Sabtu, 25 Agustus 2012

ank iblis

Anak Iblis Menjelang Maghrib, seorang kakek berjalan terbungkuk-bungkuk dengan tongkatnya menuju masjid. Beberapa kali ia hampir terjatuh kalau tidak disangga oleh tongkatnya. Menjelang sampai di gerbang masjid, kakek itu tersandung batu sehingga terhuyung-huyung ke depan. 'Untunglah' seorang pemuda dengan gesit memegang bahu sang kakek sehingga ia tidak sampai terjatuh. Dengan santunnya pemuda itu kemudian menuntun sang kakek sampai ke masjid. Selesai shalat, sang kakek baru menyadari bahwa pemuda yang menuntunnya tidak turut shalat berjamaah. Dilihatnya sang pemuda sedang nongkrong di gerbang masjid tanpa mengerjakan apa pun.'Hei pemuda. Kamu sudah menolongku mendatangi shalat, tetapi mengapa kamu sendiri tidak shalat?' tanya sang kakek sambil menghampiri pemuda itu. 'Saya tidak mungkin shalat, Kek. Saya ini anak iblis...' Sang kakek terperanjat, tetapi ia masih mencoba bertanya, 'Kalau kamu anak iblis, kenapa kamu berusaha menolongku ketika aku hampir terjatuh?' 'Ayahku sudah lama memperhatikanmu. Ia sangat marah karena setiap kali kamu terhuyung-huyung dilihatnya dosa-dosamu berguguran. Ketika kamu hampir jatuh, ayahku takut dosamu akan habis sama sekali, sehingga disuruhnya aku membantumu berjalan menuju masjid.' [Kisah fiktif ini diilustrasikan oleh mas Kholili dalam sebuah kuliah Subuh di MBM] Beberapa hikmah: 1. Kita sering merasa 'kejatuhan' sebagai musibah, padahal bisa jadi ia adalah 'penghapus dosa', sebagaimana disebutkan dalam al hadits. 2. Kita sering merasa 'keberuntungan' sebagai anugerah, padahal bisa jadi ia hanya untuk menyegerakan rahmat, sehingga di akhirat nanti kita tinggal mendapat siksa [na'udzubillaah] 3. Kita sering tidak tahu apa yang baik bagi kita dan apa yang buruk bagi kita, sehingga menyerah pada seluruh hukum Allah swt adalah hal yang paling baik kita lakukan. 4. Sampai saat ini iblis tidak merasa perlu menolong kita [mungkin] karena dosa kita sudah terlalu banyak, sehingga dirontokkan berapa pun masih banyak sisanya .... Wallaahu a'lam bish shawab.... NB: Embun Taushiyah
Anak Iblis Menjelang Maghrib, seorang kakek berjalan terbungkuk-bungkuk dengan tongkatnya menuju masjid. Beberapa kali ia hampir terjatuh kalau tidak disangga oleh tongkatnya. Menjelang sampai di gerbang masjid, kakek itu tersandung batu sehingga terhuyung-huyung ke depan. 'Untunglah' seorang pemuda dengan gesit memegang bahu sang kakek sehingga ia tidak sampai terjatuh. Dengan santunnya pemuda itu kemudian menuntun sang kakek sampai ke masjid. Selesai shalat, sang kakek baru menyadari bahwa pemuda yang menuntunnya tidak turut shalat berjamaah. Dilihatnya sang pemuda sedang nongkrong di gerbang masjid tanpa mengerjakan apa pun.'Hei pemuda. Kamu sudah menolongku mendatangi shalat, tetapi mengapa kamu sendiri tidak shalat?' tanya sang kakek sambil menghampiri pemuda itu. 'Saya tidak mungkin shalat, Kek. Saya ini anak iblis...' Sang kakek terperanjat, tetapi ia masih mencoba bertanya, 'Kalau kamu anak iblis, kenapa kamu berusaha menolongku ketika aku hampir terjatuh?' 'Ayahku sudah lama memperhatikanmu. Ia sangat marah karena setiap kali kamu terhuyung-huyung dilihatnya dosa-dosamu berguguran. Ketika kamu hampir jatuh, ayahku takut dosamu akan habis sama sekali, sehingga disuruhnya aku membantumu berjalan menuju masjid.' [Kisah fiktif ini diilustrasikan oleh mas Kholili dalam sebuah kuliah Subuh di MBM] Beberapa hikmah: 1. Kita sering merasa 'kejatuhan' sebagai musibah, padahal bisa jadi ia adalah 'penghapus dosa', sebagaimana disebutkan dalam al hadits. 2. Kita sering merasa 'keberuntungan' sebagai anugerah, padahal bisa jadi ia hanya untuk menyegerakan rahmat, sehingga di akhirat nanti kita tinggal mendapat siksa [na'udzubillaah] 3. Kita sering tidak tahu apa yang baik bagi kita dan apa yang buruk bagi kita, sehingga menyerah pada seluruh hukum Allah swt adalah hal yang paling baik kita lakukan. 4. Sampai saat ini iblis tidak merasa perlu menolong kita [mungkin] karena dosa kita sudah terlalu banyak, sehingga dirontokkan berapa pun masih banyak sisanya .... Wallaahu a'lam bish shawab.... NB: Embun Taushiyah
»»  READMORE...

Selasa, 07 Agustus 2012

sabar ...y akhwat

Berharap mempunyai keluarga islami yang indah dan mempesona itu seperti fatamorgana. Malam termimpi dan siang terbayang tapi kenyataan masih saja tidak mengubah status yang masih sendiri alias LAJANG. Terpojok dengan keadaan dimana para sahabat dan sanak family yang sebaya bahkan masih jauh lebih muda sudah merasakan indahnya penyempurnaan separuh agama (menikah). Ukhti engkau bukan satu- satunya yang mengalami hal ini, diluar sana banyak muslimah yang solehah ratusan, ribuan bahkan tidak terhitung juga berada dalam ruang penantian, di antrian panjang menunggu dipinang. Ada yang berikhtiar berkali – kali (Menulis biodata )untuk dijadikan proposal dan berkali kali ta’aruf dan berkali kali juga menelan kecewa pahitnya kegagalan bahkan di usia yang tidak muda lagi 34 tahun dia masih berusaha dan berhusnuzhon kepada Allah. Adapula yang sudah merancang pernikahan bertahun tahun, setelah hari H datang justru pernikahan itu batal. Bukan soal layak atau tidaknya menikah, sebab mereka sangat layak. Berwawasan, berkepribadian punya komitmen dan tidak menuntut banyak dan terutama soleha. Dalam banyak hal mereka sungguh-sungguh telah siap lahir batin. Juga bukan soal laku atau tidak, sebab mereka BUKAN barang dagangan. Meski sama pada tingkat penampakan yang sama, sama-sama tidak memiliki pasangan, ada perbedaan mendasar antara orang-orang yang menolak menikah dengan orang yang belum menikah. Atas nama apapun. Yang satu telah menentang fitrah dan sunnah Rasul-NYA. Sedangkan yang lain, memang sedang 'diuji' imannya. Teringat pengalaman seorang ukhti yang selalu di lamar banyak laki-laki membuat ukthi tersebut sangat tidak nyaman karna harus menolak pinangan setiap laki-laki yang datang. Ada beban yang tidak semua orang tau . Meskipun banyak yang menanggapi betapa beruntungnya dia disukai banyak laki-laki dan tidak sedikit juga yang berkomentar betapa angkuhnya dia menolak lamaran laki-laki bahkan tak jarang sumpah serapah dari orang2 yang kontra menjadi pil pahit dari setiap keputusan penolakannya. bukan ia menolak untuk menikah, akan tetapi Kesendirian mereka justru karena keinginan menikah dalam arti yang sesungguhnya. Bukan sekedar kawin dengan lawan jenis. Menikah untuk membangun pondasi ibadah yang lebih kokoh dan mendapat ridho Allah. Dan itu hanya mungkin terjadi bila suami-suami mereka adalah hamba-hamba yang 'sampai' pemahaman maupun amalnya pada tingkatan 'imam'. Sebab menikah menjadi pertaruhan dan mereka tidak ingin menghancurkan benteng pertahanan mereka sendiri. Menikah haruslah menjadikan segala perkara yang mengandung ibadah lebih baik, kualitas dan kuantitasnya. Bukan malah menjadi awal kehancuran akidah dan ibadah mereka. Dan ketika lelaki seperti ini menjadi mahluk langka atau ada dalam jumlah terbatas, bersusah payah mereka mempertahankan huznuzhan mereka kepada Allah di tengah pandangan sinis dan melecehkan. Mereka bukannya jual mahal atau mempersulit diri, namun tidak mungkin rasanya menukar nikmat iman kepada laki-laki tanpa kriteria, tanpa konsep hidup yang jelas. Bagaimanapun mereka tidak ingin menghargai murah keyakinan mereka. Ini adalah pertempuran melawan hawa nafsu dan keinginan 'dimiliki'. Pertempuran melawan nurani yang sering menjerit atau naluri menjadi ibu yang memang milik mereka. Mereka berjuang sendirian sebab orang lain tidak akan pernah merasakan kepedihan mereka. Mereka tabah dan tidak ingin semua pengorbanan ini menjadi abu, Alangkah beratnya!!! Dalam kesendirian, mereka adalah pahlawan. Dalam renungan dan tangisan, mereka adalah manusia perkasa. Banyak diantara mereka berjuang dengan kesendiriannya berpuasa untuk menahan syahwat, menjaga pandangan saat kontak mata adalah sebuah kebiasaan yang berat dihilangkan, membatasi pergaulan dengan lawan jenis padahal dia butuh perlindungan dan butuh sosialisasi tapi itu semua ia tampikkan demi menjadi calon istri yang soleha meski Allah belum tunjukkan tanda2 keberadaan jodohnya, dan itu semua tidak mudah di jaman yang era modern ini. Ukhti bila telah datang waktunya.Pasti Allah akan pertemukan engkau dengannya Jangan pernah khawatir tidak mendapatkan jodoh Bukankah Allah telah berjanji dalam kalamnya bahwa kalian diciptakan berpasang2an ٤٥. وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنثَى dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita.(An najm;45 ) Biarkan kesempatan menjadi mujahid(ah) menghampiri Memendam impian yang hanya Allah yang tau Apakah kiranya dia yang selalu muncul Dalam doa di malam-malam istikharah Allah jodohkan? pasrahrah dalam setiap doa Jikalau Allah takdirkan berjodoh Pasti ada pertemuan dalam Mahligai Jika tidak berjodoh Bersyukurlah pernah memendamnya ^_^ [note ini terinspirasi dari article Ar Risalah ^_^ ] Elram.dzikro.blogspot.com
Berharap mempunyai keluarga islami yang indah dan mempesona itu seperti fatamorgana. Malam termimpi dan siang terbayang tapi kenyataan masih saja tidak mengubah status yang masih sendiri alias LAJANG. Terpojok dengan keadaan dimana para sahabat dan sanak family yang sebaya bahkan masih jauh lebih muda sudah merasakan indahnya penyempurnaan separuh agama (menikah). Ukhti engkau bukan satu- satunya yang mengalami hal ini, diluar sana banyak muslimah yang solehah ratusan, ribuan bahkan tidak terhitung juga berada dalam ruang penantian, di antrian panjang menunggu dipinang. Ada yang berikhtiar berkali – kali (Menulis biodata )untuk dijadikan proposal dan berkali kali ta’aruf dan berkali kali juga menelan kecewa pahitnya kegagalan bahkan di usia yang tidak muda lagi 34 tahun dia masih berusaha dan berhusnuzhon kepada Allah. Adapula yang sudah merancang pernikahan bertahun tahun, setelah hari H datang justru pernikahan itu batal. Bukan soal layak atau tidaknya menikah, sebab mereka sangat layak. Berwawasan, berkepribadian punya komitmen dan tidak menuntut banyak dan terutama soleha. Dalam banyak hal mereka sungguh-sungguh telah siap lahir batin. Juga bukan soal laku atau tidak, sebab mereka BUKAN barang dagangan. Meski sama pada tingkat penampakan yang sama, sama-sama tidak memiliki pasangan, ada perbedaan mendasar antara orang-orang yang menolak menikah dengan orang yang belum menikah. Atas nama apapun. Yang satu telah menentang fitrah dan sunnah Rasul-NYA. Sedangkan yang lain, memang sedang 'diuji' imannya. Teringat pengalaman seorang ukhti yang selalu di lamar banyak laki-laki membuat ukthi tersebut sangat tidak nyaman karna harus menolak pinangan setiap laki-laki yang datang. Ada beban yang tidak semua orang tau . Meskipun banyak yang menanggapi betapa beruntungnya dia disukai banyak laki-laki dan tidak sedikit juga yang berkomentar betapa angkuhnya dia menolak lamaran laki-laki bahkan tak jarang sumpah serapah dari orang2 yang kontra menjadi pil pahit dari setiap keputusan penolakannya. bukan ia menolak untuk menikah, akan tetapi Kesendirian mereka justru karena keinginan menikah dalam arti yang sesungguhnya. Bukan sekedar kawin dengan lawan jenis. Menikah untuk membangun pondasi ibadah yang lebih kokoh dan mendapat ridho Allah. Dan itu hanya mungkin terjadi bila suami-suami mereka adalah hamba-hamba yang 'sampai' pemahaman maupun amalnya pada tingkatan 'imam'. Sebab menikah menjadi pertaruhan dan mereka tidak ingin menghancurkan benteng pertahanan mereka sendiri. Menikah haruslah menjadikan segala perkara yang mengandung ibadah lebih baik, kualitas dan kuantitasnya. Bukan malah menjadi awal kehancuran akidah dan ibadah mereka. Dan ketika lelaki seperti ini menjadi mahluk langka atau ada dalam jumlah terbatas, bersusah payah mereka mempertahankan huznuzhan mereka kepada Allah di tengah pandangan sinis dan melecehkan. Mereka bukannya jual mahal atau mempersulit diri, namun tidak mungkin rasanya menukar nikmat iman kepada laki-laki tanpa kriteria, tanpa konsep hidup yang jelas. Bagaimanapun mereka tidak ingin menghargai murah keyakinan mereka. Ini adalah pertempuran melawan hawa nafsu dan keinginan 'dimiliki'. Pertempuran melawan nurani yang sering menjerit atau naluri menjadi ibu yang memang milik mereka. Mereka berjuang sendirian sebab orang lain tidak akan pernah merasakan kepedihan mereka. Mereka tabah dan tidak ingin semua pengorbanan ini menjadi abu, Alangkah beratnya!!! Dalam kesendirian, mereka adalah pahlawan. Dalam renungan dan tangisan, mereka adalah manusia perkasa. Banyak diantara mereka berjuang dengan kesendiriannya berpuasa untuk menahan syahwat, menjaga pandangan saat kontak mata adalah sebuah kebiasaan yang berat dihilangkan, membatasi pergaulan dengan lawan jenis padahal dia butuh perlindungan dan butuh sosialisasi tapi itu semua ia tampikkan demi menjadi calon istri yang soleha meski Allah belum tunjukkan tanda2 keberadaan jodohnya, dan itu semua tidak mudah di jaman yang era modern ini. Ukhti bila telah datang waktunya.Pasti Allah akan pertemukan engkau dengannya Jangan pernah khawatir tidak mendapatkan jodoh Bukankah Allah telah berjanji dalam kalamnya bahwa kalian diciptakan berpasang2an ٤٥. وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنثَى dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita.(An najm;45 ) Biarkan kesempatan menjadi mujahid(ah) menghampiri Memendam impian yang hanya Allah yang tau Apakah kiranya dia yang selalu muncul Dalam doa di malam-malam istikharah Allah jodohkan? pasrahrah dalam setiap doa Jikalau Allah takdirkan berjodoh Pasti ada pertemuan dalam Mahligai Jika tidak berjodoh Bersyukurlah pernah memendamnya ^_^ [note ini terinspirasi dari article Ar Risalah ^_^ ] Elram.dzikro.blogspot.com
»»  READMORE...

Minggu, 03 Juli 2011

senjata makan tuan

Di Sajastan, wilayah Asia tengah, antara Iran dan Afganistan, hidup seorang ulama ahli bahasa yang amat terkenal. Suatu hari ia menasehati putranya: "Kalau kamu hendak membicarakan sesuatu, pakai dahulu otakmu. Pikirkan dengan matang; setelah itu, baru katakan dengan kalimat yang baik dan benar."


Pada suatu hari di musim hujan, keduanya sedang duduk-duduk santai di dekat api unggun di rumahnya. Tiba-tiba sepercik api mengenai jubah tenunan dari sutera yang dikenakan sang ayah. Peristiwa itu dilihat putranya, namun ia diam saja. Setelah berpikir beberapa saat barulah ia membuka mulut, "Ayah, aku ingin mengatakan sesuatu, bolehkah?," tanyanya. "Kalau menyangkut kebenaran katakan saja," jawab sang ayah.

"Ini memang menyangkut kebenaran," jawabnya. "Silakan," kata sang ayah. Ia berkata, "Aku melihat benda panas berwarna merah." "Benda apa itu?," tanya sang ayah. "Sepercik api mengenai jubah ayah," jawabnya.

Seketika itu sang ayah melihat jubah yang sebagian sudah hangus terbakar. "Kenapa tidak segera kamu beritahukan kepadaku?," kata sang ayah. "Aku harus berikir dahulu sebelum mengatakannya, seperti apa yang anda nasihatkan kepadaku tempo hari," jawab putranya dengan lugu.

Sejak itu ia berjanji akan lebih berhati-hati dalam memberikan nasihat pada putranya. Ia tidak ingin peristiwa pahit seperti itu terulang lagi.


Sumber: Nafhu Al-Thayib, Al-Muqri Al-Til

Di Sajastan, wilayah Asia tengah, antara Iran dan Afganistan, hidup seorang ulama ahli bahasa yang amat terkenal. Suatu hari ia menasehati putranya: "Kalau kamu hendak membicarakan sesuatu, pakai dahulu otakmu. Pikirkan dengan matang; setelah itu, baru katakan dengan kalimat yang baik dan benar."


Pada suatu hari di musim hujan, keduanya sedang duduk-duduk santai di dekat api unggun di rumahnya. Tiba-tiba sepercik api mengenai jubah tenunan dari sutera yang dikenakan sang ayah. Peristiwa itu dilihat putranya, namun ia diam saja. Setelah berpikir beberapa saat barulah ia membuka mulut, "Ayah, aku ingin mengatakan sesuatu, bolehkah?," tanyanya. "Kalau menyangkut kebenaran katakan saja," jawab sang ayah.

"Ini memang menyangkut kebenaran," jawabnya. "Silakan," kata sang ayah. Ia berkata, "Aku melihat benda panas berwarna merah." "Benda apa itu?," tanya sang ayah. "Sepercik api mengenai jubah ayah," jawabnya.

Seketika itu sang ayah melihat jubah yang sebagian sudah hangus terbakar. "Kenapa tidak segera kamu beritahukan kepadaku?," kata sang ayah. "Aku harus berikir dahulu sebelum mengatakannya, seperti apa yang anda nasihatkan kepadaku tempo hari," jawab putranya dengan lugu.

Sejak itu ia berjanji akan lebih berhati-hati dalam memberikan nasihat pada putranya. Ia tidak ingin peristiwa pahit seperti itu terulang lagi.


Sumber: Nafhu Al-Thayib, Al-Muqri Al-Til

»»  READMORE...

senjata makan tuan

Di Sajastan, wilayah Asia tengah, antara Iran dan Afganistan, hidup seorang ulama ahli bahasa yang amat terkenal. Suatu hari ia menasehati putranya: "Kalau kamu hendak membicarakan sesuatu, pakai dahulu otakmu. Pikirkan dengan matang; setelah itu, baru katakan dengan kalimat yang baik dan benar."


Pada suatu hari di musim hujan, keduanya sedang duduk-duduk santai di dekat api unggun di rumahnya. Tiba-tiba sepercik api mengenai jubah tenunan dari sutera yang dikenakan sang ayah. Peristiwa itu dilihat putranya, namun ia diam saja. Setelah berpikir beberapa saat barulah ia membuka mulut, "Ayah, aku ingin mengatakan sesuatu, bolehkah?," tanyanya. "Kalau menyangkut kebenaran katakan saja," jawab sang ayah.

"Ini memang menyangkut kebenaran," jawabnya. "Silakan," kata sang ayah. Ia berkata, "Aku melihat benda panas berwarna merah." "Benda apa itu?," tanya sang ayah. "Sepercik api mengenai jubah ayah," jawabnya.

Seketika itu sang ayah melihat jubah yang sebagian sudah hangus terbakar. "Kenapa tidak segera kamu beritahukan kepadaku?," kata sang ayah. "Aku harus berikir dahulu sebelum mengatakannya, seperti apa yang anda nasihatkan kepadaku tempo hari," jawab putranya dengan lugu.

Sejak itu ia berjanji akan lebih berhati-hati dalam memberikan nasihat pada putranya. Ia tidak ingin peristiwa pahit seperti itu terulang lagi.


Sumber: Nafhu Al-Thayib, Al-Muqri Al-Til

Di Sajastan, wilayah Asia tengah, antara Iran dan Afganistan, hidup seorang ulama ahli bahasa yang amat terkenal. Suatu hari ia menasehati putranya: "Kalau kamu hendak membicarakan sesuatu, pakai dahulu otakmu. Pikirkan dengan matang; setelah itu, baru katakan dengan kalimat yang baik dan benar."


Pada suatu hari di musim hujan, keduanya sedang duduk-duduk santai di dekat api unggun di rumahnya. Tiba-tiba sepercik api mengenai jubah tenunan dari sutera yang dikenakan sang ayah. Peristiwa itu dilihat putranya, namun ia diam saja. Setelah berpikir beberapa saat barulah ia membuka mulut, "Ayah, aku ingin mengatakan sesuatu, bolehkah?," tanyanya. "Kalau menyangkut kebenaran katakan saja," jawab sang ayah.

"Ini memang menyangkut kebenaran," jawabnya. "Silakan," kata sang ayah. Ia berkata, "Aku melihat benda panas berwarna merah." "Benda apa itu?," tanya sang ayah. "Sepercik api mengenai jubah ayah," jawabnya.

Seketika itu sang ayah melihat jubah yang sebagian sudah hangus terbakar. "Kenapa tidak segera kamu beritahukan kepadaku?," kata sang ayah. "Aku harus berikir dahulu sebelum mengatakannya, seperti apa yang anda nasihatkan kepadaku tempo hari," jawab putranya dengan lugu.

Sejak itu ia berjanji akan lebih berhati-hati dalam memberikan nasihat pada putranya. Ia tidak ingin peristiwa pahit seperti itu terulang lagi.


Sumber: Nafhu Al-Thayib, Al-Muqri Al-Til

»»  READMORE...

istri ke dua

Abdullah bin Syekh Hasan al Jibrati menikah dengan Fatimah binti Ramadhan Jalabi. Fatimah ini figur isteri yang baik dan berbakti. Di antara kebaikannya, ia biasa membelikan suaminya pakaian yang bagus-bagus dengan uangnya sendiri, demikian pula untuk membelikan pakaian serta perhiasannya sendiri.

Ia tidak pernah meminta uang kepada suami, atau menggunakan uang belanja keluarga. Begitu baiknya, sampai-sampai ia diam saja dan tidak merasa cemburu melihat suaminya suka membeli budak perempuan. Kesetiaannya tidak menjadi luntur; sama sekali tidak terpengaruh. Atas semua itu ia berharap beroleh balasan pahala yang berlipat ganda dari Allah.

Pada tahun 1156 Hijriyah, Abdullah pergi haji. Di Mekah ia berkenalan dengan orang bemama Umar al Halbi. Ia dipesan untuk membeli seorang budak perempuan berkulit putih, masih perawan, dan bertubuh langsing. Pulang dari ibadah haji, ia mencari budak perempuan dengan ciri-ciri tersebut, dan cukup lama ia baru mendapatkannya.
Abdullah memperkenalkan budak perempuan yang baru dibelinya itu kepada isterinya. Tetapi sang istri sama sekali tidak tersinggung. Ia bahkan menganggapnya sebagai puterinya sendiri. Lama-kelamaan keduanya saling mencintai, dan tidak mau berpisah selamanya.

"Jadi bagaimana ini?" tanya Abdullah kepada isterinya.
"Begini saja,"jawab sang isteri, "Aku ganti uangnya, lalu kamu belikan budak yang lain."
"Baiklah," kata Abdullah setuju.

Oleh Fatimah, budak perempuan yang baru dibelinya itu dimerdekakan, dan dinikahkan dengan suaminya. Bahkan, ia menyediakan kamar tersendiri untuk madunya tersebut.

Pada tahun 1165 Abdullah memboyong isteri keduanya ini ke rumah sendiri. Tetapi, istri pertama tetap merasa berat untuk berpisah barang sesaat pun, meski ia telah memiliki beberapa orang anak.

Pada tahun 1182 isteri kedua jatuh sakit, lalu disusul oleh isteri pertama. Kian lama sakit keduanya kian parah. Tengah hari, isteri kedua memaksakan diri bangun dari pembaringan. Ia menangis melihat isteri pertama dalam keadaan pingsan. Ia berdoa, "Tuhan, jika Engkau takdirkan ia meninggal, jangan ia mendahuluiku."

Benar... Malamnya, isteri kedua itu meninggal dunia. Ia disemayamkan di samping isteri pertama. Saat menjelang subuh, ia siuman. Sambil meraba-raba ia membangunkan madunya. Namun, ia menjadi lunglai ketika diberitahu bahwa madunya sudah meninggal. Ia menangis melolong-lolong hingga tengah hari. Setelah ikut menyaksikan madunya dimandikan, ia pun kembali ke pembaringannya. Petang hari ia meninggal dunia, dan jenazahnya dimakamkan pada hari berikutnya.

Sumber: 'Aja'ib al Atsar, al Jibrati
Abdullah bin Syekh Hasan al Jibrati menikah dengan Fatimah binti Ramadhan Jalabi. Fatimah ini figur isteri yang baik dan berbakti. Di antara kebaikannya, ia biasa membelikan suaminya pakaian yang bagus-bagus dengan uangnya sendiri, demikian pula untuk membelikan pakaian serta perhiasannya sendiri.

Ia tidak pernah meminta uang kepada suami, atau menggunakan uang belanja keluarga. Begitu baiknya, sampai-sampai ia diam saja dan tidak merasa cemburu melihat suaminya suka membeli budak perempuan. Kesetiaannya tidak menjadi luntur; sama sekali tidak terpengaruh. Atas semua itu ia berharap beroleh balasan pahala yang berlipat ganda dari Allah.

Pada tahun 1156 Hijriyah, Abdullah pergi haji. Di Mekah ia berkenalan dengan orang bemama Umar al Halbi. Ia dipesan untuk membeli seorang budak perempuan berkulit putih, masih perawan, dan bertubuh langsing. Pulang dari ibadah haji, ia mencari budak perempuan dengan ciri-ciri tersebut, dan cukup lama ia baru mendapatkannya.
Abdullah memperkenalkan budak perempuan yang baru dibelinya itu kepada isterinya. Tetapi sang istri sama sekali tidak tersinggung. Ia bahkan menganggapnya sebagai puterinya sendiri. Lama-kelamaan keduanya saling mencintai, dan tidak mau berpisah selamanya.

"Jadi bagaimana ini?" tanya Abdullah kepada isterinya.
"Begini saja,"jawab sang isteri, "Aku ganti uangnya, lalu kamu belikan budak yang lain."
"Baiklah," kata Abdullah setuju.

Oleh Fatimah, budak perempuan yang baru dibelinya itu dimerdekakan, dan dinikahkan dengan suaminya. Bahkan, ia menyediakan kamar tersendiri untuk madunya tersebut.

Pada tahun 1165 Abdullah memboyong isteri keduanya ini ke rumah sendiri. Tetapi, istri pertama tetap merasa berat untuk berpisah barang sesaat pun, meski ia telah memiliki beberapa orang anak.

Pada tahun 1182 isteri kedua jatuh sakit, lalu disusul oleh isteri pertama. Kian lama sakit keduanya kian parah. Tengah hari, isteri kedua memaksakan diri bangun dari pembaringan. Ia menangis melihat isteri pertama dalam keadaan pingsan. Ia berdoa, "Tuhan, jika Engkau takdirkan ia meninggal, jangan ia mendahuluiku."

Benar... Malamnya, isteri kedua itu meninggal dunia. Ia disemayamkan di samping isteri pertama. Saat menjelang subuh, ia siuman. Sambil meraba-raba ia membangunkan madunya. Namun, ia menjadi lunglai ketika diberitahu bahwa madunya sudah meninggal. Ia menangis melolong-lolong hingga tengah hari. Setelah ikut menyaksikan madunya dimandikan, ia pun kembali ke pembaringannya. Petang hari ia meninggal dunia, dan jenazahnya dimakamkan pada hari berikutnya.

Sumber: 'Aja'ib al Atsar, al Jibrati
»»  READMORE...