlah nama Thawus al-Yamani. Ia adalah seorang tabi'in, yakni generasi yang hidup setelah para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bertemu dengan mereka dan belajar dari mereka. Dikisahkan, suatu ketika Hisyam bin Abdul Malik, seorang khalifah dari Bani Umayyah, melakukan perjalanan ke Mekah guna melaksanakan ibadah haji. Di saat itu beliau meminta agar dipertemukan dengan salah seorang sahabat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang hidup. Namun sayang, ternyata ketika itu tak seorang pun sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang masih hidup. Semua sudah wafat. Sebagai gantinya, beliau pun meminta agar dipertemukan dengan seorang tabi'in.

Datanglah Thawus al-Yamani menghadap sebagai wakil dari para tabi'in. Ketika menghadap, Thawus al-Yamani menanggalkan alas kakinya persis ketika akan menginjak permadani yang dibentangkan di hadapan khalifah. Kemudia ia langsung saja nyelonong masuk ke dalam tanpa mengucapkan salam perhormatan pada khalifah yang tengah duduk menanti kedatangannya. Thawus al-Yamani hanya mengucapkan salam biasa saja, "Assalamu'alaikum," langsung duduk di samping khalifah seraya bertanya, "Bagaimanakah keadaanmu, wahai Hisyam?"

Melihat perilaku Thawus seperti itu, khalifah merasa tersinggung. Beliau murka bukan main. Hampir saja beliau memerintahkan kepada para pengawalnya untuk membunuh Thawus. Melihat gelagat yang demikian, buru-buru Thawus berkata, "Ingat, Anda berada dalam wilayah haramullah dan haramurasulihi (tanah suci Allah dan tanah suci Rasul-Nya). Karena itu, demi tempat yang mulia ini, Anda tidak diperkenankan melakukan perbuatan buruk seperti itu!"
"Lalu apa maksudmu melakukakan semua ini?" tanya khalifah.
"Apa yang aku lakukan?" Thawus balik bertanya.
Dengan geram khalifah pun berkata, "Kamu tanggalkan alas kaki persis di depan permadaniku. Kamu masuk tanpa mengucapkan salam penghormatan kepadaku sebagai khalifah, dan juga tidak mencium tanganku. Lalu, kamu juga memanggilku hanya dengan nama kecilku, tanpa gelar dan kun-yahku. Dan, sudah begitu, kamu berani pula duduk di sampingku tanpa seizinku. Apakah semua itu bukan penghinaan terhadapku?"
"Wahai Hisyam!" jawab Thawus, "Kutanggalkan alas kakiku karena aku juga menanggalkannya lima kali sehari ketika aku menghadap Tuhanku, Allah 'Azza wa Jalla. Dia tidak marah, apalagi murka kepadaku lantaran itu."
"Aku tidak mencium tanganmu lantaran kudengar Amirul Mukminin Ali Radhiyallahu 'anhu pernah berkata bahwa seorang tidak boleh mencium tangan orang lain, kecuali tangan istrinya karena syahwat atau tangan anak-anaknya karena kasih sayang."
"Aku tidak mengucapkan salam penghormatan dan tidak menyebutmu dengan kata-kata amiirul mukminin lantaran tidak semua rela dengan kepemimpinanmu; karenanya aku enggan untuk berbohong."
"Aku tidak memanggilmu dengan sebutan gelar kebesaran dan kun-yah lantaran Allah memanggil para kekasih-Nya di dalam Alquran hanya dengan sebutan nama semata, seperti ya Daud, ya Yahya, ya 'Isa; dan memanggil musuh-musuh-Nya dengan sebutan kun-yah seperti Abu Lahab...."
"Aku duduk persis di sampingmu lantaran kudengar Amiirul Mukminin Ali Radhiyallahu 'anhu pernah berkata bila kamu ingin melihat calon penghuni neraka, maka lihatlah orang yang duduk sementara orang di sekitarnya tegak berdiri."

Mendengar jawaban Thawus yang panjang lebar itu, dan juga kebenaran yang terkandung di dalamnya, khalifah pun tafakkur karenanya. Lalu ia berkata, "Benar sekali apa yang Anda katakan itu. Nah, sekarang berilah aku nasehat sehubungan dengan kedudukan ini!"
"Kudengar Amiirul Mukminin Ali Radhiyallahu 'anhu berkata dalam sebuah nasehatnya," jawab Thawus, "Sesungguhnya dalam api neraka itu ada ular-ular berbisa dan kalajengking raksasa yang menyengat setiap pemimpin yang tidak adil terhadap rakyatnya."

Mendengar jawaban dan nasehat Thawus seperti itu, khalifah hanya terdiam, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia menyadari bahwa menjadi seorang pemimpin harus bersikap arif dan bijaksana serta tidak boleh meninggalkan nilai-nilai keadilan bagi seluruh rakyatnya. Setelah berbincang-bincang beberapa lamanya perihal masalah-masalah yang penting yang ditanyakan oleh khalifah, Thawus al-Yamani pun meminta diri. Khalifah pun memperkenankannya dengan segala hormat dan lega dengan nasehat-nasehatnya.

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia


Mengatakan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng memang perlu keberanian yang tinggi, sebab resikonya besar. Bisa-bisa akan kehilangan kebebasan, mendekam dalam penjara, bahkan lebih jauh lagi dari itu, nyawa bisa melayang. Karena itu, tidaklah mengherankan ketika pada suatu saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya oleh seorang sahabat perihal perjuangan apa yang paling utama, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun menjawab, "Mengatakan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng."

Demikian sabda Tasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang dikisahkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa'i, Abu Daud, dan Tirmidzi, berdasarkan penuturan Abu Sa'id al-Khudry Radhiyallahu 'anhu, dan Abu Abdillah Thariq bin Syihab al-Bajily al-Ahnasyi. Oleh sebab itu, sedikit sekali orang yang berani melakukannya, yakni mengatakan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng.

Di antara yang sedikit itu (orang yang pemberani) terdapatlah nama Thawus al-Yamani. Ia adalah seorang tabi'in, yakni generasi yang hidup setelah para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bertemu dengan mereka dan belajar dari mereka. Dikisahkan, suatu ketika Hisyam bin Abdul Malik, seorang khalifah dari Bani Umayyah, melakukan perjalanan ke Mekah guna melaksanakan ibadah haji. Di saat itu beliau meminta agar dipertemukan dengan salah seorang sahabat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang hidup. Namun sayang, ternyata ketika itu tak seorang pun sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang masih hidup. Semua sudah wafat. Sebagai gantinya, beliau pun meminta agar dipertemukan dengan seorang tabi'in.

Datanglah Thawus al-Yamani menghadap sebagai wakil dari para tabi'in. Ketika menghadap, Thawus al-Yamani menanggalkan alas kakinya persis ketika akan menginjak permadani yang dibentangkan di hadapan khalifah. Kemudia ia langsung saja nyelonong masuk ke dalam tanpa mengucapkan salam perhormatan pada khalifah yang tengah duduk menanti kedatangannya. Thawus al-Yamani hanya mengucapkan salam biasa saja, "Assalamu'alaikum," langsung duduk di samping khalifah seraya bertanya, "Bagaimanakah keadaanmu, wahai Hisyam?"

Melihat perilaku Thawus seperti itu, khalifah merasa tersinggung. Beliau murka bukan main. Hampir saja beliau memerintahkan kepada para pengawalnya untuk membunuh Thawus. Melihat gelagat yang demikian, buru-buru Thawus berkata, "Ingat, Anda berada dalam wilayah haramullah dan haramurasulihi (tanah suci Allah dan tanah suci Rasul-Nya). Karena itu, demi tempat yang mulia ini, Anda tidak diperkenankan melakukan perbuatan buruk seperti itu!"
"Lalu apa maksudmu melakukakan semua ini?" tanya khalifah.
"Apa yang aku lakukan?" Thawus balik bertanya.
Dengan geram khalifah pun berkata, "Kamu tanggalkan alas kaki persis di depan permadaniku. Kamu masuk tanpa mengucapkan salam penghormatan kepadaku sebagai khalifah, dan juga tidak mencium tanganku. Lalu, kamu juga memanggilku hanya dengan nama kecilku, tanpa gelar dan kun-yahku. Dan, sudah begitu, kamu berani pula duduk di sampingku tanpa seizinku. Apakah semua itu bukan penghinaan terhadapku?"
"Wahai Hisyam!" jawab Thawus, "Kutanggalkan alas kakiku karena aku juga menanggalkannya lima kali sehari ketika aku menghadap Tuhanku, Allah 'Azza wa Jalla. Dia tidak marah, apalagi murka kepadaku lantaran itu."
"Aku tidak mencium tanganmu lantaran kudengar Amirul Mukminin Ali Radhiyallahu 'anhu pernah berkata bahwa seorang tidak boleh mencium tangan orang lain, kecuali tangan istrinya karena syahwat atau tangan anak-anaknya karena kasih sayang."
"Aku tidak mengucapkan salam penghormatan dan tidak menyebutmu dengan kata-kata amiirul mukminin lantaran tidak semua rela dengan kepemimpinanmu; karenanya aku enggan untuk berbohong."
"Aku tidak memanggilmu dengan sebutan gelar kebesaran dan kun-yah lantaran Allah memanggil para kekasih-Nya di dalam Alquran hanya dengan sebutan nama semata, seperti ya Daud, ya Yahya, ya 'Isa; dan memanggil musuh-musuh-Nya dengan sebutan kun-yah seperti Abu Lahab...."
"Aku duduk persis di sampingmu lantaran kudengar Amiirul Mukminin Ali Radhiyallahu 'anhu pernah berkata bila kamu ingin melihat calon penghuni neraka, maka lihatlah orang yang duduk sementara orang di sekitarnya tegak berdiri."

Mendengar jawaban Thawus yang panjang lebar itu, dan juga kebenaran yang terkandung di dalamnya, khalifah pun tafakkur karenanya. Lalu ia berkata, "Benar sekali apa yang Anda katakan itu. Nah, sekarang berilah aku nasehat sehubungan dengan kedudukan ini!"
"Kudengar Amiirul Mukminin Ali Radhiyallahu 'anhu berkata dalam sebuah nasehatnya," jawab Thawus, "Sesungguhnya dalam api neraka itu ada ular-ular berbisa dan kalajengking raksasa yang menyengat setiap pemimpin yang tidak adil terhadap rakyatnya."

Mendengar jawaban dan nasehat Thawus seperti itu, khalifah hanya terdiam, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia menyadari bahwa menjadi seorang pemimpin harus bersikap arif dan bijaksana serta tidak boleh meninggalkan nilai-nilai keadilan bagi seluruh rakyatnya. Setelah berbincang-bincang beberapa lamanya perihal masalah-masalah yang penting yang ditanyakan oleh khalifah, Thawus al-Yamani pun meminta diri. Khalifah pun memperkenankannya dengan segala hormat dan lega dengan nasehat-nasehatnya.

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia


»»  READMORE...

gelar untuk ali bin abi thalib

Pada suatu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyatakan bahwa dirinya diibaratkan sebagai kota ilmu, sementara Ali bin Abi Thalib adalah gerbangnya ilmu. Mendengar pernyataan yang demikian, sekelompok kaum Khawarij tidak mempercayainya. Mereka tidak percaya, apa benar Ali bin Abi Thalib cukup pandai sehingga ia mendapat julukan "gerbang ilmu" dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.


Berkumpullah sepuluh orang dari kaum Khawarij. Kemudian mereka bermusyawarah untuk menguji kebenaran pernyataan Rasulullah tersebut. Seorang di antara mereka berkata, "Mari sekarang kita tanyakan pada Ali tentang suatu masalah saja. Bagaimana jawaban Ali tentang masalah itu. Kita bisa menilai seberapa jauh kepandaiannya. Bagaimana? Apakah kalian setuju?"
"Setuju!" jawab mereka serentak.
"Tetapi sebaiknya kita bertanya secara bergiliran saja", saran yang lain. "Dengan begitu kita dapat mencari kelemahan Ali. Namun bila jawaban Ali nanti selalu berbeda-beda, barulah kita percaya bahwa memang Ali adalah orang yang cerdas."
"Baik juga saranmu itu. Mari kita laksanakan!" sahut yang lainnya.
Hari yang telah ditentukan telah tiba. Orang pertama datang menemui Ali lantas bertanya, "Manakah yang lebih utama, ilmu atau harta?"
"Tentu saja lebih utama ilmu," jawab Ali tegas.
"Ilmu adalah warisan para Nabi dan Rasul, sedangkan harta adalah warisan Qarun, Fir'aun, Namrud dan lain-lainnya," Ali menerangkan.
Setelah mendengan jawaban Ali yang demikian, orang itu kemudian mohon diri. Tak lama kemudian datang orang kedua dan bertanya kepada Ali dengan pertanyaan yang sama. "Manakah yang lebih utama, ilmu atau harta?"
"Lebih utama ilmu dibanding harta," jawab Ali.
"Mengapa?"
"Karena ilmu akan menjaga dirimu, sementara harta malah sebaliknya, engkau harus menjaganya."
Orang kedua itu pun pergi setelah mendengar jawaban Ali seperti itu. Orang ketiga pun datang menyusul dan bertanya seperti orang sebelumnya.
"Bagaimana pendapat tuan bila ilmu dibandingkan dengan harta?"
Ali kemudian menjawab bahwa, "Harta lebih rendah dibandingkan dengan ilmu?"
"Mengapa bisa demikian tuan?" tanya orang itu penasaran.
"Sebab orang yang mempunyai banyak harta akan mempunyai banyak musuh. Sedangkan orang yang kaya ilmu akan banyak orang yang menyayanginya dan hormat kepadanya."
Setelah orang itu pergi, tak lama kemudian orang keempat pun datang dan menanyakan permasalahan yang sama. Setelah mendengar pertanyaan yang diajukan oleh orang itu, Ali pun kemudian menjawab, "Ya, jelas-jelas lebih utama ilmu."
"Apa yang menyebabkan demikian?" tanya orang itu mendesak.
"Karena bila engkau pergunakan harta," jawab Ali, "jelas-jelas harta akan semakin berkurang. Namun bila ilmu yang engkau pergunakan, maka akan semakin bertambah banyak."

Orang kelima kemudian datang setelah kepergian orang keempat dari hadapan Ali. Ketika menjawab pertanyaan orang ini, Ali pun menerangkan, "Jika pemilik harta ada yang menyebutnya pelit, sedangkan pemilik ilmu akan dihargai dan disegani."
Orang keenam lalu menjumpai Ali dengan pertanyaan yang sama pula. Namun tetap saja Ali mengemukakan alasan yang berbeda. Jawaban Ali tersebut ialah, "Harta akan selalu dijaga dari kejahatan, sedangkan ilmu tidak usah dijaga dari kejahatan, lagi pula ilmu akan menjagamu."

Dengan pertanyaan yang sama orang ketujuh datang kepada Ali. Pertanyaan itu kemudian dijawab Ali, "Pemilik ilmu akan diberi syafa'at oleh Allah Subhaanahu wa Ta'ala di hari kiamat nanti, sementara pemilik harta akan dihisab oleh Allah kelak."
Kemudian kesepuluh orang itu berkumpul lagi. Mereka yang sudah bertanya kepada Ali mengutarakan jawaban yang diberikan Ali. Mereka tak menduga setelah mendengar setiap jawaban, ternyata alasan yang diberikan Ali selalu berbeda. Sekarang tinggal tiga orang yang belum melaksanakan tugasnya. Mereka yakin bahwa tiga orang itu akan bisa mencari celah kelemahan Ali. Sebab ketiga orang itu dianggap yang paling pandai di antara mereka.

Orang kedelapan menghadap Ali lantas bertanya, "Antara ilmu dan harta, manakah yang lebih utama wahai Ali?"
"Tentunya lebih utama dan lebih penting ilmu," jawab Ali.
"Kenapa begitu?" tanyanya lagi.
"Dalam waktu yang lama," kata Ali menerangkan, "harta akan habis, sedangkan ilmu malah sebaliknya, ilmu akan abadi."
Orang kesembilan datang dengan pertanyaan tersebut. "Seseorang yang banyak harta", jawab Ali pada orang ini, "akan dijunjung tinggi hanya karena hartanya. Sedangkan orang yang kaya ilmu dianggap intelektual."

Sampailah giliran orang terakhir. Ia pun bertanya pada Ali hal yang sama. Ali menjawab, "Harta akan membuatmu tidak tenang dengan kata lain akan mengeraskan hatimu. Tetapi, ilmu sebaliknya, akan menyinari hatimu hingga hatimu akan menjadi terang dan tentram karenanya."

Ali pun kemudian menyadari bahwa dirinya telah diuji oleh orang-orang itu. Sehingga dia berkata, "Andaikata engkau datangkan semua orang untuk bertanya, insya Allah akan aku jawab dengan jawaban yang berbeda-beda pula, selagi aku masih hidup."

Kesepuluh orang itu akhirnya menyerah. Mereka percaya bahwa apa yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas adalah benar adanya. Dan ali memang pantas mendapat julukan "gerbang ilmu". Sedang mengenai diri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sudah tidak perlu diragukan lagi.

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Pada suatu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyatakan bahwa dirinya diibaratkan sebagai kota ilmu, sementara Ali bin Abi Thalib adalah gerbangnya ilmu. Mendengar pernyataan yang demikian, sekelompok kaum Khawarij tidak mempercayainya. Mereka tidak percaya, apa benar Ali bin Abi Thalib cukup pandai sehingga ia mendapat julukan "gerbang ilmu" dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.


Berkumpullah sepuluh orang dari kaum Khawarij. Kemudian mereka bermusyawarah untuk menguji kebenaran pernyataan Rasulullah tersebut. Seorang di antara mereka berkata, "Mari sekarang kita tanyakan pada Ali tentang suatu masalah saja. Bagaimana jawaban Ali tentang masalah itu. Kita bisa menilai seberapa jauh kepandaiannya. Bagaimana? Apakah kalian setuju?"
"Setuju!" jawab mereka serentak.
"Tetapi sebaiknya kita bertanya secara bergiliran saja", saran yang lain. "Dengan begitu kita dapat mencari kelemahan Ali. Namun bila jawaban Ali nanti selalu berbeda-beda, barulah kita percaya bahwa memang Ali adalah orang yang cerdas."
"Baik juga saranmu itu. Mari kita laksanakan!" sahut yang lainnya.
Hari yang telah ditentukan telah tiba. Orang pertama datang menemui Ali lantas bertanya, "Manakah yang lebih utama, ilmu atau harta?"
"Tentu saja lebih utama ilmu," jawab Ali tegas.
"Ilmu adalah warisan para Nabi dan Rasul, sedangkan harta adalah warisan Qarun, Fir'aun, Namrud dan lain-lainnya," Ali menerangkan.
Setelah mendengan jawaban Ali yang demikian, orang itu kemudian mohon diri. Tak lama kemudian datang orang kedua dan bertanya kepada Ali dengan pertanyaan yang sama. "Manakah yang lebih utama, ilmu atau harta?"
"Lebih utama ilmu dibanding harta," jawab Ali.
"Mengapa?"
"Karena ilmu akan menjaga dirimu, sementara harta malah sebaliknya, engkau harus menjaganya."
Orang kedua itu pun pergi setelah mendengar jawaban Ali seperti itu. Orang ketiga pun datang menyusul dan bertanya seperti orang sebelumnya.
"Bagaimana pendapat tuan bila ilmu dibandingkan dengan harta?"
Ali kemudian menjawab bahwa, "Harta lebih rendah dibandingkan dengan ilmu?"
"Mengapa bisa demikian tuan?" tanya orang itu penasaran.
"Sebab orang yang mempunyai banyak harta akan mempunyai banyak musuh. Sedangkan orang yang kaya ilmu akan banyak orang yang menyayanginya dan hormat kepadanya."
Setelah orang itu pergi, tak lama kemudian orang keempat pun datang dan menanyakan permasalahan yang sama. Setelah mendengar pertanyaan yang diajukan oleh orang itu, Ali pun kemudian menjawab, "Ya, jelas-jelas lebih utama ilmu."
"Apa yang menyebabkan demikian?" tanya orang itu mendesak.
"Karena bila engkau pergunakan harta," jawab Ali, "jelas-jelas harta akan semakin berkurang. Namun bila ilmu yang engkau pergunakan, maka akan semakin bertambah banyak."

Orang kelima kemudian datang setelah kepergian orang keempat dari hadapan Ali. Ketika menjawab pertanyaan orang ini, Ali pun menerangkan, "Jika pemilik harta ada yang menyebutnya pelit, sedangkan pemilik ilmu akan dihargai dan disegani."
Orang keenam lalu menjumpai Ali dengan pertanyaan yang sama pula. Namun tetap saja Ali mengemukakan alasan yang berbeda. Jawaban Ali tersebut ialah, "Harta akan selalu dijaga dari kejahatan, sedangkan ilmu tidak usah dijaga dari kejahatan, lagi pula ilmu akan menjagamu."

Dengan pertanyaan yang sama orang ketujuh datang kepada Ali. Pertanyaan itu kemudian dijawab Ali, "Pemilik ilmu akan diberi syafa'at oleh Allah Subhaanahu wa Ta'ala di hari kiamat nanti, sementara pemilik harta akan dihisab oleh Allah kelak."
Kemudian kesepuluh orang itu berkumpul lagi. Mereka yang sudah bertanya kepada Ali mengutarakan jawaban yang diberikan Ali. Mereka tak menduga setelah mendengar setiap jawaban, ternyata alasan yang diberikan Ali selalu berbeda. Sekarang tinggal tiga orang yang belum melaksanakan tugasnya. Mereka yakin bahwa tiga orang itu akan bisa mencari celah kelemahan Ali. Sebab ketiga orang itu dianggap yang paling pandai di antara mereka.

Orang kedelapan menghadap Ali lantas bertanya, "Antara ilmu dan harta, manakah yang lebih utama wahai Ali?"
"Tentunya lebih utama dan lebih penting ilmu," jawab Ali.
"Kenapa begitu?" tanyanya lagi.
"Dalam waktu yang lama," kata Ali menerangkan, "harta akan habis, sedangkan ilmu malah sebaliknya, ilmu akan abadi."
Orang kesembilan datang dengan pertanyaan tersebut. "Seseorang yang banyak harta", jawab Ali pada orang ini, "akan dijunjung tinggi hanya karena hartanya. Sedangkan orang yang kaya ilmu dianggap intelektual."

Sampailah giliran orang terakhir. Ia pun bertanya pada Ali hal yang sama. Ali menjawab, "Harta akan membuatmu tidak tenang dengan kata lain akan mengeraskan hatimu. Tetapi, ilmu sebaliknya, akan menyinari hatimu hingga hatimu akan menjadi terang dan tentram karenanya."

Ali pun kemudian menyadari bahwa dirinya telah diuji oleh orang-orang itu. Sehingga dia berkata, "Andaikata engkau datangkan semua orang untuk bertanya, insya Allah akan aku jawab dengan jawaban yang berbeda-beda pula, selagi aku masih hidup."

Kesepuluh orang itu akhirnya menyerah. Mereka percaya bahwa apa yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas adalah benar adanya. Dan ali memang pantas mendapat julukan "gerbang ilmu". Sedang mengenai diri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sudah tidak perlu diragukan lagi.

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
»»  READMORE...

Khalifah Umar dan Keadilan

Suatu ketika Umar bin Khattab sedang berkhotbah di masjid di kota Madinah tentang keadilan dalam pemerintahan Islam. Pada saat itu muncul seorang lelaki asing dalam masjid , sehingga Umar menghentikan khotbahnya sejenak, kemudian ia melanjutkan.

"Sesungguhnya seorang pemimpin itu diangkat dari antara kalian bukan dari bangsa lain. Pemimpin itu harus berbuat untuk kepentingan kalian, bukan untuk kepentingan dirinya, golongannya, dan bukan untuk menindas kaum lemah. Demi Allah, apabila ada di antara pemimpin dari kamu sekalian menindas yang lemah, maka kepada orang yang ditindas itu diberikan haknya untuk membalas pemimpin itu. Begitu pula jika seorang pemimpin di antara kamu sekalian menghina seseorang di hadapan umum, maka kepada orang itu harus diberikan haknya untuk membalas hal yang setimpal."

Selesai khalifah berkhotbah, tiba-tiba lelaki asing tadi bangkit seraya berkata; "Ya Amiirul Mu'minin, saya datang dari Mesir dengan menembus padang pasir yang luas dan tandus, serta menuruni lembah yang curam. Semua ini hanya dengan satu tujuan, yakni ingin bertemu dengan Tuan."
"Katakanlah apa tujuanmu bertemu denganku," ujar Umar.
"Saya telah dihina di hadapan orang banyak oleh 'Amr bin 'Ash, gubernur Mesir. Dan sekarang saya akan menuntutnya dengan hukum yang sama."
"Ya saudaraku, benarkah apa yang telah engkau katakan itu?" tanya khalifah Umar ragu-ragu.
"Ya Amiirul Mu'minin, benar adanya."
"Baiklah, kepadamu aku berikan hak yang sama untuk menuntut balas. Tetapi, engkau harus mengajukan empat orang saksi, dan kepada 'Amr aku berikan dua orang pembela. Jika tidak ada yang membela gubernur, maka kau dapat melaksanakan balasan dengan memukulnya 40 kali."
"Baik ya Amiirul Mu'minin. Akan saya laksanakan semua itu," jawab orang itu seraya berlalu. Ia langsung kembali ke Mesir untuk menemui gubernur Mesir 'Amr bin 'Ash.

Ketika sampai ia langsung mengutarakan maksud dan keperluannya.
"Ya 'Amr, sesungguhnya seorang pemimpin diangkat oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Dia diangkat bukan untuk golongannya, bukan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya, dan bukan pula untuk menindas yang lemah dan mengambil hak yang bukan miliknya. Khalifar Umar telah memberi izin kepada saya untuk memperoleh hak saya di muka umum."
"Apakah kamu akan menuntut gubernur?" tanya salah seorang yang hadir.
"Ya, demi kebenaran akan saya tuntut dia," jawab lelaki itu tegas.
"Tetapi, dia kan gubernur kita?"
"Seandainya yang menghina itu Amiirul Mu'minin, saya juga akan menuntutnya."
"Ya, saudara-saudaraku. Demi Allah, aku minta kepada kalian yang mendengar dan melihat kejadian itu agar berdiri."
Maka banyaklah yang berdiri.
"Apakah kamu akan memukul gubernur?" tanya mereka.
"Ya, demi Allah saya akan memukul dia sebanyak 40 kali."
"Tukar saja dengan uang sebagai pengganti pukulan itu."
"Tidak, walaupun seluruh masjid ini berisi perhiasan aku tidak akan melepaskan hak itu," jawabnya .
"Baiklah, mungkin engkau lebih suka demi kebaikan nama gubernur kita, di antara kami mau jadi penggantinya," bujuk mereka.
"Saya tidak suka pengganti."
"Kau memang keras kepala, tidak mendengar dan tidak suka usulan kami sedikit pun."
"Demi Allah, umat Islam tidak akan maju bila terus begini. Mereka membela pemimpinnya yang salah dengan gigih karena khawatir akan dihukum," ujarnya seraya meninggalkan tempat.
'Amr bin'Ash serta merta menyuruh anak buahnya untuk memanggil orang itu. Ia menyadari hukuman Allah di akhirat tetap akan menimpanya walaupun ia selamat di dunia.
"Ini rotan, ambillah! Laksanakanlah hakmu," kata gubernur 'Amr bin 'Ash sambil membungkukkan badannya siap menerima hukuman balasan.
"Apakah dengan kedudukanmu sekarang ini engkau merasa mampu untuk menghindari hukuman ini?" tanya lelaki itu.
"Tidak, jalankan saja keinginanmu itu," jawab gubernur.
"Tidak, sekarang aku memaafkanmu," kata lelaki itu seraya memeluk gubernur Mesir itu sebagai tanda persaudaraan. Dan rotan pun ia lemparkan.

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Suatu ketika Umar bin Khattab sedang berkhotbah di masjid di kota Madinah tentang keadilan dalam pemerintahan Islam. Pada saat itu muncul seorang lelaki asing dalam masjid , sehingga Umar menghentikan khotbahnya sejenak, kemudian ia melanjutkan.

"Sesungguhnya seorang pemimpin itu diangkat dari antara kalian bukan dari bangsa lain. Pemimpin itu harus berbuat untuk kepentingan kalian, bukan untuk kepentingan dirinya, golongannya, dan bukan untuk menindas kaum lemah. Demi Allah, apabila ada di antara pemimpin dari kamu sekalian menindas yang lemah, maka kepada orang yang ditindas itu diberikan haknya untuk membalas pemimpin itu. Begitu pula jika seorang pemimpin di antara kamu sekalian menghina seseorang di hadapan umum, maka kepada orang itu harus diberikan haknya untuk membalas hal yang setimpal."

Selesai khalifah berkhotbah, tiba-tiba lelaki asing tadi bangkit seraya berkata; "Ya Amiirul Mu'minin, saya datang dari Mesir dengan menembus padang pasir yang luas dan tandus, serta menuruni lembah yang curam. Semua ini hanya dengan satu tujuan, yakni ingin bertemu dengan Tuan."
"Katakanlah apa tujuanmu bertemu denganku," ujar Umar.
"Saya telah dihina di hadapan orang banyak oleh 'Amr bin 'Ash, gubernur Mesir. Dan sekarang saya akan menuntutnya dengan hukum yang sama."
"Ya saudaraku, benarkah apa yang telah engkau katakan itu?" tanya khalifah Umar ragu-ragu.
"Ya Amiirul Mu'minin, benar adanya."
"Baiklah, kepadamu aku berikan hak yang sama untuk menuntut balas. Tetapi, engkau harus mengajukan empat orang saksi, dan kepada 'Amr aku berikan dua orang pembela. Jika tidak ada yang membela gubernur, maka kau dapat melaksanakan balasan dengan memukulnya 40 kali."
"Baik ya Amiirul Mu'minin. Akan saya laksanakan semua itu," jawab orang itu seraya berlalu. Ia langsung kembali ke Mesir untuk menemui gubernur Mesir 'Amr bin 'Ash.

Ketika sampai ia langsung mengutarakan maksud dan keperluannya.
"Ya 'Amr, sesungguhnya seorang pemimpin diangkat oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Dia diangkat bukan untuk golongannya, bukan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya, dan bukan pula untuk menindas yang lemah dan mengambil hak yang bukan miliknya. Khalifar Umar telah memberi izin kepada saya untuk memperoleh hak saya di muka umum."
"Apakah kamu akan menuntut gubernur?" tanya salah seorang yang hadir.
"Ya, demi kebenaran akan saya tuntut dia," jawab lelaki itu tegas.
"Tetapi, dia kan gubernur kita?"
"Seandainya yang menghina itu Amiirul Mu'minin, saya juga akan menuntutnya."
"Ya, saudara-saudaraku. Demi Allah, aku minta kepada kalian yang mendengar dan melihat kejadian itu agar berdiri."
Maka banyaklah yang berdiri.
"Apakah kamu akan memukul gubernur?" tanya mereka.
"Ya, demi Allah saya akan memukul dia sebanyak 40 kali."
"Tukar saja dengan uang sebagai pengganti pukulan itu."
"Tidak, walaupun seluruh masjid ini berisi perhiasan aku tidak akan melepaskan hak itu," jawabnya .
"Baiklah, mungkin engkau lebih suka demi kebaikan nama gubernur kita, di antara kami mau jadi penggantinya," bujuk mereka.
"Saya tidak suka pengganti."
"Kau memang keras kepala, tidak mendengar dan tidak suka usulan kami sedikit pun."
"Demi Allah, umat Islam tidak akan maju bila terus begini. Mereka membela pemimpinnya yang salah dengan gigih karena khawatir akan dihukum," ujarnya seraya meninggalkan tempat.
'Amr bin'Ash serta merta menyuruh anak buahnya untuk memanggil orang itu. Ia menyadari hukuman Allah di akhirat tetap akan menimpanya walaupun ia selamat di dunia.
"Ini rotan, ambillah! Laksanakanlah hakmu," kata gubernur 'Amr bin 'Ash sambil membungkukkan badannya siap menerima hukuman balasan.
"Apakah dengan kedudukanmu sekarang ini engkau merasa mampu untuk menghindari hukuman ini?" tanya lelaki itu.
"Tidak, jalankan saja keinginanmu itu," jawab gubernur.
"Tidak, sekarang aku memaafkanmu," kata lelaki itu seraya memeluk gubernur Mesir itu sebagai tanda persaudaraan. Dan rotan pun ia lemparkan.

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

»»  READMORE...

pencuri bertaqwa???

Ada seorang pemuda yang bertakwa, tetapi dia sangat lugu. Suatu kali dia belajar pada seorang syekh. Setelah lama menuntut ilmu, sang syekh menasihati dia dan teman-temannya: "Kalian tidak boleh menjadi beban orang lain. Sesungguhnya, seorang yang alim yang menadahkan tangannya kepada orang lain atau orang berharta, tak ada kebaikan dalam dirinya. Pergilah kalian semua dan bekerjalah dengan pekerjaan ayah kalian masing-masing. Sertakanlah selalu ketakwaan kepada Allah dalam menjalankan pekerjaan tersebut."

Maka pergilah pemuda tadi menemui ibunya seraya bertanya: "Ibu, apakah pekerjaan yang dulu dikerjakan ayahku?" Sambil bergetar ibunya menjawab, "Ayahmu sudah meninggal. Apa urusanmu dengan pekerjaan ayahmu?" Si pemuda ini terus memaksa agar diberitahu, tetapi si ibu selalu mengelak. Namun, akhirnya si ibu terpaksa angkat bicara juga, dengan nada jengkel si ibu berkata, "Ayahmu dulu seorang pencuri."

Pemuda itu berkata, "Guruku memerintahkan kami--murid-muridnya--untuk bekerja seperti pekerjaan ayah kami masing-masing dan dengan ketakwaan kepada Allah dalam menjalankan pekerjaan tersebut."

Ibunya menyela, "Hai! apakah dalam pekerjaan mencuri ada ketakwaan?" Kemudian anaknya yang begitu polos menjawab dengan tenang, "Ya, begitu kata guruku."

Lalu dia pergi bertanya pada orang-orang dan belajar bagaimana seorang pencuri melakukan aksinya. Sekarang ia telah mengetahui teknik mencuri. Inilah saatnya beraksi. Dia menyiapkan alat-alat mencuri, kemudian salat Isya' dan menunggu sampai orang-orang tidur. Kemudian dia mulai keluar rumah untuk menjalankan provesi ayahnya dengan penuh ketakwaan, seperti perintah gurunya. Dia mulai dengan rumah tetangganya. Saat hendak masuk ke dalam rumah itu dia ingat pesan gurunya agar selalu bertakwa. Akhirnya rumah tetangga itu ditinggalkannya. Ia lalu melewati rumah lain, dia berbisik pada dirinya, "Ini rumah anak yatim, dan Allah melarang kita makan harta anak yatim." Dia terus berjalan dan akhirnya tiba di rumah seorang pedagang kaya yang tidak ada penjaganya. Orang-orang sudah tahu bahwa pedagang ini memiliki harta yang melebihi kebutuhannya. "Haa, di sini," gumamnya. Pemuda itu segera memulai aksinya. Dia berusaha membuka pintu dengan kunci-kunci yang telah dipersiapkannya. Setelah berhasil masuk, rumah itu ternyata besar dan banyak kamarnya. Dia berkeliling di dalam rumah, sampai menemukan tempat penyimpanan harta. Dia membuka sebuah kotak, didapatinya emas, perak, dan uang tunai dalam jumlah yang banyak. Dia tergoda untuk mengambilnya. Lalu dia berkata, "Eh, jangan! Guruku berpesan agar aku selalu bertakwa. Barangkali pedagang ini belum mengeluarkan zakat hartanya. Kalau begitu, sebaiknya aku keluarkan zakatnya terlebih dahulu."

Dia lalu mengambil buku-buk catatan yang ada di situ dan menghidupkan lentera kecil yang dibawanya. Sambil membuka lembaran buku-buku itu dia menghitung. Dia memang pandai berhitung dan punya pengalaman dalam pembukuan. Dia hitung semua harta yang ada dan memperkirakan berapa zakatnya. Kemudian dia pisahkan harta yang akan dizakatkan. Dia masih terus menghitung dan menghabiskan waktu berjam-jam. Saat menoleh, ternyata fajar telah menyingsing. Dia bicara sendiri, "Ingat takwa kepada Allah! Kau harus salat subuh dulu!" Kemudian dia keluar menuju ruang tengah, lalu berwudu di bak air untuk selanjutnya melaksanakan salat sunnah. Tiba-tiba tuan rumah itu terbangun. Dilihatnya dengan penuh keheranan, ada lentera kecil yang menyala. Dia lihat juga kotak hartanya dalam keadaan terbuka serta ada orang yang sedang melakukan salat. Istrinya bertanya, "Apa ini?" Dijawab oleh suaminya, "Demi Allah, aku juga tidak tahu." Lalu dia menghampiri si pencuri itu, "Kurang ajar, siapa kau dan ada apa ini?" Si pencuri berkata, "Salat dulu baru bicara. Ayo pergilah wuduk lalu salat berjamaah. Tuan rumahlah yang berhak menjadi imam."

Karena khawatir pencuri itu membawa senjata, si tuan rumah menuruti kehendaknya. Tetapi--wallahu a'lam-- bagaimana dia bisa salat dengan khusyu'. Selesai salat dia bertanya, "Sekarang coba ceritakan, siapa kau dan apa urusanmu?" Dia menjawab, "Saya ini pencuri." "Lalu apa yang kau perbuat dengan buku-buku catatanku itu?" tanya tuan rumah lagi. Si pencuri menjawab, "Aku menghitung zakat yang belum kau keluarkan selama enam tahun. Sekarang aku sudah menghitungnya dan juga sudah aku pisahkan agar kau dapat memberikannya pada orang yang berhak." Hampir saja tuan rumah itu dibuat gila karena terlalu keheranan. Lalu ia berkata, "Hai, ada apa denganmu sebenarnya. Apa kau ini sudah gila?"

Mulailah si pencuri itu bercerita dari awal sampai akhir. Setelah tuan rumah itu mendengar ceritanya dan mengetahui ketepatan serta kepandaiannya dalam menghitung, juga kejujuran kata-katanya, serta mengerti akan manfaat dan kewajiban zakat, dia pergi menemui istrinya. Mereka berdua mempunyai seorang anak gadis. Setelah keduanya berbicara, tuan rumah itu kembali menemui si pencuri, lalu berkata, "Bagaimana sekiranya kalau kau kunikahkan dengan putriku. Aku akan angkat engkau menjadi sekretaris dan juru hitungku. Kau boleh tinggal bersama ibumu di rumah ini." Ia menjawab, "Aku setuju." Di pagi harinya tuan rumah memanggil para saksi untuk acara akad nikah putrinya dengan si pemuda itu.

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia


Ada seorang pemuda yang bertakwa, tetapi dia sangat lugu. Suatu kali dia belajar pada seorang syekh. Setelah lama menuntut ilmu, sang syekh menasihati dia dan teman-temannya: "Kalian tidak boleh menjadi beban orang lain. Sesungguhnya, seorang yang alim yang menadahkan tangannya kepada orang lain atau orang berharta, tak ada kebaikan dalam dirinya. Pergilah kalian semua dan bekerjalah dengan pekerjaan ayah kalian masing-masing. Sertakanlah selalu ketakwaan kepada Allah dalam menjalankan pekerjaan tersebut."

Maka pergilah pemuda tadi menemui ibunya seraya bertanya: "Ibu, apakah pekerjaan yang dulu dikerjakan ayahku?" Sambil bergetar ibunya menjawab, "Ayahmu sudah meninggal. Apa urusanmu dengan pekerjaan ayahmu?" Si pemuda ini terus memaksa agar diberitahu, tetapi si ibu selalu mengelak. Namun, akhirnya si ibu terpaksa angkat bicara juga, dengan nada jengkel si ibu berkata, "Ayahmu dulu seorang pencuri."

Pemuda itu berkata, "Guruku memerintahkan kami--murid-muridnya--untuk bekerja seperti pekerjaan ayah kami masing-masing dan dengan ketakwaan kepada Allah dalam menjalankan pekerjaan tersebut."

Ibunya menyela, "Hai! apakah dalam pekerjaan mencuri ada ketakwaan?" Kemudian anaknya yang begitu polos menjawab dengan tenang, "Ya, begitu kata guruku."

Lalu dia pergi bertanya pada orang-orang dan belajar bagaimana seorang pencuri melakukan aksinya. Sekarang ia telah mengetahui teknik mencuri. Inilah saatnya beraksi. Dia menyiapkan alat-alat mencuri, kemudian salat Isya' dan menunggu sampai orang-orang tidur. Kemudian dia mulai keluar rumah untuk menjalankan provesi ayahnya dengan penuh ketakwaan, seperti perintah gurunya. Dia mulai dengan rumah tetangganya. Saat hendak masuk ke dalam rumah itu dia ingat pesan gurunya agar selalu bertakwa. Akhirnya rumah tetangga itu ditinggalkannya. Ia lalu melewati rumah lain, dia berbisik pada dirinya, "Ini rumah anak yatim, dan Allah melarang kita makan harta anak yatim." Dia terus berjalan dan akhirnya tiba di rumah seorang pedagang kaya yang tidak ada penjaganya. Orang-orang sudah tahu bahwa pedagang ini memiliki harta yang melebihi kebutuhannya. "Haa, di sini," gumamnya. Pemuda itu segera memulai aksinya. Dia berusaha membuka pintu dengan kunci-kunci yang telah dipersiapkannya. Setelah berhasil masuk, rumah itu ternyata besar dan banyak kamarnya. Dia berkeliling di dalam rumah, sampai menemukan tempat penyimpanan harta. Dia membuka sebuah kotak, didapatinya emas, perak, dan uang tunai dalam jumlah yang banyak. Dia tergoda untuk mengambilnya. Lalu dia berkata, "Eh, jangan! Guruku berpesan agar aku selalu bertakwa. Barangkali pedagang ini belum mengeluarkan zakat hartanya. Kalau begitu, sebaiknya aku keluarkan zakatnya terlebih dahulu."

Dia lalu mengambil buku-buk catatan yang ada di situ dan menghidupkan lentera kecil yang dibawanya. Sambil membuka lembaran buku-buku itu dia menghitung. Dia memang pandai berhitung dan punya pengalaman dalam pembukuan. Dia hitung semua harta yang ada dan memperkirakan berapa zakatnya. Kemudian dia pisahkan harta yang akan dizakatkan. Dia masih terus menghitung dan menghabiskan waktu berjam-jam. Saat menoleh, ternyata fajar telah menyingsing. Dia bicara sendiri, "Ingat takwa kepada Allah! Kau harus salat subuh dulu!" Kemudian dia keluar menuju ruang tengah, lalu berwudu di bak air untuk selanjutnya melaksanakan salat sunnah. Tiba-tiba tuan rumah itu terbangun. Dilihatnya dengan penuh keheranan, ada lentera kecil yang menyala. Dia lihat juga kotak hartanya dalam keadaan terbuka serta ada orang yang sedang melakukan salat. Istrinya bertanya, "Apa ini?" Dijawab oleh suaminya, "Demi Allah, aku juga tidak tahu." Lalu dia menghampiri si pencuri itu, "Kurang ajar, siapa kau dan ada apa ini?" Si pencuri berkata, "Salat dulu baru bicara. Ayo pergilah wuduk lalu salat berjamaah. Tuan rumahlah yang berhak menjadi imam."

Karena khawatir pencuri itu membawa senjata, si tuan rumah menuruti kehendaknya. Tetapi--wallahu a'lam-- bagaimana dia bisa salat dengan khusyu'. Selesai salat dia bertanya, "Sekarang coba ceritakan, siapa kau dan apa urusanmu?" Dia menjawab, "Saya ini pencuri." "Lalu apa yang kau perbuat dengan buku-buku catatanku itu?" tanya tuan rumah lagi. Si pencuri menjawab, "Aku menghitung zakat yang belum kau keluarkan selama enam tahun. Sekarang aku sudah menghitungnya dan juga sudah aku pisahkan agar kau dapat memberikannya pada orang yang berhak." Hampir saja tuan rumah itu dibuat gila karena terlalu keheranan. Lalu ia berkata, "Hai, ada apa denganmu sebenarnya. Apa kau ini sudah gila?"

Mulailah si pencuri itu bercerita dari awal sampai akhir. Setelah tuan rumah itu mendengar ceritanya dan mengetahui ketepatan serta kepandaiannya dalam menghitung, juga kejujuran kata-katanya, serta mengerti akan manfaat dan kewajiban zakat, dia pergi menemui istrinya. Mereka berdua mempunyai seorang anak gadis. Setelah keduanya berbicara, tuan rumah itu kembali menemui si pencuri, lalu berkata, "Bagaimana sekiranya kalau kau kunikahkan dengan putriku. Aku akan angkat engkau menjadi sekretaris dan juru hitungku. Kau boleh tinggal bersama ibumu di rumah ini." Ia menjawab, "Aku setuju." Di pagi harinya tuan rumah memanggil para saksi untuk acara akad nikah putrinya dengan si pemuda itu.

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia


»»  READMORE...

rezeki belipat ...



Al-Fudhail bin 'Iyadh berkata, "Seorang laki-laki bercerita kepadaku: 'Ada seorang laki-laki yang keluar rumah membawa benang tenun, lalu ia menjualnya seharga satu dirham yang rencananya untuk membeli tepung. Ketika pulang ia melewati dua orang lelaki yang saling menjambak rambut dan kepala kawannya. Ia lalu bertanya, 'Ada apa?' Orang-orang pun memberi tahunya bahwa keduanya bertengkar karena memperebutkan uang satu dirham. Maka ia berikan uang satu dirhamnya kepada mereka, dan ia pun tak memiliki uang lagi.

Ia lalu pulang dan menceritakan kejadian itu pada istrinya. Sang istri lalu mengumpulkan beberapa barang rumah tangga yang sekiranya bisa dijual atau digadaikan. Laki-laki itu pun pergi untuk menjual atau menggadaikannya. Tetapi, barang itu tidak laku. Tiba-tiba kemudian ia berpapasan dengan seorang laki-laki yang membawa ikan yang agak menebar bau busuk. Orang itu lalu berkata kepadanya, "Engkau membawa sesuatu yang tidak laku, demikian pula dengan yang saya bawa. Apakah engkau mau menukarnya dengan barang daganganku ini?" Ia pun mengiyakan. Ikan itu pun dibawanya pulang.
"Istriku, segeralah urus ikan ini, kita hampir tak berdaya karena lapar," katanya pada istrinya. Maka sang istri segera mengurus ikan tersebut. Ketika ia membelah perut ikan itu, tiba-tiba sebuah mutiara keluar dari perut ikan tersebut.
Wanita itu berkata gembira, "Suamiku, dari perut ikan ini keluar sesuatu yang lebih kecil dari telur ayam, ia hampir sebesar telur burung dara."
Suaminya berkata, "Perlihatkanlah padaku!" Ternyata ia melihat sesuatu yang belum pernah dilihatnya seumur hidupnya. Pikirannya melayang, hatinya berdebar. Ia lalu berkata pada istrinya, "Saya kira ini adalah mutiara."
Sang istri menyahut, "Tahukah engkau berapa nilai mutiara ini?"
"Tidak, tetapi aku tahu siapa yang pintar dalah hal ini", jawab suaminya. Ia lalu mengambil mutiara itu dan segera pergi ke tempat para penjual mutiara. Ia lalu menghampiri temannya yang ahli di bidang mutiara. Ia mengucapkan salam kepadanya, sang kawan pun menjawab salamnya. Selanjutnya ia berbicara kepadanya seraya mengeluarkan mutiara itu. "Tahukah anda berapa nilai benda ini?" ia bertanya. Kawannya memperhatikan mutiara itu begitu lama, baru kemudian ia berkata, "Aku menghargainya 40 ribu dirham. Jika anda mau, uang itu akan kubayar kontan sekarang juga. Tetapi jika anda ingin harga yang lebih tinggi, pergilah kepada si Fulan, dia akan memberimu harga yang lebih tinggi dariku."

Maka ia pergi kepada orang itu. Orang itu memperhatikan mutiara tersebut dan mengakui keindahannya. Ia kemudian berkata, "Aku menghargai barang ini 80 ribu dirham. Jika anda menginginkan harga yang lebih tinggi, pergilah kepada si Fulan, saya kira ia akan memberi harga yang lebih tinggi dariku."

Dengan bergegas ia pergi pada orang yang dimaksud. Orang itu berkata, "Aku hargai barang ini 120 ribu dirham. Dan saya kita tidak ada orang yang berani menambah sedikit pun dari harga itu." "Ya", ia pun setuju. Lalu mutiara itu ditimbangnya. Maka pada hari itu, lelaki itu pulang dengan membawa dua belas kantong uang dirham. Pada masing-masing kantong terdapat sepuluh ribu dirham. Uang ia bawa pulang dan akan disimpan di rumahnya. Tiba-tiba di pintu rumahnya ada seorang fakir yang meminta-minta. Maka ia berkata, "Saya punya kisah, karena itu masuklah." Orang itu pun masuk. Lalu laki-laki itu berkata, "Ambillah separuh dari hartaku ini." Orang fakir itu lalu mengambil enam kantong uang dan dibawannya pergi. Setelah agak jauh, ia kembali lagi seraya berkata, "Sebenarnya aku bukanlah orang fakir atau miskin, tetapi Allah Subhaanahu wa Ta'ala telah mengutusku kepadamu untuk mengujimu. Dialah yang telah mengganti satu dirhammu dengan 20 qirath. Dan ini yang diberikan-Nya kepadamu baru satu qirath dari semuanya. Dan Dia menyimpan sembilan belas qirath lagi untukmu.

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indoanesia



Al-Fudhail bin 'Iyadh berkata, "Seorang laki-laki bercerita kepadaku: 'Ada seorang laki-laki yang keluar rumah membawa benang tenun, lalu ia menjualnya seharga satu dirham yang rencananya untuk membeli tepung. Ketika pulang ia melewati dua orang lelaki yang saling menjambak rambut dan kepala kawannya. Ia lalu bertanya, 'Ada apa?' Orang-orang pun memberi tahunya bahwa keduanya bertengkar karena memperebutkan uang satu dirham. Maka ia berikan uang satu dirhamnya kepada mereka, dan ia pun tak memiliki uang lagi.

Ia lalu pulang dan menceritakan kejadian itu pada istrinya. Sang istri lalu mengumpulkan beberapa barang rumah tangga yang sekiranya bisa dijual atau digadaikan. Laki-laki itu pun pergi untuk menjual atau menggadaikannya. Tetapi, barang itu tidak laku. Tiba-tiba kemudian ia berpapasan dengan seorang laki-laki yang membawa ikan yang agak menebar bau busuk. Orang itu lalu berkata kepadanya, "Engkau membawa sesuatu yang tidak laku, demikian pula dengan yang saya bawa. Apakah engkau mau menukarnya dengan barang daganganku ini?" Ia pun mengiyakan. Ikan itu pun dibawanya pulang.
"Istriku, segeralah urus ikan ini, kita hampir tak berdaya karena lapar," katanya pada istrinya. Maka sang istri segera mengurus ikan tersebut. Ketika ia membelah perut ikan itu, tiba-tiba sebuah mutiara keluar dari perut ikan tersebut.
Wanita itu berkata gembira, "Suamiku, dari perut ikan ini keluar sesuatu yang lebih kecil dari telur ayam, ia hampir sebesar telur burung dara."
Suaminya berkata, "Perlihatkanlah padaku!" Ternyata ia melihat sesuatu yang belum pernah dilihatnya seumur hidupnya. Pikirannya melayang, hatinya berdebar. Ia lalu berkata pada istrinya, "Saya kira ini adalah mutiara."
Sang istri menyahut, "Tahukah engkau berapa nilai mutiara ini?"
"Tidak, tetapi aku tahu siapa yang pintar dalah hal ini", jawab suaminya. Ia lalu mengambil mutiara itu dan segera pergi ke tempat para penjual mutiara. Ia lalu menghampiri temannya yang ahli di bidang mutiara. Ia mengucapkan salam kepadanya, sang kawan pun menjawab salamnya. Selanjutnya ia berbicara kepadanya seraya mengeluarkan mutiara itu. "Tahukah anda berapa nilai benda ini?" ia bertanya. Kawannya memperhatikan mutiara itu begitu lama, baru kemudian ia berkata, "Aku menghargainya 40 ribu dirham. Jika anda mau, uang itu akan kubayar kontan sekarang juga. Tetapi jika anda ingin harga yang lebih tinggi, pergilah kepada si Fulan, dia akan memberimu harga yang lebih tinggi dariku."

Maka ia pergi kepada orang itu. Orang itu memperhatikan mutiara tersebut dan mengakui keindahannya. Ia kemudian berkata, "Aku menghargai barang ini 80 ribu dirham. Jika anda menginginkan harga yang lebih tinggi, pergilah kepada si Fulan, saya kira ia akan memberi harga yang lebih tinggi dariku."

Dengan bergegas ia pergi pada orang yang dimaksud. Orang itu berkata, "Aku hargai barang ini 120 ribu dirham. Dan saya kita tidak ada orang yang berani menambah sedikit pun dari harga itu." "Ya", ia pun setuju. Lalu mutiara itu ditimbangnya. Maka pada hari itu, lelaki itu pulang dengan membawa dua belas kantong uang dirham. Pada masing-masing kantong terdapat sepuluh ribu dirham. Uang ia bawa pulang dan akan disimpan di rumahnya. Tiba-tiba di pintu rumahnya ada seorang fakir yang meminta-minta. Maka ia berkata, "Saya punya kisah, karena itu masuklah." Orang itu pun masuk. Lalu laki-laki itu berkata, "Ambillah separuh dari hartaku ini." Orang fakir itu lalu mengambil enam kantong uang dan dibawannya pergi. Setelah agak jauh, ia kembali lagi seraya berkata, "Sebenarnya aku bukanlah orang fakir atau miskin, tetapi Allah Subhaanahu wa Ta'ala telah mengutusku kepadamu untuk mengujimu. Dialah yang telah mengganti satu dirhammu dengan 20 qirath. Dan ini yang diberikan-Nya kepadamu baru satu qirath dari semuanya. Dan Dia menyimpan sembilan belas qirath lagi untukmu.

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indoanesia

»»  READMORE...

Ka'ab bin Malik dan Taubatnya



Ka'ab bin Malik ra bercerita tentang tertinggalnya dia dalam Perang Tabuk, "Belum pernah saya tertinggal dari Rasulullah saw dalam suatu peperangan melainkan dalam Perang Tabuk, saya memang tidak turut dalam Perang Badar, tetapi tidak disalahkan, karena Rasulullah saw keluar hanya untuk menghadang Khalifah Qurasy tiba-tiba Allah menghadapkan mereka kepada lawan yang tidak terduga sebelumnya. Saya telah menyaksikan bersama Rasulullah saw malam "Bai'atul Aqabah" ketika saya berbai'at atas Islam, dan saya tidak suka andaikan kejadian "Lailatul Aqabah" itu ditukar dengan Perang Badar meskipun Perang Badar itu lebih dikenal orang."

Adapun cerita mengenai kami tidak ikut Perang Tabuk ialah: "Saya memang belum pernah merasa kuat dan lebih longgar sebagaimana keadaan saya ketika tertinggal dalam Perang Tabuk, demi Allah, saya belum pernah menyiapkan dua kendaraan melainkan untuk peperangan, dan biasanya Rasulullah saw jika akan keluar pada peperangan dengan menyamarkan dengan tujuan yang lain, kecuali dalam perang ini, karena Rasulullah akan melakukannya dalam musim kemarau, dan akan menghadapi perjalanan yang jauh, di samping musuh yang dihadapi jauh lebih besar dan lebih kuat, maka beliau menjelaskan kepad kaum muslimin supaya bersiap siaga sungguh-sungguh dan memberitahukan kepada mereka arah tujuan yang sebenarnya.

Kaum muslimin saat itu cukup banyak tidak tercatat nama mereka dalam sebuah buku, sehingga kalau seorang tidak ikut dalam perang ini, mungkin ia mengira tidak akan diketahui oleh Rasulullah saw selama tidak ada wahyu turun dari Allah.

Rasulullah saw keluar ke medan Perang Tabuk bersamaan dengan musim berbuahnya pohon-pohon. Saya merasa lebih condong pada peperangan ini dan saya pun telah bersiap-siap. Namun, sesampai di rumah saya tidak berbuat apa-apa, saya berkata dalam hati, "Saya dapat mengerjakannya sewaktu-waktu." Saya berlarut-larut dalam keadaan demikian sehingga pagi-pagi Rasulullah dan kaum muslimin sudah bersiap-siap untuk berangkat, saya segera pulang untuk bersiap-siap, tetapi sampai di rumah saya tidak berbuat apa-apa. Maka berangkatlah Rasulullah dan kaum muslimin dan saya merasa masih dapat mengejar mereka, tetapi saya tidak ditakdirkan oleh Allah yang demikian itu. Lalu, sesudah itu bila saya keluar, saya merasa sedih karena tidak mendapat teman kecuali orang-orang munafik dan orang-orang yang telah dimanfaatkan oleh Allah, seperti orang tua dan orang-orang miskin yang tidak dapat ikut serta bersama Rasulullah dalam perang ini.

Rasulullah saw tidak menyebut-nyebut nama saya sehingga sampai di Tabuk, ketika itu beliau tengah duduk di tengah-tengah kaum muslimin, beliau bertanya, "Apakah kerja Ka'ab bin Malik?" Seorang dari Bani Salmah menjawab, "Ya Rasulullah, ia tertahan dengan mantelnya." Lalu Muadz bin Jabal berkata, "Ya Rasulullah, kami tidak mengenal daripadanya, melainkan kebaikan semata-mata." Rasulullah diam, tidak menyahut ketarangan itu, dan ketika itu pula nampak bayang-bayang orang, lalu beliau berkata, "Mudah-mudahan itu Abu Kaitsmah." Dan benar, bahwa itu adalah Abu Kaitsamah al-Anshari yang pernah diejek oleh orang munafik karena ia menderma satu sha' (2,5 kg) kurma.

Ketika sampai berita kepada saya bahwa Rasulullah akan kembali, saya sedih atas keteledoran saya, sehingga ingin mencari jalan untuk menghindari murka beliau dalam hal ini saya telah minta bantuan para sanak kerabat. Tetapi, ketika sampai kepada saya bahwa Rasulullah saw datang, tiba-tiba saya mengambil keputusan dan mengetahui benar-benar bahwa saya tidak akan bisa selamat dari beliau mengaku apa adanya.

Pada waktu pagi Rasulullah memasuki kota Madinah dan terus memasuki masjid sebagaimana biasanya jika beliau baru tiba dari bepergian jauh, dan menanti kedatangan orng yang mengajukan alasan mengapa tidak ikut serta dalam perang. Maka, datanglah orang-orang yang tidak ikut serta dalam Perang Tabuk kurang lebih 80 orang, masing-masing mengajukan alasan dan bersumpah. Maka, Rasulullah menerima alasan mereka yang lahir dan memintakan ampun kepada Allah, dapun soal batin, beliau serahkan kepada Allah, sehingga sampailah giliran saya, ketika saya memberikan salam, beliau tersenyum ramah kepada saya sambil berkata, "Mari sini!" Lalu saya duduk di depannya, maka beliau bertanya, "Mengapa kamu tidak ikut berangkat, bukankah kamu telah menyiapkan kendaraan untuk ikut perang?" Saya menjawab, "Demi Allah, ya Rasulullah, andaikan saya ini duduk di depan seseorang selain engkau, niscaya dapat mengemukakan alasan-alasan untuk menyelamatkan diri dari murka-Nya, karena saya termasuk orang yang pandai berdebat, tetapi demi Allah, saya yakin jika saya berdusta kepada engkau, mungkin engkau menerima serta ridha terhadap saya, tetapi Allah akan murka terhadap saya, dan jika aku berkata sebenranya, mungkin engkau menyesal kepadaku, tetapi saya berharap Allah mau mengampuni saya. Demi Allah, sebenarnya tidak ada alasan bagi saya dan belum pernah saya merasa sehat dan ringan sebagaiamana keadaan saya ketika tidak turut beserta engkau berangkat ke Tabuk", maka Rasulullah menjawab, "Kamu telah berkata sebenarnya, maka pergilah sampai Allah memberi keputusan perkaramu ini." Ketika saya bangun diikuti oleh beberapa orang dari Bani Salamah sambil berkata, "Demi Allah, kau belum melakukan dosa selain ini, mengapa kau tidak meminta maaf saja kepada Rasulullah? Cukup bagimu jika beliau memintakan ampun bagimu." Mereka menyalahkan perbuatan saya, hingga hampir saja saya akan kembali kepada Rasulullah untuk menarik kembali pengakuan saya semula. Lalu, saya bertanya keopada mereka, "Adakah orang yang menerima keputusan sebagaimana saya?" Mereka menjawab, "Ada, yaitu Murarah bin Rabi'ah al Amiry dan Hilal bin Umayyah al Waqifi", maka ketika mereka menyebut nama dua orang yang saleh yang telah ikut serta dalam Perang Badar, maka saya merasa tenang, sebab ada dua orang yang dijadikan teladan, dan akhirnya saya tidak jadi menarik pengakuan saya.

Kemudian Rasulullah melarang sahabat-sahabatnya berbicara kepada kami bertiga, maka orang-orang mulai berubah sikap dan menjauhi kami, sehingga suasana kota Madinah berubah bagi saya seolah-olah saya seperti orang asing selama 50 hari, kedua teman saya hanya tinggal di rumah saja sambil menangis, sedangkan kami yang lebih muda darinya dikatakan lebih kuat dari keduanya, maka saya tetap keluar dari rumah untuk menghadiri salat jamaah, pergi ke pasar namun tidak ada seorang pun yang mau berbicara dengan saya, dan saya juga mendatngi majlis Rasulullah saw memberi salam kepadanya sambil memperhatikan bibirnya kalau-kalau ia menggerakan bibirnya menjawab salam saya, lalu saya mendekat kepadanya sambil melirik kepadanya, dan apabila saya melirik kepadanya, beliau membuang muka dariku.

Saya mendatangi rumah Abu Qatadah, sepupu saya yang akrab, lalu saya mengucapkan salam, tetapi dia tidak menjawab. Lalu saya bertanya kepadanya, "Apakah kamu mengetahui bahwasannya saya tetap cinta kepada Allah dan Rasul-Nya?" Ia pun tidak menjawab, hingga saya mengulanginya tiga kali dan ia pun tidak menjawab, ia hanya berkata, "Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui", maka bergulirlah air mataku mendengar itu, lalu saya terus kembali pulang.

Saya berjalan-jalan di pasar, tiba-tiba ada seorang petani dari negeri Syam yang biasa menjual makanan di pasar Madinah bertanya, "Siapakah yang suka menunjukkan saya kepada Ka'ab bin Malik?" Maka, semua orang yang ditnya menunjuk keada saya. Kemudian orang itu mendekati saya sambil membawa sepucuk surat dari Raja Hasan yang di dalamnya berisi, "Sebenarnya saya telah mendengar bahwa kamu telah diboikot oleh teman-temanmu, dan Allah tidak menjadikan kamu orang yang terhina, datanglah kepada kami, tentu akan kami terima." Maka, saya berkata, "Ini juga sebagai ujian", lalu saya pergi ke tempat api untuk membakar surat itu.

Setelah 40 hari dari kejadian itu, ada seorang utusan Rasulullah mendatangi saya dan memberitahu bahwa, "Rasulullah memerinthkan kamu untuk menjauhi istrimu." Saya bertanya, "Apakah saya harus dicerai?" Ia menjawab, "Tidak, kamu hanya dilarang untuk mendekatinya, dan begitu pula diutus untuk kedua teman saya yang senasib." Maka saya katakan kepada istri saya, "Saya harapkan kamu pulang kepada keluargamu sampai saya mendapat keputusan dari Allah mengenai urusanku ini." Istri Hilal bin Umayyah datang menemui Rasulullah memberi tahu bahwa Hilal adalah seorang tua yang tidak mempunyai pelayan, apa boleh kiranya saya melayaninya? Beliau menjawab, "Boleh melayani, asal tidak mendekati kamu." Ia berkata, "Demi Allah, ia tidak memunyai nafsu untuk mendekati, sebab sejak ia menerima keputusan itu ia menangis terus tak henti-hentinya."

Sebagian kerabatku mengusulkan supaya minta izin kepada Rasulullah untuk sitriku, sebagaimana Hilal bin Umayyah, saya menjawab, "Saya tidak akan minta izin kepada Rasulullah untuk istriku, sedang saya belum tahu apakah yang akan dijawab oleh beliau, setelah 10 hari dan genaplah 50 hari sejak Rasulullah melarang sahabt-sahabat untuk tidak berbicara kepada saya." Dan pada hari yang ke-50 itu, ketika saya sedang salat Subuh di ruangan bagian atas rumahku, ketika itu saya sedang duduk merenungkan nasib diri yang benar-benar seperti yang telah disebut Allah dlam Alquran, yaitu sempit hidup di atas dunia ini, tiba-tiba saya mendengar suara jeritan yang sangat keras: "Wahai Ka'ab bin Malik, sambutlah kabar baik", lalu saya sujud syukur sebab saya merasa psti Rasulullah telah mengatakan kepada sahabatnya bahwa Allah telah menerima taubat saya pagi ini.

Orang-orang datang mengucapkan selamat kepada saya, ada yang berlari, ada yang berkendaraan, dan ada pula yang menjeritkan suaranya. Ketika sampai kepadaku orang yang sampai terlebih dahulu, saya langsung melepas pakaian lalu saya hadiahkan kepadanya, padahal waktu itu saya hanya punya satu pakaian. Saya terpaksa meminjam pakaian untuk Rasulullah saw.

Kemudian saya berjalan ke tempat Rasulullah, sedang orang-orang sama menyebut saya dengan ucapan selamat atas diterimanya taubat saya oleh Allah, sehingga sampailah saya di masjid Rasulullah, di mana beliau duduk dan ditemani para sahabatnya, maka Thalhah bin Ubaidillah bangkit dari duduknya untuk menjabat tangan saya sambil mengucapkan selamat. Demi Allah yang tiada seorang pun dari sahabat Muhajirin yang bangun dari tempatnya selain Thalhah, hingga saya tidak dapat melalaikan kebaikannya itu.

Ketika saya memberi salam kepada Rasulullah tampak wajah beiau berseri-seri seraya berkata, "Sambutlah hari yang paling baik bagimu sejak kamu dilahirkan oleh ibumu." Saya bertanya, "Apakah keputusan itu dari engkau ya Rasulullah atau dari Allah?" Belia menjawab, "Dari Allah Azza wa Jalla." Sudah menjadi kebiasaan bagi Rasululah, apabila beliau bergembira wajahnya berseri-seri bagaikan sepotong rembulan.

Kemudian saya berkata, "Ya Rasulullah, untuk kesempurnaan taubatku, saya akan menyedekahkabn semua kekayaan untuk Allah dan Rasul-Nya", lalu beliau menjawab, "Tahanlah sebagian hartamu, sesungguhnya yang demikian itu lebih baik bagimu." Saya berkata, "Saya akan menahan yang saya dapat dari Perang Khaibar ya Rasulullah."

Sungguh Allah telah menyelamatkan saya, sebab pengakuan saya yang benar, sebab itu ya Rasulullah, saya berjanji tidak akan berbicara melainkan dengan benar sebagai kelanjutan dari taubat saya. Demi Allah, saya tidak pernah mengetahui dari seorang pun dari kaum muslimin telah mendapat ujian dari Allah karena kebenarannya sebagaimana saya. Demi Allah, saya tidak pernah sengaja berdusta sejak saya berjanji yang demikian itu pada Rasaulullah sampai hari ini, dan saya berharap semoga Allah terus memelihara saya sampai akhir hayat.

Sumber: 1001 Kisah-Kisah Nyata, Achmad Sunarto



Ka'ab bin Malik ra bercerita tentang tertinggalnya dia dalam Perang Tabuk, "Belum pernah saya tertinggal dari Rasulullah saw dalam suatu peperangan melainkan dalam Perang Tabuk, saya memang tidak turut dalam Perang Badar, tetapi tidak disalahkan, karena Rasulullah saw keluar hanya untuk menghadang Khalifah Qurasy tiba-tiba Allah menghadapkan mereka kepada lawan yang tidak terduga sebelumnya. Saya telah menyaksikan bersama Rasulullah saw malam "Bai'atul Aqabah" ketika saya berbai'at atas Islam, dan saya tidak suka andaikan kejadian "Lailatul Aqabah" itu ditukar dengan Perang Badar meskipun Perang Badar itu lebih dikenal orang."

Adapun cerita mengenai kami tidak ikut Perang Tabuk ialah: "Saya memang belum pernah merasa kuat dan lebih longgar sebagaimana keadaan saya ketika tertinggal dalam Perang Tabuk, demi Allah, saya belum pernah menyiapkan dua kendaraan melainkan untuk peperangan, dan biasanya Rasulullah saw jika akan keluar pada peperangan dengan menyamarkan dengan tujuan yang lain, kecuali dalam perang ini, karena Rasulullah akan melakukannya dalam musim kemarau, dan akan menghadapi perjalanan yang jauh, di samping musuh yang dihadapi jauh lebih besar dan lebih kuat, maka beliau menjelaskan kepad kaum muslimin supaya bersiap siaga sungguh-sungguh dan memberitahukan kepada mereka arah tujuan yang sebenarnya.

Kaum muslimin saat itu cukup banyak tidak tercatat nama mereka dalam sebuah buku, sehingga kalau seorang tidak ikut dalam perang ini, mungkin ia mengira tidak akan diketahui oleh Rasulullah saw selama tidak ada wahyu turun dari Allah.

Rasulullah saw keluar ke medan Perang Tabuk bersamaan dengan musim berbuahnya pohon-pohon. Saya merasa lebih condong pada peperangan ini dan saya pun telah bersiap-siap. Namun, sesampai di rumah saya tidak berbuat apa-apa, saya berkata dalam hati, "Saya dapat mengerjakannya sewaktu-waktu." Saya berlarut-larut dalam keadaan demikian sehingga pagi-pagi Rasulullah dan kaum muslimin sudah bersiap-siap untuk berangkat, saya segera pulang untuk bersiap-siap, tetapi sampai di rumah saya tidak berbuat apa-apa. Maka berangkatlah Rasulullah dan kaum muslimin dan saya merasa masih dapat mengejar mereka, tetapi saya tidak ditakdirkan oleh Allah yang demikian itu. Lalu, sesudah itu bila saya keluar, saya merasa sedih karena tidak mendapat teman kecuali orang-orang munafik dan orang-orang yang telah dimanfaatkan oleh Allah, seperti orang tua dan orang-orang miskin yang tidak dapat ikut serta bersama Rasulullah dalam perang ini.

Rasulullah saw tidak menyebut-nyebut nama saya sehingga sampai di Tabuk, ketika itu beliau tengah duduk di tengah-tengah kaum muslimin, beliau bertanya, "Apakah kerja Ka'ab bin Malik?" Seorang dari Bani Salmah menjawab, "Ya Rasulullah, ia tertahan dengan mantelnya." Lalu Muadz bin Jabal berkata, "Ya Rasulullah, kami tidak mengenal daripadanya, melainkan kebaikan semata-mata." Rasulullah diam, tidak menyahut ketarangan itu, dan ketika itu pula nampak bayang-bayang orang, lalu beliau berkata, "Mudah-mudahan itu Abu Kaitsmah." Dan benar, bahwa itu adalah Abu Kaitsamah al-Anshari yang pernah diejek oleh orang munafik karena ia menderma satu sha' (2,5 kg) kurma.

Ketika sampai berita kepada saya bahwa Rasulullah akan kembali, saya sedih atas keteledoran saya, sehingga ingin mencari jalan untuk menghindari murka beliau dalam hal ini saya telah minta bantuan para sanak kerabat. Tetapi, ketika sampai kepada saya bahwa Rasulullah saw datang, tiba-tiba saya mengambil keputusan dan mengetahui benar-benar bahwa saya tidak akan bisa selamat dari beliau mengaku apa adanya.

Pada waktu pagi Rasulullah memasuki kota Madinah dan terus memasuki masjid sebagaimana biasanya jika beliau baru tiba dari bepergian jauh, dan menanti kedatangan orng yang mengajukan alasan mengapa tidak ikut serta dalam perang. Maka, datanglah orang-orang yang tidak ikut serta dalam Perang Tabuk kurang lebih 80 orang, masing-masing mengajukan alasan dan bersumpah. Maka, Rasulullah menerima alasan mereka yang lahir dan memintakan ampun kepada Allah, dapun soal batin, beliau serahkan kepada Allah, sehingga sampailah giliran saya, ketika saya memberikan salam, beliau tersenyum ramah kepada saya sambil berkata, "Mari sini!" Lalu saya duduk di depannya, maka beliau bertanya, "Mengapa kamu tidak ikut berangkat, bukankah kamu telah menyiapkan kendaraan untuk ikut perang?" Saya menjawab, "Demi Allah, ya Rasulullah, andaikan saya ini duduk di depan seseorang selain engkau, niscaya dapat mengemukakan alasan-alasan untuk menyelamatkan diri dari murka-Nya, karena saya termasuk orang yang pandai berdebat, tetapi demi Allah, saya yakin jika saya berdusta kepada engkau, mungkin engkau menerima serta ridha terhadap saya, tetapi Allah akan murka terhadap saya, dan jika aku berkata sebenranya, mungkin engkau menyesal kepadaku, tetapi saya berharap Allah mau mengampuni saya. Demi Allah, sebenarnya tidak ada alasan bagi saya dan belum pernah saya merasa sehat dan ringan sebagaiamana keadaan saya ketika tidak turut beserta engkau berangkat ke Tabuk", maka Rasulullah menjawab, "Kamu telah berkata sebenarnya, maka pergilah sampai Allah memberi keputusan perkaramu ini." Ketika saya bangun diikuti oleh beberapa orang dari Bani Salamah sambil berkata, "Demi Allah, kau belum melakukan dosa selain ini, mengapa kau tidak meminta maaf saja kepada Rasulullah? Cukup bagimu jika beliau memintakan ampun bagimu." Mereka menyalahkan perbuatan saya, hingga hampir saja saya akan kembali kepada Rasulullah untuk menarik kembali pengakuan saya semula. Lalu, saya bertanya keopada mereka, "Adakah orang yang menerima keputusan sebagaimana saya?" Mereka menjawab, "Ada, yaitu Murarah bin Rabi'ah al Amiry dan Hilal bin Umayyah al Waqifi", maka ketika mereka menyebut nama dua orang yang saleh yang telah ikut serta dalam Perang Badar, maka saya merasa tenang, sebab ada dua orang yang dijadikan teladan, dan akhirnya saya tidak jadi menarik pengakuan saya.

Kemudian Rasulullah melarang sahabat-sahabatnya berbicara kepada kami bertiga, maka orang-orang mulai berubah sikap dan menjauhi kami, sehingga suasana kota Madinah berubah bagi saya seolah-olah saya seperti orang asing selama 50 hari, kedua teman saya hanya tinggal di rumah saja sambil menangis, sedangkan kami yang lebih muda darinya dikatakan lebih kuat dari keduanya, maka saya tetap keluar dari rumah untuk menghadiri salat jamaah, pergi ke pasar namun tidak ada seorang pun yang mau berbicara dengan saya, dan saya juga mendatngi majlis Rasulullah saw memberi salam kepadanya sambil memperhatikan bibirnya kalau-kalau ia menggerakan bibirnya menjawab salam saya, lalu saya mendekat kepadanya sambil melirik kepadanya, dan apabila saya melirik kepadanya, beliau membuang muka dariku.

Saya mendatangi rumah Abu Qatadah, sepupu saya yang akrab, lalu saya mengucapkan salam, tetapi dia tidak menjawab. Lalu saya bertanya kepadanya, "Apakah kamu mengetahui bahwasannya saya tetap cinta kepada Allah dan Rasul-Nya?" Ia pun tidak menjawab, hingga saya mengulanginya tiga kali dan ia pun tidak menjawab, ia hanya berkata, "Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui", maka bergulirlah air mataku mendengar itu, lalu saya terus kembali pulang.

Saya berjalan-jalan di pasar, tiba-tiba ada seorang petani dari negeri Syam yang biasa menjual makanan di pasar Madinah bertanya, "Siapakah yang suka menunjukkan saya kepada Ka'ab bin Malik?" Maka, semua orang yang ditnya menunjuk keada saya. Kemudian orang itu mendekati saya sambil membawa sepucuk surat dari Raja Hasan yang di dalamnya berisi, "Sebenarnya saya telah mendengar bahwa kamu telah diboikot oleh teman-temanmu, dan Allah tidak menjadikan kamu orang yang terhina, datanglah kepada kami, tentu akan kami terima." Maka, saya berkata, "Ini juga sebagai ujian", lalu saya pergi ke tempat api untuk membakar surat itu.

Setelah 40 hari dari kejadian itu, ada seorang utusan Rasulullah mendatangi saya dan memberitahu bahwa, "Rasulullah memerinthkan kamu untuk menjauhi istrimu." Saya bertanya, "Apakah saya harus dicerai?" Ia menjawab, "Tidak, kamu hanya dilarang untuk mendekatinya, dan begitu pula diutus untuk kedua teman saya yang senasib." Maka saya katakan kepada istri saya, "Saya harapkan kamu pulang kepada keluargamu sampai saya mendapat keputusan dari Allah mengenai urusanku ini." Istri Hilal bin Umayyah datang menemui Rasulullah memberi tahu bahwa Hilal adalah seorang tua yang tidak mempunyai pelayan, apa boleh kiranya saya melayaninya? Beliau menjawab, "Boleh melayani, asal tidak mendekati kamu." Ia berkata, "Demi Allah, ia tidak memunyai nafsu untuk mendekati, sebab sejak ia menerima keputusan itu ia menangis terus tak henti-hentinya."

Sebagian kerabatku mengusulkan supaya minta izin kepada Rasulullah untuk sitriku, sebagaimana Hilal bin Umayyah, saya menjawab, "Saya tidak akan minta izin kepada Rasulullah untuk istriku, sedang saya belum tahu apakah yang akan dijawab oleh beliau, setelah 10 hari dan genaplah 50 hari sejak Rasulullah melarang sahabt-sahabat untuk tidak berbicara kepada saya." Dan pada hari yang ke-50 itu, ketika saya sedang salat Subuh di ruangan bagian atas rumahku, ketika itu saya sedang duduk merenungkan nasib diri yang benar-benar seperti yang telah disebut Allah dlam Alquran, yaitu sempit hidup di atas dunia ini, tiba-tiba saya mendengar suara jeritan yang sangat keras: "Wahai Ka'ab bin Malik, sambutlah kabar baik", lalu saya sujud syukur sebab saya merasa psti Rasulullah telah mengatakan kepada sahabatnya bahwa Allah telah menerima taubat saya pagi ini.

Orang-orang datang mengucapkan selamat kepada saya, ada yang berlari, ada yang berkendaraan, dan ada pula yang menjeritkan suaranya. Ketika sampai kepadaku orang yang sampai terlebih dahulu, saya langsung melepas pakaian lalu saya hadiahkan kepadanya, padahal waktu itu saya hanya punya satu pakaian. Saya terpaksa meminjam pakaian untuk Rasulullah saw.

Kemudian saya berjalan ke tempat Rasulullah, sedang orang-orang sama menyebut saya dengan ucapan selamat atas diterimanya taubat saya oleh Allah, sehingga sampailah saya di masjid Rasulullah, di mana beliau duduk dan ditemani para sahabatnya, maka Thalhah bin Ubaidillah bangkit dari duduknya untuk menjabat tangan saya sambil mengucapkan selamat. Demi Allah yang tiada seorang pun dari sahabat Muhajirin yang bangun dari tempatnya selain Thalhah, hingga saya tidak dapat melalaikan kebaikannya itu.

Ketika saya memberi salam kepada Rasulullah tampak wajah beiau berseri-seri seraya berkata, "Sambutlah hari yang paling baik bagimu sejak kamu dilahirkan oleh ibumu." Saya bertanya, "Apakah keputusan itu dari engkau ya Rasulullah atau dari Allah?" Belia menjawab, "Dari Allah Azza wa Jalla." Sudah menjadi kebiasaan bagi Rasululah, apabila beliau bergembira wajahnya berseri-seri bagaikan sepotong rembulan.

Kemudian saya berkata, "Ya Rasulullah, untuk kesempurnaan taubatku, saya akan menyedekahkabn semua kekayaan untuk Allah dan Rasul-Nya", lalu beliau menjawab, "Tahanlah sebagian hartamu, sesungguhnya yang demikian itu lebih baik bagimu." Saya berkata, "Saya akan menahan yang saya dapat dari Perang Khaibar ya Rasulullah."

Sungguh Allah telah menyelamatkan saya, sebab pengakuan saya yang benar, sebab itu ya Rasulullah, saya berjanji tidak akan berbicara melainkan dengan benar sebagai kelanjutan dari taubat saya. Demi Allah, saya tidak pernah mengetahui dari seorang pun dari kaum muslimin telah mendapat ujian dari Allah karena kebenarannya sebagaimana saya. Demi Allah, saya tidak pernah sengaja berdusta sejak saya berjanji yang demikian itu pada Rasaulullah sampai hari ini, dan saya berharap semoga Allah terus memelihara saya sampai akhir hayat.

Sumber: 1001 Kisah-Kisah Nyata, Achmad Sunarto

»»  READMORE...

tetangga yang baik



Diriwayatkan dari Sahal bin Abdillah rahimahullah, bahwa dia mempunyai seorang tetangga yang merupakan orang dzimmiy (orang non-muslim yang tinggal di wilayah Islam, memiliki hak keamanan harta dan jiwa dengan membayar jizyah). Dan dari rumah orang dzimmiy itu ada kebocoran yang menimbulkan tetesan air ke rumah Sahal.

Setiap hari Sahal menampung air bocoran itu di dalam suatu wadah agar tidak menyebar di rumahnya. Jika telah penuh Sahal membuangnya pada malam hari agar tidak dilihat oleh orang. Keadaan itu terus berlangsung lama sampai ketika ajal sudah mendatangi Sahal.

Lalu tetangganya yang dzimiiy Majusi itu datang menjenguknya ketika ia sedang sakit menjelang meninggalnya. Sahal menyuruhnya masuk ke sebuah ruangan di rumahnya agar tetangganya itu melihat apa yang terjadi di dalamnya. Begitu Majusi itu masuk, ia langsung melihat adanya kebocoran dari rumahnya dan airnya menetes ke rumah Sahal. Ia paham, hal ini tentu saja mengganggu Sahal. Ia kemudian bertanya, "Apa sebenarnya yang kulihat ini?"

Sahal berkata, "Hal ini sudah berlangsung lama, air menetes dari rumahmu ke rumahku ini. Dan saya menampungnya di siang hari, kemudian membuangnya pada malam hari. Kalaulah bukan karena ajalku telah tiba, dan aku takut orang lain tidak sanggup menerima keadaan ini, aku tidak akan memberitahukan hal ini kepadamu. Makanya aku melakukan hal telah kau lihat ini."

Orang Majusi itu berkata: "Wahai Syekh! Engkau telah memperlakukan aku dengan toleransi tinggi seperti ini, sedangkan saya tetap saja memegang kekufuranku. Tolong julurkanlah tangan anda, inilah saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah (Asyhadu anlaa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah). Setelah itu Sahal kemudian meninggal.

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia


Diriwayatkan dari Sahal bin Abdillah rahimahullah, bahwa dia mempunyai seorang tetangga yang merupakan orang dzimmiy (orang non-muslim yang tinggal di wilayah Islam, memiliki hak keamanan harta dan jiwa dengan membayar jizyah). Dan dari rumah orang dzimmiy itu ada kebocoran yang menimbulkan tetesan air ke rumah Sahal.

Setiap hari Sahal menampung air bocoran itu di dalam suatu wadah agar tidak menyebar di rumahnya. Jika telah penuh Sahal membuangnya pada malam hari agar tidak dilihat oleh orang. Keadaan itu terus berlangsung lama sampai ketika ajal sudah mendatangi Sahal.

Lalu tetangganya yang dzimiiy Majusi itu datang menjenguknya ketika ia sedang sakit menjelang meninggalnya. Sahal menyuruhnya masuk ke sebuah ruangan di rumahnya agar tetangganya itu melihat apa yang terjadi di dalamnya. Begitu Majusi itu masuk, ia langsung melihat adanya kebocoran dari rumahnya dan airnya menetes ke rumah Sahal. Ia paham, hal ini tentu saja mengganggu Sahal. Ia kemudian bertanya, "Apa sebenarnya yang kulihat ini?"

Sahal berkata, "Hal ini sudah berlangsung lama, air menetes dari rumahmu ke rumahku ini. Dan saya menampungnya di siang hari, kemudian membuangnya pada malam hari. Kalaulah bukan karena ajalku telah tiba, dan aku takut orang lain tidak sanggup menerima keadaan ini, aku tidak akan memberitahukan hal ini kepadamu. Makanya aku melakukan hal telah kau lihat ini."

Orang Majusi itu berkata: "Wahai Syekh! Engkau telah memperlakukan aku dengan toleransi tinggi seperti ini, sedangkan saya tetap saja memegang kekufuranku. Tolong julurkanlah tangan anda, inilah saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah (Asyhadu anlaa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah). Setelah itu Sahal kemudian meninggal.

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
»»  READMORE...

pohon kurma dan tetangga kikir....

Ada seseorang yang memiliki sebuah pohon kurma yang tumbuh subur, daunnya lebat, dan mayangnya menjuntai sampai ke rumah tetangganya yang miskin, banyak anak lagi. Tetapi, mereka hanya bisa gigit jari melihatnya.


Setiap kali pohon korma itu berbuah, pemiliknya memetik lewat rumah tetangganya yang miskin itu. Bahkan, apabila ada buah korma yang jatuh dan dipungut oleh anak-anak si miskin itu, pemilik korma itu akan merampasnya kembali. Sampai-sampai buah korma yang sudah terlanjur di mulut pun dimintanya kembali.

"Ini kurmaku, kamu tidak berhak memakannya," katanya.

Melihat perlakuan si pemilik korma itu, tetangganya yang miskin itu mengadukan perihalnya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Pengaduan ini diterima oleh Nabi dan beliau berjanji akan menyelesaikannya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu menemui pemilik kurma itu seraya berkata, "Berikanlah pohon kurmamu itu kepada tetanggamu yang miskin. Sebagai gantinya, kau akan memperoleh gantinya di surga nanti."

Pemilik kurma itu menjawab, "Cuma itu tawaranmu?" Karena sifat kikirnya, tawaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam itu ditolaknya. Dengan mencibirkan mulutnya, ia pergi meninggalkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kebetulan pembicaraan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pemilik kurma yang kikir itu terdengar oleh seorang dermawan. Lelaki itu lalu bergegas menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Apakah tawaran itu berlaku juga bagiku?" tanya lelaki itu. "Ya," jawab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Mendengar hal itu, lelaki itu bergegas menemui pemilik pohon kurma itu. "Tahukah engkau bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan pohon kurma surga sebagai ganti pohon kormamu?
"Ya, aku tahu. Tetapi, aku lebih sayang pada pohon kurmaku ini," ujar lelaki kikir itu.
"Pohon kormamu itu buahnya sungguh lebat, dan tak satu pun pohon kurmaku seperti itu. Apakah engkau mau menjual pohon kurmamu itu?" tanya si dermawan.
"Bisa saja, asal anda dapat memenuhi permintaanku. Aku yakin tak seorang pun sanggup memenuhinya," jawabnya.
"Berapa yang kau inginkan?"
"Empat puluh pohon korma."
"Oho, engkau minta yang tak sebanding. Tapi biarlah, kupenuhi permintaanmu dengan empat puluh pohon korma. Kuminta engkau benar-benar menukarkan pohon korma itu kepadaku," kata laki-laki dermawan itu.
Setelah selesai tukar-menukar pohon kurma, lelaki dermawan itu datang menghadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Wahai Rasulullah, pohon kurma itu telah menjadi milikku, kini aku menyerahkannya kepadamu," katanya.
Kemudian, Nabi bersama lelaki dermawan itu datang kepada keluarga miskin itu.
"Ambillah pohon kurma itu untukmu dan keluargamu," kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Saat itu turunlah wahyu dari Allah sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Lail ayat 5-11 yang menceritakan kedudukan orang dermawan dan orang kikir serta balasannya. Allah akan mengganti apa yang diberikan oleh seseorang, dengan barang yang serupa yang berlipat ganda di akhirat. Sayang lelaki kikir itu enggan menerimanya.

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Ada seseorang yang memiliki sebuah pohon kurma yang tumbuh subur, daunnya lebat, dan mayangnya menjuntai sampai ke rumah tetangganya yang miskin, banyak anak lagi. Tetapi, mereka hanya bisa gigit jari melihatnya.


Setiap kali pohon korma itu berbuah, pemiliknya memetik lewat rumah tetangganya yang miskin itu. Bahkan, apabila ada buah korma yang jatuh dan dipungut oleh anak-anak si miskin itu, pemilik korma itu akan merampasnya kembali. Sampai-sampai buah korma yang sudah terlanjur di mulut pun dimintanya kembali.

"Ini kurmaku, kamu tidak berhak memakannya," katanya.

Melihat perlakuan si pemilik korma itu, tetangganya yang miskin itu mengadukan perihalnya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Pengaduan ini diterima oleh Nabi dan beliau berjanji akan menyelesaikannya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu menemui pemilik kurma itu seraya berkata, "Berikanlah pohon kurmamu itu kepada tetanggamu yang miskin. Sebagai gantinya, kau akan memperoleh gantinya di surga nanti."

Pemilik kurma itu menjawab, "Cuma itu tawaranmu?" Karena sifat kikirnya, tawaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam itu ditolaknya. Dengan mencibirkan mulutnya, ia pergi meninggalkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kebetulan pembicaraan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pemilik kurma yang kikir itu terdengar oleh seorang dermawan. Lelaki itu lalu bergegas menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Apakah tawaran itu berlaku juga bagiku?" tanya lelaki itu. "Ya," jawab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Mendengar hal itu, lelaki itu bergegas menemui pemilik pohon kurma itu. "Tahukah engkau bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan pohon kurma surga sebagai ganti pohon kormamu?
"Ya, aku tahu. Tetapi, aku lebih sayang pada pohon kurmaku ini," ujar lelaki kikir itu.
"Pohon kormamu itu buahnya sungguh lebat, dan tak satu pun pohon kurmaku seperti itu. Apakah engkau mau menjual pohon kurmamu itu?" tanya si dermawan.
"Bisa saja, asal anda dapat memenuhi permintaanku. Aku yakin tak seorang pun sanggup memenuhinya," jawabnya.
"Berapa yang kau inginkan?"
"Empat puluh pohon korma."
"Oho, engkau minta yang tak sebanding. Tapi biarlah, kupenuhi permintaanmu dengan empat puluh pohon korma. Kuminta engkau benar-benar menukarkan pohon korma itu kepadaku," kata laki-laki dermawan itu.
Setelah selesai tukar-menukar pohon kurma, lelaki dermawan itu datang menghadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Wahai Rasulullah, pohon kurma itu telah menjadi milikku, kini aku menyerahkannya kepadamu," katanya.
Kemudian, Nabi bersama lelaki dermawan itu datang kepada keluarga miskin itu.
"Ambillah pohon kurma itu untukmu dan keluargamu," kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Saat itu turunlah wahyu dari Allah sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Lail ayat 5-11 yang menceritakan kedudukan orang dermawan dan orang kikir serta balasannya. Allah akan mengganti apa yang diberikan oleh seseorang, dengan barang yang serupa yang berlipat ganda di akhirat. Sayang lelaki kikir itu enggan menerimanya.

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
»»  READMORE...

yang lulus ujian dari ALLAH????



Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bercerita bahwa dulu di kalangan Bani Israil ada tiga orang: belang (sopak), botak, dan buta. Allah Subhaanahu wa Ta'ala hendak menguji mereka, maka Allah mengutus seorang malaikat untuk datang kepada orang yang belang (sopak), lalu bertanya kepadanya: "Apakah yang anda inginkan?"

"Warna yang bagus dan kulit yang baik," jawab orang itu. "Sebab, kini aku telah dijauhi orang."
Maka diusaplah badan orang itu oleh malaikat itu, sehingga dengan izin Allah hilanglah penyakitnya dan kulitnya berubah menjadi sangat bagus dengan warna yang indah.
Lalu orang itu ditanya lagi, "Harta kekayaan apakah yang engkau inginkan?"
"Onta," jawabnya.
Maka diberinya onta betina yang sedang bunting sambil didoakan semoga Allah Subhaanahu wa Ta'ala memberkahinya.

Setelah itu, malaikat tersebut mendatangi orang yang botak dan bertanya, "Apakah gerangan yang anda inginkan?"
"Rambut yang bagus," jawabnya dengan mantap. "Dan hilangkan botakku ini, sebab orang selalu mengejekku."
Lalu malikat itu mengusap kepalanya dan dengan izin Allah botaknya langsung hilang dan rambutnya tumbuh kembali dengan cukup bagus. Orang itu kemudian ditanya, "Kini harta kekayaan apa yang anda inginkan?"
"Sapi," jawabnya.
Orang itu kemudian diberi sapi betina yang sedang bunting sambil didoakan semoga Allah Subhaanahu wa Ta'ala memberkatinya.

Dan terakhir, malaikat datang pada orang yang buta dan bertanya, "Apakah yang anda inginkan?"
"Aku ingin sekiranya Allah mengembalikan penglihatan mataku, supaya aku dapat melihat segala sesuatu," jawabnya meminta. Maka diusaplah kedua matanya oleh malaikat itu, dan dengan izin Allah seketika itu pula ia dapat melihat kembali.
"Sekarang harta kekayaan apa yang engkau inginkan?"
"Kambing," jawabnya.
Ia kemudian diberi kambing betina yang sedang bunting.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan bulan berganti bulan, serta tahun pun berganti tahun. Seiring itu pula hewan-hewan ternak ketiga orang itu bertambah banyak. Hingga akhirnya masing-masing telah memiliki satu lembah onta, satu lembah sapi, dan satu lembah kambing.

Malaikat itu kemudian kembali datang pada orang yang dulunya belang (sopak). Kedatangannya kali ini sengaja menyamar seperti bentuk rupa orang itu ketika masih belang dulu. Setelah sampai di tempat orang itu, ia berkata, "Saya ini orang miskin yang tengah putus perjalanan dan kehilangan kontak. Maka tiada yang dapat menyampaikan aku pada tujuan, kecuali pertolongan Allah Subhaanahu wa Ta'ala kemudian bantuanmu. Aku mohon padamu, demi Allah yang memberimu warna dan kulit yang bagus serta kekayaan, agar memberiku satu onta untuk menyampaikan aku pada tujuanku bepergian ini."
Mendengar ucapan yang demikian, orang itu kemudian menjawab: "Hak-hak orang lain masih banyak."
"Aku seperti kenal denganmu," sahut malaikat itu, "Tidakkah anda dulu belang, dibenci orang, lagi miskin, setelah itu anda diberi kekayaan oleh Allah?"
"Sungguh aku mewarisi harta kekayaan ini dari orang tuaku," jawabnya membantah.
"Jika anda berdusta, semoga Allah mengembalikan anda pada keadaan yang dulu," kata malaikat.

Setelah itu, malaikat tersebut datang pada orang yang dahulunya botak dengan menyamar menyerupai bentuknya ketika masih botak. Saat tiba di tempat orang itu, malaikat berkata padanya sebagaimana yang dikatakan pada orang pertama tadi. Ternyata jawabannya sama saja dengan orang sopak tadi, sehingga malaikat mendoakan pula, "Jika engkau berdusta, semoga Allah mengembalikan engkau pada keadaanmu dahulu."

Terakhir, malaikat itu datang pada orang yang dulunya buta. Ia berkata, "Seorang miskin yang dalam perjalanan telah putus hubungan. Maka aku takkan dapat sampai pada tujuanku kecuali dengan pertolongan Allah melalui perantaraan bantuanmu. Aku mohon demi Allah, Dia-lah yang telah mengembalikan penglihatanmu dan memberimu kekayaan, oleh karena itu berilah aku seekor kambing untuk bekal yang dapat mengantar aku sampai pada tujuanku."
"Benar," jawab orang itu, "Dahulu aku buta, kemudian Allah mengembalikan penglihatanku, dan miskin, lalu Allah memberiku harta kekayaan. Karena itu, sekarang ambillah sesukamu. Demi Allah, aku takkan keberatan dengan sesuatu yang engkau ambil karena Allah."
Maka malaikat pun berkata: "Tahanlah hartamu. Kamu bertiga sebenarnya sedang diuji oleh Allah. Maka Allah pun ridha padamu dan murka pada dua orang teman itu." (HR Bukhari & Muslim).

Oleh karena itu, dapatlah dimengerti bahwa kekayaan dan kemiskinan, kesehatan dan lain sebagainya merupakan ujian dari Allah Subhaanahu wa Ta'ala. Banyak orang yang berhasil melewati ujian ketika ia sakit, miskin, dan sebagainya. Namun, amatlah sedikit orang yang berhasil melewati ujian dalam keadaan sehat, kaya, dan sejahtera, tinggi jabatan dan kedudukan. Kecuali hamba-hamba Allah yang beriman dan bertakwa kepada-Nya.

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia


Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bercerita bahwa dulu di kalangan Bani Israil ada tiga orang: belang (sopak), botak, dan buta. Allah Subhaanahu wa Ta'ala hendak menguji mereka, maka Allah mengutus seorang malaikat untuk datang kepada orang yang belang (sopak), lalu bertanya kepadanya: "Apakah yang anda inginkan?"

"Warna yang bagus dan kulit yang baik," jawab orang itu. "Sebab, kini aku telah dijauhi orang."
Maka diusaplah badan orang itu oleh malaikat itu, sehingga dengan izin Allah hilanglah penyakitnya dan kulitnya berubah menjadi sangat bagus dengan warna yang indah.
Lalu orang itu ditanya lagi, "Harta kekayaan apakah yang engkau inginkan?"
"Onta," jawabnya.
Maka diberinya onta betina yang sedang bunting sambil didoakan semoga Allah Subhaanahu wa Ta'ala memberkahinya.

Setelah itu, malaikat tersebut mendatangi orang yang botak dan bertanya, "Apakah gerangan yang anda inginkan?"
"Rambut yang bagus," jawabnya dengan mantap. "Dan hilangkan botakku ini, sebab orang selalu mengejekku."
Lalu malikat itu mengusap kepalanya dan dengan izin Allah botaknya langsung hilang dan rambutnya tumbuh kembali dengan cukup bagus. Orang itu kemudian ditanya, "Kini harta kekayaan apa yang anda inginkan?"
"Sapi," jawabnya.
Orang itu kemudian diberi sapi betina yang sedang bunting sambil didoakan semoga Allah Subhaanahu wa Ta'ala memberkatinya.

Dan terakhir, malaikat datang pada orang yang buta dan bertanya, "Apakah yang anda inginkan?"
"Aku ingin sekiranya Allah mengembalikan penglihatan mataku, supaya aku dapat melihat segala sesuatu," jawabnya meminta. Maka diusaplah kedua matanya oleh malaikat itu, dan dengan izin Allah seketika itu pula ia dapat melihat kembali.
"Sekarang harta kekayaan apa yang engkau inginkan?"
"Kambing," jawabnya.
Ia kemudian diberi kambing betina yang sedang bunting.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan bulan berganti bulan, serta tahun pun berganti tahun. Seiring itu pula hewan-hewan ternak ketiga orang itu bertambah banyak. Hingga akhirnya masing-masing telah memiliki satu lembah onta, satu lembah sapi, dan satu lembah kambing.

Malaikat itu kemudian kembali datang pada orang yang dulunya belang (sopak). Kedatangannya kali ini sengaja menyamar seperti bentuk rupa orang itu ketika masih belang dulu. Setelah sampai di tempat orang itu, ia berkata, "Saya ini orang miskin yang tengah putus perjalanan dan kehilangan kontak. Maka tiada yang dapat menyampaikan aku pada tujuan, kecuali pertolongan Allah Subhaanahu wa Ta'ala kemudian bantuanmu. Aku mohon padamu, demi Allah yang memberimu warna dan kulit yang bagus serta kekayaan, agar memberiku satu onta untuk menyampaikan aku pada tujuanku bepergian ini."
Mendengar ucapan yang demikian, orang itu kemudian menjawab: "Hak-hak orang lain masih banyak."
"Aku seperti kenal denganmu," sahut malaikat itu, "Tidakkah anda dulu belang, dibenci orang, lagi miskin, setelah itu anda diberi kekayaan oleh Allah?"
"Sungguh aku mewarisi harta kekayaan ini dari orang tuaku," jawabnya membantah.
"Jika anda berdusta, semoga Allah mengembalikan anda pada keadaan yang dulu," kata malaikat.

Setelah itu, malaikat tersebut datang pada orang yang dahulunya botak dengan menyamar menyerupai bentuknya ketika masih botak. Saat tiba di tempat orang itu, malaikat berkata padanya sebagaimana yang dikatakan pada orang pertama tadi. Ternyata jawabannya sama saja dengan orang sopak tadi, sehingga malaikat mendoakan pula, "Jika engkau berdusta, semoga Allah mengembalikan engkau pada keadaanmu dahulu."

Terakhir, malaikat itu datang pada orang yang dulunya buta. Ia berkata, "Seorang miskin yang dalam perjalanan telah putus hubungan. Maka aku takkan dapat sampai pada tujuanku kecuali dengan pertolongan Allah melalui perantaraan bantuanmu. Aku mohon demi Allah, Dia-lah yang telah mengembalikan penglihatanmu dan memberimu kekayaan, oleh karena itu berilah aku seekor kambing untuk bekal yang dapat mengantar aku sampai pada tujuanku."
"Benar," jawab orang itu, "Dahulu aku buta, kemudian Allah mengembalikan penglihatanku, dan miskin, lalu Allah memberiku harta kekayaan. Karena itu, sekarang ambillah sesukamu. Demi Allah, aku takkan keberatan dengan sesuatu yang engkau ambil karena Allah."
Maka malaikat pun berkata: "Tahanlah hartamu. Kamu bertiga sebenarnya sedang diuji oleh Allah. Maka Allah pun ridha padamu dan murka pada dua orang teman itu." (HR Bukhari & Muslim).

Oleh karena itu, dapatlah dimengerti bahwa kekayaan dan kemiskinan, kesehatan dan lain sebagainya merupakan ujian dari Allah Subhaanahu wa Ta'ala. Banyak orang yang berhasil melewati ujian ketika ia sakit, miskin, dan sebagainya. Namun, amatlah sedikit orang yang berhasil melewati ujian dalam keadaan sehat, kaya, dan sejahtera, tinggi jabatan dan kedudukan. Kecuali hamba-hamba Allah yang beriman dan bertakwa kepada-Nya.

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
»»  READMORE...

Sabtu, 02 Juli 2011

siapa yang paling dermawan?



Al-Waqidy bercerita, "Suatu saat saya berada dalam himpitan ekonomi yang begitu keras. Hingga tiba bulan Ramadhan, saya tidak punya uang sedikit pun. Saya bingung, lalu saya menulis surat kepada teman saya yang seorang alawy (keturunan 'Ali bin Abi Thalib).

Saya memintanya meminjamkan saya uang sebesar seribu dirham. Dia pun mengirimkan uang itu kepada saya dalam sebuah kantong yang tertutup. Kantong itu lalu saya taruh di rumah.... Malam harinya saya menerima sepucuk surat dari teman saya yang lain. Dia meminta saya meminjamkan uang seribu dirham kepadanya untuk kebutuhan bulan puasa. Tanpa pikir panjang, saya kirim kantong berisi seribu dirham itu kepadanya dalam keadaan masih tertutup tanpa pernah saya buka.

Besok harinya, saya kedatangan teman yang saya kirimi uang, juga teman alawy yang meminjamkan saya uang. Yang alawy itu menanyakan kepada saya perihal uang seribu dirham itu. Saya jawab, bahwa saya telah mengeluarkannya untuk suatu keperluan. Tiba-tiba ia mengeluarkan kantong itu sambil tertawa dan berkata, "Demi Allah, bulan Ramadhan sudah dekat, saya tidak punya apa-apa lagi kecuali seribu dirham ini. Setelah engkau menulis surat kepada saya, saya kirim uang ini padamu. Sementara itu saya juga mengirim surat kepada teman kita yang satu ini untuk pinjam uang. Lalu ia mengirimkan kantong ini kepada saya. Saya pun kemudian bertanya, bagaimana ceritanya hingga bisa begini? Dia pun menceritakannya kepada saya. Lalu sekarang kami datang ke sini untuk membagi uang ini bertiga. Semoga Allah akan memberikan kelapangan kepada kita semua."

Al-Waqidy berkata, "Saya berkata pada kedua teman itu, 'Saya tidak tahu siapa di antara kita yang lebih dermawan dari yang lainnya." Kemudian kami membagi uang itu untuk bertiga. Bulan Ramadhan pun tiba dan saya telah membelanjakan sebagian besar hasil pembagian itu. Akhirnya perasaan gundah datang lagi. Saya pikir, bagaimana ini?

Tiba-tiba datanglah utusan Yahya bin Khalid al-Barmaki di pagi hari meminta saya untuk menemuinya. Ketika saya menemui Yahya al-Barmaki, dia berkata, "Hai al-Waqidy! Tadi malam aku bermimpi melihatmu, kondisimu saat itu sangat memprihatinkan. Coba jelaskan ada apa denganmu?"

Maka, saya menjelaskan keadaan saya sampai pada kisah tentang teman saya yang alawy, teman yang satu lagi serta uang yang seribu dirham. Lalu dia berkomentar, "Aku tidak tahu siapa di antara kalian yang lebih dermawan." Selanjutnya, dia memerintahkan agar saya diberi uang tiga puluh ribu dirham, dan dua puluh ribu dirham untuk kedua teman saya. Dan dia meminta saya untuk menjadi qadhi."

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia



Al-Waqidy bercerita, "Suatu saat saya berada dalam himpitan ekonomi yang begitu keras. Hingga tiba bulan Ramadhan, saya tidak punya uang sedikit pun. Saya bingung, lalu saya menulis surat kepada teman saya yang seorang alawy (keturunan 'Ali bin Abi Thalib).

Saya memintanya meminjamkan saya uang sebesar seribu dirham. Dia pun mengirimkan uang itu kepada saya dalam sebuah kantong yang tertutup. Kantong itu lalu saya taruh di rumah.... Malam harinya saya menerima sepucuk surat dari teman saya yang lain. Dia meminta saya meminjamkan uang seribu dirham kepadanya untuk kebutuhan bulan puasa. Tanpa pikir panjang, saya kirim kantong berisi seribu dirham itu kepadanya dalam keadaan masih tertutup tanpa pernah saya buka.

Besok harinya, saya kedatangan teman yang saya kirimi uang, juga teman alawy yang meminjamkan saya uang. Yang alawy itu menanyakan kepada saya perihal uang seribu dirham itu. Saya jawab, bahwa saya telah mengeluarkannya untuk suatu keperluan. Tiba-tiba ia mengeluarkan kantong itu sambil tertawa dan berkata, "Demi Allah, bulan Ramadhan sudah dekat, saya tidak punya apa-apa lagi kecuali seribu dirham ini. Setelah engkau menulis surat kepada saya, saya kirim uang ini padamu. Sementara itu saya juga mengirim surat kepada teman kita yang satu ini untuk pinjam uang. Lalu ia mengirimkan kantong ini kepada saya. Saya pun kemudian bertanya, bagaimana ceritanya hingga bisa begini? Dia pun menceritakannya kepada saya. Lalu sekarang kami datang ke sini untuk membagi uang ini bertiga. Semoga Allah akan memberikan kelapangan kepada kita semua."

Al-Waqidy berkata, "Saya berkata pada kedua teman itu, 'Saya tidak tahu siapa di antara kita yang lebih dermawan dari yang lainnya." Kemudian kami membagi uang itu untuk bertiga. Bulan Ramadhan pun tiba dan saya telah membelanjakan sebagian besar hasil pembagian itu. Akhirnya perasaan gundah datang lagi. Saya pikir, bagaimana ini?

Tiba-tiba datanglah utusan Yahya bin Khalid al-Barmaki di pagi hari meminta saya untuk menemuinya. Ketika saya menemui Yahya al-Barmaki, dia berkata, "Hai al-Waqidy! Tadi malam aku bermimpi melihatmu, kondisimu saat itu sangat memprihatinkan. Coba jelaskan ada apa denganmu?"

Maka, saya menjelaskan keadaan saya sampai pada kisah tentang teman saya yang alawy, teman yang satu lagi serta uang yang seribu dirham. Lalu dia berkomentar, "Aku tidak tahu siapa di antara kalian yang lebih dermawan." Selanjutnya, dia memerintahkan agar saya diberi uang tiga puluh ribu dirham, dan dua puluh ribu dirham untuk kedua teman saya. Dan dia meminta saya untuk menjadi qadhi."

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

»»  READMORE...

harimau dan istri cerewet



Pada zaman dahulu ada seorang saleh yang mempunyai saudara yang saleh juga di lain tempat yang berjauhan. Maka, berziarah pada saudaranya tiap tahun sekali, dan pada suatu hari ketika ia berziarah ke rumah saudaranya dan mengetuk pintu rumahnya, ditanya oleh istri saudaranya, "Siapa?"
Jawabnya, "Iparmu/sudara dari suamimu, datang untuk sambaing."

Istri saudaranya itu berkata, "Ia masih pergi mencari kayu, semoga tidak dikembalikan oleh Allah."
Lalu, ia memaki-makinya.
Kemudian tidak lama datanglah saudaranya itu mendapat seikat kayu yang dipikulkan pada harimau, ia berkata pada harimau itu:
"Pergilah, semoga Allah memberkahi kamu."
Kemudian dipersilahkan saudaranya untuk masuk ke rumah, sedang istrinya terus memaki-maki padanya, tetapi tidak dijawab walau sepatah kata pun, sehingga dihidangkan makanan dan makan bersama saudaranya. Setelah itu ia minta izin untuk kembali dan tidak henti-hentinya memikirkan tentang kesabaran saudaranya terhadap istrinya yang sedemikian itu.
Kemudian di lain tahun datang kembali saudaranya itu, dan ketika sampi di rumah dan mengetuk pintu, ditanya oleh istrinya, "Siapa?"
Jawabnya, "Aku saudara suamimu datang untuk sambaing."
Maka disambut oleh istrinya, "Selamat datang," dan dipersilahkan untuk menunggu suaminya yang sedang mencari kayu dan dipuji-puji kebaikan suaminya itu, maka tidak lama kemudian datanglah suaminya memikul kayu di atas punggungnya, kemudian kepada saudaranya yang datang sambaing itu dipersilahkan masuk, dan sesudah makan bersama ia bertanya tentang hal dahulu ketika itu harimau membawa kayuya, dan kini kayu terpaksa dipikulnya sendir.
Jawabnya, "Hai saudaraku, istriku yang cerewet dahulu itu telah meninggal dunia, dan karena saya sabar atas kecerewetannya, Allah mendatangkan harimau untuk membantuku dalam mencari kayu, kemudian ketika aku telah diganti oleh Tuhan dengan istri yang baik budi ini, sudah tidak ada lagi harimau itu. Kini terpaksa aku harus memikulnya sendiri kayuku itu."

Sumber: 1001 Kisah-Kisah Nyata, Achmad Sunarto



Pada zaman dahulu ada seorang saleh yang mempunyai saudara yang saleh juga di lain tempat yang berjauhan. Maka, berziarah pada saudaranya tiap tahun sekali, dan pada suatu hari ketika ia berziarah ke rumah saudaranya dan mengetuk pintu rumahnya, ditanya oleh istri saudaranya, "Siapa?"
Jawabnya, "Iparmu/sudara dari suamimu, datang untuk sambaing."

Istri saudaranya itu berkata, "Ia masih pergi mencari kayu, semoga tidak dikembalikan oleh Allah."
Lalu, ia memaki-makinya.
Kemudian tidak lama datanglah saudaranya itu mendapat seikat kayu yang dipikulkan pada harimau, ia berkata pada harimau itu:
"Pergilah, semoga Allah memberkahi kamu."
Kemudian dipersilahkan saudaranya untuk masuk ke rumah, sedang istrinya terus memaki-maki padanya, tetapi tidak dijawab walau sepatah kata pun, sehingga dihidangkan makanan dan makan bersama saudaranya. Setelah itu ia minta izin untuk kembali dan tidak henti-hentinya memikirkan tentang kesabaran saudaranya terhadap istrinya yang sedemikian itu.
Kemudian di lain tahun datang kembali saudaranya itu, dan ketika sampi di rumah dan mengetuk pintu, ditanya oleh istrinya, "Siapa?"
Jawabnya, "Aku saudara suamimu datang untuk sambaing."
Maka disambut oleh istrinya, "Selamat datang," dan dipersilahkan untuk menunggu suaminya yang sedang mencari kayu dan dipuji-puji kebaikan suaminya itu, maka tidak lama kemudian datanglah suaminya memikul kayu di atas punggungnya, kemudian kepada saudaranya yang datang sambaing itu dipersilahkan masuk, dan sesudah makan bersama ia bertanya tentang hal dahulu ketika itu harimau membawa kayuya, dan kini kayu terpaksa dipikulnya sendir.
Jawabnya, "Hai saudaraku, istriku yang cerewet dahulu itu telah meninggal dunia, dan karena saya sabar atas kecerewetannya, Allah mendatangkan harimau untuk membantuku dalam mencari kayu, kemudian ketika aku telah diganti oleh Tuhan dengan istri yang baik budi ini, sudah tidak ada lagi harimau itu. Kini terpaksa aku harus memikulnya sendiri kayuku itu."

Sumber: 1001 Kisah-Kisah Nyata, Achmad Sunarto

»»  READMORE...

lukman hakim dan keledai

Lukman Hakim memerintahkan anaknya mengambil seekor keledai. Sang anak memenuhinya dan membawanya ke hariban sang ayah. Lukman menaiki keledai itu dan memerintahkan anaknya untuk menuntun keledai.


Keduanya berjalan melewati kerumunan orang banyak. Tiba-tiba orang-orang mengecam seraya berkata, "Anak kecil itu berjalan kaki, sedangkan orang-tuanya nangkring di atas keledai, alangkah kejam dan kasarnya ia." Lukman bertanya kepada anaknya, "Bagaimana tanggapan orang-orang wahai anakku?" Sang anak menyampaikan tanggapan mereka.

Kemudian, Lukman turun menuntun keledai. Sang anak ganti menaiki keledai. Keduanya lalu berjalan melewati keramaian di tempat lain. Tiba-tiba mereka mencemooh sang anak seraya berkata, "Anak muda itu menaiki keledai, sedangkan orang tuanya berjalan kaki, alangkah jelek dan kurang ajar sang anak." Lukman bertanya kepada anaknya, "Bagaimana tanggapan orang-orang wahai anakku?"
Sang anak menyampaikan tanggapan mereka.

Kemudian, Lukman dan anaknya sama-sama menaiki keledai berboncengan. Keduanya melewati keramaian di tempat lain, tiba-tiba orang-orang mencerca keduanya seraya berkata, "Betapa kejam kedua orang itu, mereka menaiki seekor keledai, padahal mereka tidak sakit, dan tidak pula lemah." Lukman bertanya kepada anaknya, "Bagaimana tanggapan orang-orang wahai anakku?"
Sang anak menyampaikan tanggapan mereka.

Akhirnya, Lukman dan anaknya turun dari keledai. Keduanya berjalan kaki sambil menuntunnya melewati keramaian di tempat lain. Tiba-tiba orang-orang mengecam seraca berkata, "Subhanallah... seekor himar yang sehat dan kuat berjalan? sementara kedua orang itu berjalan menuntunnya, alangkah baiknya jika salah satu dari mereka menaikinya." Lukman bertanya kepada anaknya, "Bagaimana tanggapan orang-orang wahai anakku?"
Sang anak menyampaikan tanggapan mereka.

Kemudian, Lukman menasihati anaknya: "Wahai anakku, bukankah aku telah berkata kepadamu, kerjakanlah pekerjaan yang membuat engkau menjadi saleh dan janganlah menghiraukan orang lain. Dengan peristiwa ini saya hanya ingin memberi pelajaran kepadamu."

Sumber: Didaptasi dari, Luqmanul Hakim wa-Hikaamuhu, Ali bin Hasan al-Athas
Lukman Hakim memerintahkan anaknya mengambil seekor keledai. Sang anak memenuhinya dan membawanya ke hariban sang ayah. Lukman menaiki keledai itu dan memerintahkan anaknya untuk menuntun keledai.


Keduanya berjalan melewati kerumunan orang banyak. Tiba-tiba orang-orang mengecam seraya berkata, "Anak kecil itu berjalan kaki, sedangkan orang-tuanya nangkring di atas keledai, alangkah kejam dan kasarnya ia." Lukman bertanya kepada anaknya, "Bagaimana tanggapan orang-orang wahai anakku?" Sang anak menyampaikan tanggapan mereka.

Kemudian, Lukman turun menuntun keledai. Sang anak ganti menaiki keledai. Keduanya lalu berjalan melewati keramaian di tempat lain. Tiba-tiba mereka mencemooh sang anak seraya berkata, "Anak muda itu menaiki keledai, sedangkan orang tuanya berjalan kaki, alangkah jelek dan kurang ajar sang anak." Lukman bertanya kepada anaknya, "Bagaimana tanggapan orang-orang wahai anakku?"
Sang anak menyampaikan tanggapan mereka.

Kemudian, Lukman dan anaknya sama-sama menaiki keledai berboncengan. Keduanya melewati keramaian di tempat lain, tiba-tiba orang-orang mencerca keduanya seraya berkata, "Betapa kejam kedua orang itu, mereka menaiki seekor keledai, padahal mereka tidak sakit, dan tidak pula lemah." Lukman bertanya kepada anaknya, "Bagaimana tanggapan orang-orang wahai anakku?"
Sang anak menyampaikan tanggapan mereka.

Akhirnya, Lukman dan anaknya turun dari keledai. Keduanya berjalan kaki sambil menuntunnya melewati keramaian di tempat lain. Tiba-tiba orang-orang mengecam seraca berkata, "Subhanallah... seekor himar yang sehat dan kuat berjalan? sementara kedua orang itu berjalan menuntunnya, alangkah baiknya jika salah satu dari mereka menaikinya." Lukman bertanya kepada anaknya, "Bagaimana tanggapan orang-orang wahai anakku?"
Sang anak menyampaikan tanggapan mereka.

Kemudian, Lukman menasihati anaknya: "Wahai anakku, bukankah aku telah berkata kepadamu, kerjakanlah pekerjaan yang membuat engkau menjadi saleh dan janganlah menghiraukan orang lain. Dengan peristiwa ini saya hanya ingin memberi pelajaran kepadamu."

Sumber: Didaptasi dari, Luqmanul Hakim wa-Hikaamuhu, Ali bin Hasan al-Athas
»»  READMORE...

asiyah istri fir'aun yang beriman

Suatu ketika Nabi Musa a.s. berhasil mengalahkan para tukang sihir Firaun. Asiyah, yang turut menyaksikan kesuksesan Musa, bertambah tebal imannya. Sebenarnya, telah lama Asiyah beriman kepada Allah SWT, tetapi hal ini tidak diketahui suaminya.

Lama-lama Firaun mengetahui juga akan keimanan Asiyah itu. Firaun murka dan menjatuhkan hukuman kepadanya. Para algojo diperintahkan Firaun untuk segera melakukan penyiksaan kepada Asiyah, yang olehnya dianggap murtad itu.

Tubuh Asiyah ditelantangkan di atas tanah di bawah terik sinar matahari. Kedua tangannya diikat kuat ke tiang-tiang yang dipatok ke tanah agar ia tak dapat bergerak-gerak. Wajahnya yang telanjang di hadapankan langsung ke arah datangnya sinar matahari. Asiyah pastilah tidak akan tahan akan sengatan panas matahari, dan akhirnya ia akan mengubah keimanannya kepadaku, demikian pikir Firaun.

Tetapi, apa yang terjadi? Ternyata Tuhan tidak membiarkan hambanya menderita akibat kekafiran Firaun. Setiap kali para algojo meninggalkan Asiyah dalam hukumannya, segera malaikat menutup sinar matahari itu, sehingga langit menjadi teduh dan Asiyah tak merasakan sengatan matahari yang ganas itu.

Asiyah tetap segar-bugar meskipun sudah dihukum berat. Hal ini membuat Firaun memerintahkan hukuman lain yang lebih berat. Ia memerintahkan agar kepada tubuh Asiyah yang telentang itu dijatuhi batu besar. Tubuhnya pasti remuk, pikir Firaun.

Ketika Asiyah melihat bahwa ada batu besar yang hendak dijatuhkan ke tubuhnya, berdoalah dia kepada Tuhan. "Wahai Allah, Tuhanku! Bangunkah untukku di sisimu sebuah gedung di surga." (At-Taubah: 11).

Segera Allah memperlihatkan sebuah bangunan gedung di surga yang terbuat dari marmer berkilauan. Asiyah sangat gembira, lalu rohnya keluar meninggalkan tubuhnya. Asiyah tidak merasakan kesakitan apa pun, karena ketika batu besar itu menimpa tubuhnya, rohnya sudah tidak ada di sana.

Sumber: Mutiara Hikmah dalam 1001 Kisah, Tim Poliyama Widya Pustaka
Suatu ketika Nabi Musa a.s. berhasil mengalahkan para tukang sihir Firaun. Asiyah, yang turut menyaksikan kesuksesan Musa, bertambah tebal imannya. Sebenarnya, telah lama Asiyah beriman kepada Allah SWT, tetapi hal ini tidak diketahui suaminya.

Lama-lama Firaun mengetahui juga akan keimanan Asiyah itu. Firaun murka dan menjatuhkan hukuman kepadanya. Para algojo diperintahkan Firaun untuk segera melakukan penyiksaan kepada Asiyah, yang olehnya dianggap murtad itu.

Tubuh Asiyah ditelantangkan di atas tanah di bawah terik sinar matahari. Kedua tangannya diikat kuat ke tiang-tiang yang dipatok ke tanah agar ia tak dapat bergerak-gerak. Wajahnya yang telanjang di hadapankan langsung ke arah datangnya sinar matahari. Asiyah pastilah tidak akan tahan akan sengatan panas matahari, dan akhirnya ia akan mengubah keimanannya kepadaku, demikian pikir Firaun.

Tetapi, apa yang terjadi? Ternyata Tuhan tidak membiarkan hambanya menderita akibat kekafiran Firaun. Setiap kali para algojo meninggalkan Asiyah dalam hukumannya, segera malaikat menutup sinar matahari itu, sehingga langit menjadi teduh dan Asiyah tak merasakan sengatan matahari yang ganas itu.

Asiyah tetap segar-bugar meskipun sudah dihukum berat. Hal ini membuat Firaun memerintahkan hukuman lain yang lebih berat. Ia memerintahkan agar kepada tubuh Asiyah yang telentang itu dijatuhi batu besar. Tubuhnya pasti remuk, pikir Firaun.

Ketika Asiyah melihat bahwa ada batu besar yang hendak dijatuhkan ke tubuhnya, berdoalah dia kepada Tuhan. "Wahai Allah, Tuhanku! Bangunkah untukku di sisimu sebuah gedung di surga." (At-Taubah: 11).

Segera Allah memperlihatkan sebuah bangunan gedung di surga yang terbuat dari marmer berkilauan. Asiyah sangat gembira, lalu rohnya keluar meninggalkan tubuhnya. Asiyah tidak merasakan kesakitan apa pun, karena ketika batu besar itu menimpa tubuhnya, rohnya sudah tidak ada di sana.

Sumber: Mutiara Hikmah dalam 1001 Kisah, Tim Poliyama Widya Pustaka
»»  READMORE...

silaturahmi memperpanjang umur

Silaturahmi Memperpanjang Umur

Suatu hari malaikat Izrail, malaikat pencabut nyawa, memberi tahu Nabi Daud a.s., bahwa si Fulan tinggal enam hari lagi akan dicabut nyawanya.

Jam berganti jam, hari berganti hari. Lewatlah deadline yang disampaikan oleh Izrail tentang si Fulan itu, tetapi nyatanya si Fulan itu masih tetap saja hidup terus. Maka, bertanyalah Nabi Daud kepada Izrail perihal kejadian ini.

"Mengapa si Fulan masih saja hidup terus, padahal engkau katakan beberapa hari yang lalu umurnya tinggal enam hari lagi, ya Izrail? Sekarang enam hari sudah berlalu sejak kau mengatakannya padaku, gerangan apakah ini?

Izrail memberi penjelasan kepada Nabi Daud. "Sebetulnya, aku sudah akan mencabut nyawanya tepat di hari yang aku katakan padamu itu. Tetapi, kemudian Allah memerintahkan kepadaku agar menunda dulu hal itu."

"Mengapa demikian, ya Izrail?"

"Sejak hal itu aku katakan kepadamu, si Fulan tampak rajin menyumbang tali persaudaraan dengan sesama saudaranya yang sudah putus. Karena itu, Allah memberi tambahan umur selama 20 tahun kepadanya."

Sumber: Mutiara Hikmah dalam 1001 Kisah, Tim Poliyama Widya Pustaka
Silaturahmi Memperpanjang Umur

Suatu hari malaikat Izrail, malaikat pencabut nyawa, memberi tahu Nabi Daud a.s., bahwa si Fulan tinggal enam hari lagi akan dicabut nyawanya.

Jam berganti jam, hari berganti hari. Lewatlah deadline yang disampaikan oleh Izrail tentang si Fulan itu, tetapi nyatanya si Fulan itu masih tetap saja hidup terus. Maka, bertanyalah Nabi Daud kepada Izrail perihal kejadian ini.

"Mengapa si Fulan masih saja hidup terus, padahal engkau katakan beberapa hari yang lalu umurnya tinggal enam hari lagi, ya Izrail? Sekarang enam hari sudah berlalu sejak kau mengatakannya padaku, gerangan apakah ini?

Izrail memberi penjelasan kepada Nabi Daud. "Sebetulnya, aku sudah akan mencabut nyawanya tepat di hari yang aku katakan padamu itu. Tetapi, kemudian Allah memerintahkan kepadaku agar menunda dulu hal itu."

"Mengapa demikian, ya Izrail?"

"Sejak hal itu aku katakan kepadamu, si Fulan tampak rajin menyumbang tali persaudaraan dengan sesama saudaranya yang sudah putus. Karena itu, Allah memberi tambahan umur selama 20 tahun kepadanya."

Sumber: Mutiara Hikmah dalam 1001 Kisah, Tim Poliyama Widya Pustaka
»»  READMORE...

Tanda - tanda ajal mendekat



Ada seorang hamba yang begitu taat kepada Tuhan. Sebut saja namanya Fulan. Fulan sangat rajin beribadah. Pendeknya, Fulan ini tak pernah lalai sekalu pun kepada Allah SWT.

Suatu hari ada yang bertemu ke rumah Fulan. Betapa kaget Fulan ketika mengetahui siapa gerangan yang datang bertamu. Tamu itu ternyata Izrail, malaikat pencabut nyawa. Terjadilah tanya jawab antara Fulan dengan tamunya itu.

"Wahai sahabatku, Izrail! Apakah perihal kedatanganmu ke mari adalah atas perintah Tuhan untuk mencbut nyawaku, ataukah hanya kunjungan biasa?"
"Ya, Fulan sahabatku! Kedatanganku kali ini tidak dalam rangka mencabut nyawamu. Kedatanganku ini hanya kunjungan biasa. Kunjungan seorang sahabat kepada sahabatnya."

Mendengar penjelasan Izrail,
maka seketika bersinarlah wajah Fulan karena gembiranya.
Mereka lalu berckap-cakap sampai tiba saatnya Izrail akan pamit.
"Wahai sahabatku, Izrail!

Sebagai tanda persahabatan kita, aku ada harapan kepadamu kiranya engkau tidak berkeberatan untuk mengabulkannya."
"Gerangan apakah permohonanmu itu, hai Fulan sahabatku?"
"Begini, ya Izrail. Jika nanti kau datang lagi kepadaku dengan maksud untuk mencabut nyawaku, maka mohon kiranya engkau mau mengirimkan seorang utusan kepadaku terlebih dahulu. Jika demikian, maka aku ada waktu untuk bersiap-siap menyambut kedatanganmu."
"Oh, begitu? Hai, Fulan, kalau hanya itu permohonanmu, aku kabulkan. Aku berjanji akan mengirimkan utusan itu kepadamu."

Gembiralah Fulan menerima janji Izrail. Rupanya Izrail ini berbaik hati mau mengabulkan harapanku, demikian pikir Fulan.

Demikian kisahnya, waktu pun berjalan. Tahun berganti tahun. Tak terasa bahwa pertemuan antara Fulan dengan Izrail telah sekian lama berlalu. Kehidupan berlangsung tersus sampai suatu ketika Fulan kaget sekali. Tak disangka-sangka sebelumnya Izrail muncul di rumahnya. Fulan merasa bahwa kedatangan Izrail ini begitu mendadak, padahal ada komitmen janji Izrail kepadanya.

"Wahai, Izrail sahabatku!
Mengapa engkau tak mengirimkan utusanmu kepadaku?
Mengapa engkau ingkar janji?"
Dengan tersenyum, Izrail menjawab,

"Wahai Fulan, sahabatku!
Sesungguhnya aku sudah mengirimkan utusanku itu kepadamu,
hanya kamu sendiri yang mungkin tidak menyadarinya.
Coba perhatikan punggungmu,
dulu ia tegak tetapi sekarang bungkuk.
Perhatikan caramu berjalan, dulu kamu begitu tegap perkasa,
sekarang gemetaran dengan ditopang tongkat.
Perhatikan penglihatanmu,
dulu ia bersinar sehingga orang luluh kena sorotnya tetapi sekarang kabur dan lemah.
Ya, Fulan, bukankah pikiran-pikiranmu sekarang mudah putus asa padahal ia dulu begitu enerjik dan penuh berbagai harapan?
Tempo hari kamu hanya menginginkan seorang utusan saja dariku, tetapi aku telah mengirimkan begitu banyak utusanku kepadamu!"

Sumber: Mutiara Hikmah dalam 1001 Kisah, Poliyama Widya Pustaka




Ada seorang hamba yang begitu taat kepada Tuhan. Sebut saja namanya Fulan. Fulan sangat rajin beribadah. Pendeknya, Fulan ini tak pernah lalai sekalu pun kepada Allah SWT.

Suatu hari ada yang bertemu ke rumah Fulan. Betapa kaget Fulan ketika mengetahui siapa gerangan yang datang bertamu. Tamu itu ternyata Izrail, malaikat pencabut nyawa. Terjadilah tanya jawab antara Fulan dengan tamunya itu.

"Wahai sahabatku, Izrail! Apakah perihal kedatanganmu ke mari adalah atas perintah Tuhan untuk mencbut nyawaku, ataukah hanya kunjungan biasa?"
"Ya, Fulan sahabatku! Kedatanganku kali ini tidak dalam rangka mencabut nyawamu. Kedatanganku ini hanya kunjungan biasa. Kunjungan seorang sahabat kepada sahabatnya."

Mendengar penjelasan Izrail,
maka seketika bersinarlah wajah Fulan karena gembiranya.
Mereka lalu berckap-cakap sampai tiba saatnya Izrail akan pamit.
"Wahai sahabatku, Izrail!

Sebagai tanda persahabatan kita, aku ada harapan kepadamu kiranya engkau tidak berkeberatan untuk mengabulkannya."
"Gerangan apakah permohonanmu itu, hai Fulan sahabatku?"
"Begini, ya Izrail. Jika nanti kau datang lagi kepadaku dengan maksud untuk mencabut nyawaku, maka mohon kiranya engkau mau mengirimkan seorang utusan kepadaku terlebih dahulu. Jika demikian, maka aku ada waktu untuk bersiap-siap menyambut kedatanganmu."
"Oh, begitu? Hai, Fulan, kalau hanya itu permohonanmu, aku kabulkan. Aku berjanji akan mengirimkan utusan itu kepadamu."

Gembiralah Fulan menerima janji Izrail. Rupanya Izrail ini berbaik hati mau mengabulkan harapanku, demikian pikir Fulan.

Demikian kisahnya, waktu pun berjalan. Tahun berganti tahun. Tak terasa bahwa pertemuan antara Fulan dengan Izrail telah sekian lama berlalu. Kehidupan berlangsung tersus sampai suatu ketika Fulan kaget sekali. Tak disangka-sangka sebelumnya Izrail muncul di rumahnya. Fulan merasa bahwa kedatangan Izrail ini begitu mendadak, padahal ada komitmen janji Izrail kepadanya.

"Wahai, Izrail sahabatku!
Mengapa engkau tak mengirimkan utusanmu kepadaku?
Mengapa engkau ingkar janji?"
Dengan tersenyum, Izrail menjawab,

"Wahai Fulan, sahabatku!
Sesungguhnya aku sudah mengirimkan utusanku itu kepadamu,
hanya kamu sendiri yang mungkin tidak menyadarinya.
Coba perhatikan punggungmu,
dulu ia tegak tetapi sekarang bungkuk.
Perhatikan caramu berjalan, dulu kamu begitu tegap perkasa,
sekarang gemetaran dengan ditopang tongkat.
Perhatikan penglihatanmu,
dulu ia bersinar sehingga orang luluh kena sorotnya tetapi sekarang kabur dan lemah.
Ya, Fulan, bukankah pikiran-pikiranmu sekarang mudah putus asa padahal ia dulu begitu enerjik dan penuh berbagai harapan?
Tempo hari kamu hanya menginginkan seorang utusan saja dariku, tetapi aku telah mengirimkan begitu banyak utusanku kepadamu!"

Sumber: Mutiara Hikmah dalam 1001 Kisah, Poliyama Widya Pustaka


»»  READMORE...